. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Selasa, 15 September 2009

Tujuh Lubang & Vandalisme di Gua Tujuh



Tinggalan sejarah Aceh bukan cuma berserakan di atas permukaan daratnya saja. Di dalam perut buminya pun tersimpan cerita sejarah yang menarik untuk ditelusuri, seperti yang tersimpan di dalam Guha Tujoh (Gua Tujuh). Sayangnya, aksi vandalisme menodai keasriannya.

Gua Tujuh merupakan gua alami yang diklaim sebagai peninggalan sejarah purbakala. Di namakan demikian karena gua ini mempunyai satu pintu masuk utama dan 7 (tujuh) lubang pintu di dalamnya. Lokasinya di Jl. Banda Aceh - Medan KM 100, Desa Laweung, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh.

Gua ini berada di hamparan perbukitan kapur yang hanya dikelilingi semak belukar. Udara panas dan gersang begitu mencuat saat saya berada di sini. Mungkin karena itu, kawasan ini tidak dijadikan tempat tinggal dan aktivitas manusia pada masa lampau. Bahkan sampai sekarang, permukaan kawasan ini begitu sepi, seolah tak berpenghuni.

Tapi setelah berada di depan mulut gua tujuh, terlihat geliat kehidupan. Beberapa orang tua dan anak-anak sedang berjualan minuman kaleng, rokok bahkan mie rebus. Beberapa orang lagi sedang menunggu pengunjung yang ingin diantar memasuki dalam gua tersebut.

Menurut Muchtar (50), salah seorang pemandu di sana, gua ini sering juga didatangi orang untuk bertapa. “Bukan cuma dari Aceh, pernah juga orang dari Bogor, Jawa Barat bertapa di sini,” terangnya. Yang dimaksud 7 pintu di dalam gua itu, lanjut Muchtar, buka pintu sebagaimana di rumah melainkan lubang yang menembus ke dalam gua. “Ukuran lubangnya ada yang besar, bisa di lewati orang. Ada juga yang kecil, cuma bisa dimasuki sinar matahari saja,” jelas Muchtar sambil menunjukkan salah satu lubang kecil di atap gua.

Saat mengamati lebih seksama dinding mulut gua ini, terdapat bermacam coretan tangan para pengunjung, berupa tulisan dan gambar. Rupanya vandalisme juga sudah mewabah ke pelosok desa bahkan sampai ke gua ini. Bila aksi corat-coret ini didiamkan dan pelakunya tidak diberi sanksi, bukan mustahil lambat laut akan sampai ke bagian dalam gua ini. Sebelum terlambat, perlu diambil langkah tegas oleh pihak-pihak terkait yang bertugas merawat dan menjaga keberadaan gua bersejarah ini.

Padahal gua ini memiliki kekayaan stalakmit dan stalaktit beragam bentuk. Ada yang berbentuk pilar, gumpalan, sapi, kura-kura, burung elang sedang mematuk, tempat duduk, nasi tumpeng dan lainnya. Masyarakat meyakini bahwa bermacam bentuk ornamen di dalam gua itu merupakan sisa-sisa kegiatan manusa prasejarah pada masa silam. Padahal kalau kita cermati, bentuk-bentuk itu merupakan asli dari proses alami berupa air yang menetes dan mengalir lalu mengendap selama ratusan atau bahkan ribuan tahun membentuk bermacam bentuk unik.

Gua yang beberapa ruangan dalamnya dihuni kelelawar ini terbagi menjadi lebih dari 7 ruangan yang namanya disesuaikan dengan bentuk ruangan tersebut. Di dalam gua juga ditemukan telaga kecil berair bening. Di ruangan lain ada yang mengeluarkan tetes-tetes air dari atap gua yang ditampung di sebuah drum besar. Air tersebut diyakini masyarakat setempat manjur bikin wajah awet muda. Alhasil, banyak pengunjung yang datang dan membasuh muka dengan air tersebut agar mendapatkan khasiat serupa.

Itulah yang penulis rasakan dan dapatkan usai mengunjungi gua ini bersama rombongan press tour Aceh yang digelar Direktorat Nilai Sejarah, Dirjen Sejarah & Purbakala, Depbudpar, beberapa waktu lalu.

Bila Anda ingin menyusuri gua ini, rasanya tak begitu sulit. Kabupaten Pidie terletak di Timur Laut Banda Aceh. Jaraknya sekitar 110 Km dari Banda Aceh, dengan waktu tempuh hanya sekitar 1,5 jam bila menggunakan kendaraan roda dua dan empat.

Untuk sampai ke Gua Tujuh, Anda masih butuh beberapa menit lagi dari jalan raya utama. Maklum lokasinya agak kepedalaman, melewati kawasan hamparan perbukitan karst yang tandus. Kendati begitu, di perjalanan menuju atau sepulang dari gua ini, Anda akan disuguhi panorama indah dari atas dataran yang lebih tinggi, berupa petak-petak sawah dan sekelompok rumah penduduk serta hamparan laut biru nun jauh di bawah sana.

Bunker Belanda
Masih ada beberapa tinggalan sejarah di Kabupaten Pidie, antara lain sejumlah bangunan peninggalan kolonial Belanda seperti beberapa bunker bekas perang yang di dalamnya terdapat beberapa kuburan Belanda Letaknya di sisi Timur Sungai Krueng Baru yang dapat dijangkau dengan menyeberangi sebuah jembatan di ujung Jalan Teuku Umar. Sedangkan di kawasan bernama Kampung Cina didapati bekas Stasiun Kereta Api yang pernah beroperasi pada masanya.

Selain itu ada makam Sultan Maa’rif Syah, Raja Pertama dari Kerajaan Pedir dan Makam Teungku Di Kandang, yang pernah menjadi pemimpin umat muslim di daerah tersebut. Kedua makam tersebut berada di Klibeut sekitar 4 Km dari Kota Bakti. Penduduk setempat sering berziarah ke makam-makam tersebut.

Tinggalan sejarah lainnya berupa Masjid Tengku Chik Di Pasi sesuai nama pendirinya yakni Syech Abdussalam yang berjuluk Tengku Chik Di Pasi pada abad 17 H. Ada juga yang menyebutnya Masjid Guci Rampong karena di depan masjid sebelah Utara terdapat dua buah guci siam berwarna glassir coklat tua, hadiah dari Kerajaan China. Kedua guci itu ditempatkan di dalam sebuah cungkup. Ada juga yang menyebutnya Masjid Guci Keuramat, karena air di dalam guci tersebut diyakini masyarakat setempat berkhasiat menyembuhkan bermacam penyakit. Letak masjid tua ini di Desa Guci Rampong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

***

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP