. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Senin, 28 Desember 2009

Berwisata Gerilya di Bekas Jalur GAM



Wajah pariwisa-ta Aceh berubah pasca-konflik dan tsunami. Selain sejumlah obyek tsunaminya, belakangan hadir wisata gerilya menyusuri jalur yang pernah dipakai para pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) selama bertikai. Kagum, menantang, dan pastinya menguras peluh berpadu satu saat menjajal jalur bersejarah ini.

Dua hari sebelum meliput peringatan 5 tahun tsunami di Ulee Lheue, Banda Aceh, Provinsi Aceh (26/12), rombongan media dari Jakarta yang dibawa oleh Direktorat MICE, Depbudpar berkesempatan mengunjungi beberapa obyek wisata di Kabupaten Aceh Besar yakni Waduk Keuliling di Kecamatan Kuta Cot Glie dan Masjid Indrapuri di Desa/Kecamatan Indrapuri pada hari pertama serta menjajal bekas jalur GAM yang dikemas dalam sebuah perjalanan wisata gerilya Pucuk Krueng di Kecamatan Lhok Nga pada hari kedua.

Semula obyek tujuan pada hari kedua adalah Sabang, Pulau Weh. Lantaran cuaca laut kurang mendukung dan tidak ada kapal ferry yang berangkat ke tujuan, akhirnya batal dan kemudian diganti ke Pucuk Krueng.

Sewaktu Betty Anita, Kasi Asosiasi Luar Negeri, Direktorat MICE, Depbudpar yang membawa rombongan media Jakarta ke Aceh untuk meliput peringatan 5 tahun tsunami bilang akan berwisata gerilya sebagai pengganti ke Sabang, saya sempat bertanya-tanya dalam hati tentang obyek tersebut? Dan ketika saya tanyakan obyek gerilya yang dimaksud kepada dua rekan saya yang tinggal dan bekerja di Banda Aceh, mereka tidak mengetahuinya.

Padahal paket wisata gerilya Pucuk Krueng yang dikelola oleh Aceh Explorer sudah dipasarkan sejak dua tahun silam lebih. Rupanya karena promosinya sangat minim, nama obyek dan paketnya belum dikenal secara luas bahkan oleh warga Banda Aceh sendiri.

Kendati belum terkenal, namun paket wisata gerilya ini sudah diminati turis mancanegara. “Sejak dipasarkan Juni 2007 sampai sekarang sudah sekitar 100 turis mancanegara terutama dari Jerman, Australia, Belanda, dan Amerika Serikat yang membeli paket gerilya ini,” jelas Mendel (42) pengelola obyek ini yang asli Belanda dan beristrikan wanita Aceh.

Menurut Kabid Promosi & Pemasaran Disbudparkot Banda Aceh Muhammad Yusuf, obyek wisata gerilya Pucuk Krueng merupakan obyek kerjasama Basajan (Banda Aceh-Sabang-Jantho). “Paket wisata gerilya ini bisa dipadukan dengan paket-paket wisata lain yang ada di Banda Aceh, Sabang dan juga Jantho, Ibukota Kabupaten Aceh Besar karena letaknya tidak begitu saling berjauhan,” jelas Yusuf.

Menyusuri Sungai Hijau
Dari bibir Krueng (sungai) Raba, Lhok Nga, rombongan menaiki 2 perahu kayu bermotor menyusuri sungai yang berair tenang kehijauan. Dari tempat titik start ini, mata ini sudah dimanjakan dengan panorama indah berupa sungai berair bersih, dengan lebar sungai sekitar 100 meter.

Di tepi sungai beberapa perahu kayu berwarna cerah bersandar dan di seberang sungai deretan pohon cemara berjejer rapih. Sedangkan di sebelah kiri dari kejauhan nampak jelas deretan bukit hijau yang seolah memanggil-manggil untuk didaki, dan di sebelah kanan terbentang muara Krueng Raba dan hamparan laut yang seakan melambaikan tangan menanti untuk diarungi.

Perahu lalu melaju melewati beberapa jembatan lama yang tinggal pondasi karena tersapu tsunami dan juga melewati bawah jembatan yang baru dibangun pasca tsumani. Perahu terus melaju mengikuti kontur sungai yang meliuk-liuk bak badan ular raksasa, melewati tanaman bakau, nipah, dan aren. Saat melewat aliran berbatu, nahkoda perahu mencurahkan keahliannya mengemudikan perahu, ke kiri dan ke kanan supaya lambung perahu tidak terbentur bebatuan di dasar sungai.

Sebelum tiba di deretaan tebing terjang, kami sempat melihat biawak sepanjang sekitar 1 meter yang sedang berenang di tepian suangi. “Kalau lagi beruntung, kita juga bisa melihat monyet bergelantungan di pepohonon di tepi sungai,” jelas Yusuf.

Entah sudah berapa kali saya dan rekan di satu perahu menguras air yang masuk perahu karena ternyata lambung perahu bocor sejak awal perjalanan. Nahkoda dan beberapa pemandu yang juga prajurit GAM terlihat tenang-tenang saja. Tapi buat saya dan teman yang membawa kamera, kondisi itu jelas bikin cemas. Takutnya perahu oleng lalu perlahan tenggelam hingga menjatuhkan penumpangnya termasuk kamera kesayangan.

Untunglah, penyusuran sungai tenang itu selesai di ujung hulunya tanpa ada kejadian mengkhawatirkan. Deretan tebing terjang kecoklatan dan keputihan dengan pepohonan rimbun, menyambut kedatangan rombongan.

Selanjutnya rombongan langsung beranjak ke sumber mata air Pucuk Krueng berupa gua berair tanah. Tak begitu sulit mencapainya seperti saat rombongan menuju sebuah makam ulama yang ada di obyek tersebut.

Tapi lain halnya dengan jalur yang rombongan lalui ketika hendak menjajal bekas jalur GAM dengan cara melintasi medan terjal. Perlu kewaspadaan dan tentu saja mental baja selain fisik yang kuat. Beberapa rekan yang merasa tidak mampu akhirnya mengundurkan diri, cukup sampai makam lalu kembali ke bawah tempat beristirahat.

Sisanya, beserta pemandu dari Aceh Explorer yang di antaranya adalah prajurit GAM memandu kami menapaki sedikit demi sedikit medan terjal bahkan kadang memanjat tanpa bantuan tali (scrimbing). Peluh pun tak terbendung lagi, terus mengucur deras dari kepala dan seluruh badan hingga membasahi pakaian dalam dan luar.

Di sela-sela pendakian, dua prajurit GAM yang memandu rombongan yakni Dede yang berperawakan agak gempal bak tentara India dan Merizal yang berbadan lebih kurus namun tegap, menceritakan pengalamannya serta menunjukan beberapa titik yang pernah disinggahi selama 3 tahun berbasis di jalur ini. “Itu ceruk batu tempat saya beristrihat,” jelas Merizal yang mengaku lengan tangannya pernah terserempet peluru saat baku tembak sambil menunjuk sebuah ceruk gua yang dimaksudnya.

Lain lagi dengan Dede yang sejak dulu bercita-cita menjadi tentara nasional ini. Dia mengaku jalur ini penuh kenangan yang tak mungkin terlupakan sepanjang hayat di badan. Meski kini sudah tak lagi berperang, Dede senang bisa memandu paket wisata menapaki bekas jalur yang dulu sering dilaluinya. “Bagi saya, ini seolah seperti napak tilas,” kenangnya.

Pascaperdamaian, Dede mengaku lebih bersyukur lagi. Dia justru punya banyak sahabat dekat dengan TNI dan polisi. “Hubungan kami dan TNI sangat baik,” katanya sambil mengaitkan dua telunjuknya tanda persahabatan yang erat.

Disambut Angin Hutan
Ada kejadian menarik sebelum kami sampai di puncak tebing. Saat saya beristirahat menemai Betty dan Lina, dua rekan wanita yang tak mau menyerah menapaki jalur terjal tersebut hingga puncak, tiba-tiba angin hutan berhembus cukup lama. Rasanya bena-benar sejuk dan hening, seolah menyambut kedatangan kami. Kejadian serupa terjadi saat kami menuruni puncak, seolah angin tersebut ingin melepas kepergian kami.

Setiba di bawah puncak, kami beristirahat sejenak di tanah yang agak datar. Beberapa rekan ada yang sudah melihat dan mengabadikan panorama dari puncak. Sementara yang baru datang memilih beristirahat.

Tak disangka pemandu kami membawa bekal makan siang berupa nasi bungkus berisi Nasi Gurih khas Aceh yang rasanya begitu nikmat seperti Nasi Uduk Jakarta dengan menu telur bulat, tumis, dan sambal. Kami pun makan bersama yang nikmatnya dan atmosfirnya melebihi makan di restoran mahal. Seperti sedang bergerilya, makan dan tinggal seadanya.

Selepas makan siang, saya langsung menuju puncak mengabadikan gambar, disusul Betty, Idris, dan juga Lina yang sebelumnya menyempatkan diri shalat zuhur di tanah datar, dekat tempat kami beristirahat.

Dari puncak Pucuk Krueng, terpampang pemandangan yang memesona. Liukan Krueng Raba jelas terlihat menuju laut. Pemukiman penduduk di pesisir Aceh Besar, deretan perbukitan dan juga Kota Banda Aceh juga nampak di kejauhan.

Setelah kami berfoto bersama, lalu secara beriringan menuruni puncak lewat jalur yang berbeda alias melintas sambil membawa satu kantung plastik besar berisi sampah bungkusan nasi dan botol air mineral. Jalurnya memang tak seberat saat mendaki namun di beberapa titik, medannya cukup curam. Sampai beberapa rekan terpaksa menggunakan pantatnya untuk menuruni medan tersebut.

Usai menapaki jalur bekas GAM selama sekitar 3 jam naik turun di jalur yang berbeda, akhirnya rombongan tiba di sumber mata air Pucuk Krueng, tempat rekan lain yang tidak ikut, menunggu dan beristirahat. Waktu tempuh itu jelas tak sama bila dilakoni prajurit GAM. Menurut Merizal berdasarkan pengalamannya, jalur tersebut biasa didakinya sekitar 15 menit pada malam hari tanpa bantuan lampu penerang.

Meski cukup lama dan menguras tenaga, namun aura kepuasan berbalut kelelahan nampak terpancar dari wajah rekan-rekan yang telah berhasil menapaki bekas jalur GAM yang terasa spesial itu. Maklum saja, jalur ini cuma ada di Aceh, dan tak mungkin ditemukan di belahan dunia lain. Jadi ada kebanggaan tersendiri karena bisa merasakan dan berhasil menapakinya, meski harus bermandi keringat.

Tips Perjalanan
Pucuk Krueng berada sekitar 15 Km dari Banda Aceh atau sekitar 20 menit dengan kendaraan roda empat. Belum ada kendaraan umun untuk menuju ke lokasi. Dari dermaga kecil di Lhok Nga masih sekitar 4 Km, bisa dengan perahu kayu bermotor atau menyewa labi-labi (angkot). Obyek ini cocok buat Anda yang suka berwisata petualangan.

Bila tak mau repot, beli saja paket wisata gerilya Pucuk Kreung yang ditawarkan Aceh Explorer. Harga paket wisata minat khusus ini Rp 850.000 per orang untuk pergi pulang atau satu hari. Paket tersebut sudah termasuk pemandu, 1 kali makan siang, dan transportasi lokal menuju lokasi. Bila berkelompok minimal 7 orang harga paketnya Rp 500.000 per orang. Kalau cuma treking ke mata air dan makam, cuma Rp 400.000 per orang.

Sebaiknya mengenakan kaos lengan panjang berbahan katun yang mudah menyerap keringat agar terhindar dari gigitan nyamuk. Dan memakai sepatu atau sandal lapangan khusus treking.

Jangan berjalan sendirian, sebaiknya mengikuti petunjuk pemandu, mengingat jalur trekingnya cukup terjal dan curam. Dan jangan lupa membawa kembali sisa sampah agar jalur tersebut tetap asri.

Yang perlu diperhatikan pengelola, sebaiknya membuat tempat sampah di tempat peristirahatan atau di bawah lokasi tebing untuk memudahkan pengunjung membuang sampah di tempatnya. Pengelola juga harus memperhatikan kondisi perahu motor yang akan digunakan untuk menyusuri sungai ke Pucuk Kreung. Sebaiknya perahunya tidak bocor dan penumpangnya dilengkapi life jacket.

Untuk lokasi bermalam ada beberapa penginapan di Aceh Besar, antara lain The Pade Hotel yang berada di Jalan Soekarno-Hatta, Desa Daroy Kameu, Kecamatan Darul Imarah. Hotel berarsitektur mediterian ini, berada sekitar 15 dari Bandara Sultan Iskandar Muda atau 10 menit dari Banda Aceh.

Untuk tempat makannya, bisa ke Rumah Makan Cut Dek di Jalan Banda Aceh-Lambaro Km 4 atau ke Rumah Makan Aceh Rayeuk di seberang The Pade Hotel. Menu yang ditawarkan bermacam makanan khas Tanah Rencong seperti Ayam Tangkap, Ikan Kayu Tumis, Sambal Udang, Gule Kambing, Sate Matang, Ikan Bakar Rambeu, Cah Kangkung, serta aneka minuman jus, dan air kelapa.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP