. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Jumat, 31 Mei 2013

Mendadak Jadi “Pangeran” Way Belerang Usai Turun Gunung

Lelah dan gerah usai turun gunung, enaknya mandi. Apalagi kalau mandi dengan air hangat belerang. Hmm…, dijamin bikin segar. Sayangnya, tak banyak gunung yang memiliki pemandian air panas belerang. Kalau pun ada letaknya berjauhan. Tapi tidak dengan Gunung Rajabasa di Kalianda, Lampung Selatan. Di kakinya, ada kolam pemandian air panas bernama Way Belerang yang bakal membuat Anda mendadak berubah bak pangeran muda. 

"Om, nanti mandi air panas belerang aja di bawah, di Way Belerang. Nggak jauh koq dari tempat kemarin kita memulai pendakian,” ajak Iyan sewaktu masih menuruni puncak utama Gunung Rajabasa.

Tanpa banyak pikir, aku iya-kan ajakan pentolan Comunitas Cinta Alam Kalianda (CICAK) ini, yang menemaniku mendaki Gunung Rajabasa bersama dengan 4 rekan lainnya Amin, Belo, Dimas, dan Adji pekan lalu.

Dan belum apa-apa, aku sudah membayangkan betapa segarnya badan jika mandi sauna air hangat belerang usai turun gunung. Sekelebat muncul bayangan aku tengah mandi sauna dikelilingi permaisuri-permaisuri muda nan cantik dari kerajaan antah-berantah. 

Aah.., indahnya lamunanku. Tapi seketika musnah, digantikan medan naik-turun, berliku panjang, dan licin yang menghadang di depan. Dan butuh sekitar 6 jam lagi untuk sampai ke lokasi yang dimaksud Iyan, yang pintu gerbangnya sempat kulihat sebelum memulai pendakian kemarin.

Matahari senja masih nampak ketika kami tiba di halaman parkir, depan bangunan pintu masuk merangkap loket tiket bertuliskan “Pemandian Way Belerang”. Di atap bangunannya ada Siger, lambang khas Lampung berwarna cerah merah muda.

Kelima rekanku yang tiba lebih awal rupanya sudah tak sabar. Mereka bertelanjang dada dan bercelana pendek, langsung menceburkan diri ke kolam besar berisi air hangat belerang berwarna putih keabu-abuan.

Mereka nampak begitu riang, bercanda, tertawa, dan main air seperti sekelompok pengembara yang tengah kehausan dan keletihan lalu bertemu dengan oase di tengah padang pasir yang tandus.

“Om, cepetan nyebur, airnya nggak panas-panas banget,” kata Adji personil CICAK termuda yang nama sapaannya sama denganku. “Iya bentar de, motret dulu,” balasku.

Mumpung belum berbasah ria, aku ambil kamera dan mengabadikan mereka dan suasana di dalam pemandian itu. Ada dua kolam di sana, pertama kolam besar untuk orang dewasa sedalam sekitar 1,5 meter dan kolam berukuran lebih kecil untuk anak-anak sedalam sekitar 50 Cm.

Juga ada gazebo buat duduk-duduk santai bagi pengunjung yang mengantar dan enggan mandi. Fasilitas lainnya MCK dan ruang ganti baju pria dan wanita serta tempat bilas.

Areal kolam dikelilingi tembok setinggi kurang lebih 2 meter. Di tengah kolam air dewasa yang tepiannya dibuat berundak-undak, ada gelumbung-gelumbung air beruap yang keluar dari sumber mata air panas belerang dari dasarnya.

 

Pengunjung yang tidak bisa berenang, tak perlu cemas. Di sini ada penyewaan ban karet ukuran besar dan kecil. Jadi bisa mengapung ke tengah dan mengelilingi kolam. Atau cukup berendam dan berenang di tepian kolamnya saja.

Selesai motret, aku langsung tanggalkan kaos dan celana panjang kemudian membasahi badan terlebih dulu dengan air dingin di tempat bilasan. Baru kemudian nyemplung ke kolam besar. Hmmmm.., airnya hangat-hangat kuku dan bau belerangnya tidak terlalu menyengat.

Tak lama kemudian, pesanan kelapa muda ijo dan gado-gado datang. Kami pun makan bersama di pinggir kolam. Bahkan Dimas dan Iyan membawa gado-gado-nya ke tengah kolam. Mereka makan sambil berendam badan dengan air hangat belerang. Mereka seperti pangeran-pangeran muda yang tengah menikmati kemewahan fasilitas “Kerajaan Rajabasa”. Kontan, aksi mereka pun dilirik sejumlah pengunjung lain yang terlihat iri.

Tak puas dengan kelapa muda, Belo rekan yang paling rajin, berinisiatif bikin kopi. Dia pun masak air dengan kompor gas dan nasting. Airnya dari sisa persediaan yang diambil di aliran sungai kecil alami di Pos Satu, sewaktu turun gunung tadi.

Pendakian Menjadi Sempurna
Satu jam mandi sauna dan berendam di air hangat belerang ditambah dengan kelapa ijo, gado-gado serta kopi hangat, hmmm.., benar-benar menutup perjalanan pendakian ini menjadi SEMPURNA, seperti judul lagu Andra and the Backbone yang kulantunkan pelan-pelan di kolam itu. “…Kau begitu sempurna. Di mataku kau begitu indah. Kau membuat diriku akan slalu memujimu…”.

Entah kenapa setiapkali berendam dan mencelupkan kepala di air hangat belerang yang dipercaya ampuh mengobati berbagai penyakit kulit dan reumatik ini, aku merasakan kesegaran luar biasa. Aku seperti terlahir kembali dengan jiwa baru, jiwa anak muda 20-an tahun.

Dan senangnya lagi, lubang-lubang kecil sisa hisapan “vampire” alias pacet Rajabasa di kaki dan tanganku pun sirna. 














Andai saja pemandian itu buka sampai malam, aku dan kelima rekanku pasti masih betah berlama-lama di sana. Sayangnya lepas Maghrib, tempat ini tutup.

Pemandian air panas Way Belerang yang beberapa tahun belakangan ini dikelola Dinas Pariwisata, Seni, dan Budaya Lampung Selatan, berada di Desa Sukamandi, persis di kaki Gunung Rajabasa yang atapnya berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut. Jaraknya sekitar 2 Km dari pusat Kota Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan.

Sumber air panas belerang di tempat ini sebenarnya sudah dimanfaatkan sejak tahun 1800-an, pada zaman penjajahan Belanda. Ketika itu digunakan sebagai tempat peristirahatan dan juga tempat pemandian para petinggi militer Belanda pada masanya.

Kalau Anda ingin ke sana, dari Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) Simpang Fajar atau Masjid Agung Kalianda, kemudian menuju ke Jalan Kusuma Bangsa atau jalan ke arah Pasar Inpres. Dari situ, terus menuju ke arah Gunung Rajabasa masuk di Jalan Raya dalam Kota Kalianda. Waktu tempuhnya sekitar kurang lebih 15 menit.

Tiket masuknya Rp 10.000 per orang dewasa dan Rp 5.000 per anak-anak. Sewa ban karet besar cuma 5.000 per 2 ban. Kalau ingin menikmati gado-gado, sepiringnya Rp 5.000 dan kelapa ijo Rp 5.000 per butirnya.

Dengan harga yang cukup terjangkau, Anda bukan hanya bakal menikmati kehangatan dan kesegaran air hangat belerang alami. Pun pemandangan deretan lereng dan puncak-puncak Gunung Rajabasa yang berselimut belantara rimbun dan kabut dari kejauhan.

Tapi kalau ingin kunjungan Anda lebih komplit dan merasakan sejenak menjadi pangeran-pengeran muda seperti yang kami rasakan, daki terlebih dulu Gunung Rajabasa hingga puncak utama, Batu Cukup, dan danau kawahnya. Selepas turun, baru mandi sauna di pemandian air panas belerang ini. Aahhh, nikmat dan segarnya pasti bakal bertambah-tambah, rrruarrr…biasa.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Kamis, 30 Mei 2013

Sukses “DONOR” Darah di RAJABASA

Inilah bukti hasil “donor” darah di Gunung Rajabasa, pekan lalu. Donor darah yang satu ini bukan untuk keperluan orang yang membutuhkan darah atau pasien yang sakit. Melainkan  minuman segar buat para pacet yang menjadi “raja” di Gunung Rajabasa. 

Entah kenapa setelah mereka berhasil menghisap puas darahku di sela jari kaki, paha, dan tangan hingga punggung, aku justru merasa puuaaaasssss… 

Kepuasanku bisa jadi lantaran berhasil membuktikan bahwa gunung berketinggian 1.281 meter di atas permukaan laut (Mdpl) yang berada di Kalianda, Lampung Selatan, Provinsi Lampung ini memang gudangnya pacet, yakni hewan sejenis lintah kecil penghisap darah manusia yang hidup di belantara lembah yang rapat dan amat lembab. 

Saking terkenal dengan pacetnya, sampai ada slogan terlontar dikalangan pendaki terdahulu; “Kalau belum kena pacet Rajabasa belum komplit”. Hmmm…, slogan yang aneh tapi cukup mengusik rasa penasaran.

Kepuasan lainnya, bisa jadi karena aku dapat mengabadikan langsung pacet-pacet yang semula kecil dan bergerak-gerak lincah dengan gaya khas seperti belatung itu, yang diam-diam menempel, tanpa bersuara di tubuhku, terutama di bagian kaki.

Setelah mendapatkan lokasi yang mereka sukai, lalu mereka menancapkan mulutnya, kemudian beraksi melubangi dagingku dan perlahan menyedot cairan merahku hingga badannya kembung berisi penuh darah segarku. Ujung-ujungnya, gerakan meraka pun lamban, karena badannya terlalu gendut kekenyangan darah.

Saat tubuh mereka berbuah gendut, ada perasaan ingin marah tapi lagi-lagi bercampur senang. Aneh memang. Kesenanganku ini bisa jadi karena berhasil mengabadikan tubuh-tubuh mereka yang seketika berbentuk tambun dan lembek dalam waktu tak terlalu lama.



Bayangkan kalau ada ratusan pacet yang hinggap dan “menggerogotiku”, bisa kering kerontang badan dan pucat pasi wajahku. 

Puas mengabadikan mereka, aku cabut satu per satu pacet-pacet itu. Lubang hisapannya di dagingku terus mengeluarkan darah. 

Hemmmm.., itulah puncak dari episode yang mengasyikkan, menjengkelkan sekaligus rada mengerikan. Kendati jengkel tapi hatiku berteriak kegirangan: “horeee.., berhasiiil...”. Hmmm…Kontradiktif.

Kegiranganku bisa jadi karena sudah berhasil menjadikan pendakian Gunung Rajabasa terasa komplit sebagaimana slogan di atas. 

Sebenarnya, aku sendiri sudah tahu benar karakter Gunung Rajabasa ini. Terutama soal ‘penghuni’-nya itu. Dua puluh tahun silam (1993), selepas membuka jalur pendakian baru bersama Prosper dan Buche (senior anggota TAPAL -IISIP Jakarta) dan Yosha (simpatisan, angkatan dibawah saya) di Gunung Tanggamus, Kabupaten Tanggamus (dulu masih masuk wilayah Lampung Selatan) yang hutannya didominasi pacet daun atau pacet pohon yang lebih sadis hisapannya, aku berencana ingin mendaki Rajabasa. Namun takdir berkata lain, baru pekan lalu berjodoh dan berhasil “menikmati” sedotan demi sedotan para “penguasa”-nya itu.

Berdasarkan pengalaman mendaki gunung-gunung ber-pacet seperti Gunung Salak di Jawa Barat, aku jadi paham betul bagaimana menanggulangi hewan-hewan yang bagi sebagian besar pendaki, amat menjijikan dan bikin momok seram. Misalnya dengan menggunakan rendaman tembakau, selain lotion anti nyamuk, bawang putih, dan minyak kayu putih, dan tak lupa mengenakan gaiters (penutup sepatu).

Tapi khusus di Rajabasa, aku enggan mengindahkan semua tips itu. Aku sengaja, karena itu tadi, ingin merasakan seberapa nikmat dihisap pacet-pacet Rajabasa. Dan ternyata, langkah itu jitu 🤭.

Selama turun dari Pos Lima menuju Batu Cukup yang menjadi “rumahnya” pacet Rajabasa ini selama lebih kurang 30 menit, sekurangnya ada 15 pacet yang menggerayangi tubuhku lalu menghisap darahku. Dan, alamaaak.., semuanya berhasil meng-gendutkan tubuhnya masing-masing dengan darah segarku. Hemmm, bikin gondok pastinya.

Bukan cuma aku. Kelima rekanku dari CICAK (Community Cinta Alam Kalianda) yakni Iyan, Amin, Belo, Dimas, dan Adji kecil pun tak urung menjadi ‘santapan’ mereka juga. Ada yang terkena di tangan dan lengan tapi kebanyakan di kaki.

Setibanya di Batu Cukup, aku dan kelima rekan itu pun tak kuasa lagi menahan gatal dan rasa penasaran apa ada pacet-pacet yang berjaya menyeruput darah segar kami.



Sibuk Periksa Pacet
Di atap Batu Cukup yang konon mampu menampung sekitar 10 orang tiduran padahal ukurannya hanya 2 X 2 meter itu, kami pun sibuk memeriksa seluruh bagian kaki dan tangan.

Bahkan Belo, tak kuasa menahan kegusarannya. Dia langsung membuka celana panjangnya, hingga tinggal sempak saja, lalu cepat-cepat memeriksa “areal” terpentingnya, takut kalau-kalau dimasuki pacet. Rekan-rekannya pun meneriakinya; “woiii.., ada aksi porno”.

Lain lagi dengan Dimas, entah kenapa setibanya di Batu Cukup, anak band yang juga doyan main basket dan futsal berperawakan jungkis ini lebih banyak diam dan tidak mau beranjak dari posisi duduknya. Dia begitu serius membuang pacet-pacet yang berhasil menghisap darahnya, atau bisa jadi karena shock. Maklum, inilah gunung pertama yang berhasil didakinya, dan belum apa-apa sudah mendapat “sambutan hangat” dari penguasa Gunung Rajabasa itu.

Aku berharap Dimas tidak jera mendaki gunung hanya karena pacet-pacet itu. Tapi sewaktu aku mengajak kelima rekanku turun ke dataran danau bekas kawah seluas 500 X 700 meter yang sedang tak berair itu, cuma Dimas yang memilih diam di Batu Cukup seraya terus melumurkan kedua kakinya dengan tembakau rokok kretek. Mungkin dia masih kesal dengan pacet-pacet itu dan tak mau terhisap lagi oleh gerombolan temannya nanti.

Sekembalinya dari Batu Cukup menuju puncak utama, tempat kami mendirikan tenda semalam, ada 6 pacet baru lagi yang berhasil menggemukkan badannya dengan darahku. Sementara Dimas berhasil meminimalisir serbuan pacet lantaran sudah melumuri kakinya dengan cairan tembakau.

Kali ini yang bikinku sebal, dari 6 pacet baru itu, ada 2 pacet yang berhasil menjangkau paha atasku dan punggung belakangku. Jelas darah yang ditelan keduanya melimpah-ruah. Yang membuatku kepikiran dan bertanya-tanya, bagaimana mereka sampai bisa masuk ke situ?

Sebenarnya waktu menanjak kembali menuju Pos Lima di bawah puncak utama dari Batu Cukup, aku sudah merasakan beberapa titik badanku sedang “dicumbu” pacet-pacet itu. Aku dapat merasakan mereka menyeruput nikmatnya darahku, sepertihalnya aku merasakan nikmatnya menyeruput Kopi Lampung yang menjadi salah satu oleh-oleh khas Kalianda ini. Aku diamkan saja karena terlalu konsen dengan medan yang terjal dan amat licin usai diguyur hujan sejak kemarin dan semalam.



Mungkin buat kelima rekanku, pendakian ke puncak utama Rajabasa kali ini dari Jalur Way Belerang selama hampir 8 jam terbilang gagal lantaran cuaca tak bersahabat, hujan disertai angin dan mendung tebal sehingga tidak berhasil mengabadikan pemandangan menawan dari puncaknya.

Tapi buatku, pendakian ke Gunung Rajabasa yang berjarak sekitar 5 Km dari Kalianda, ibukota Kabupaten Lampung Selatan ini, justru sukses. Bukan lantaran berhasil menggapai puncak utamanya dan bermalam di sana, melainkan karena merasakan sensasi “disetubuhi” para penguasanya, yakni pacet.

Naskah & foto: Adji TravelPlus (Jaberio Petrozoa), IG @adjittropis 

NB.: Buat tim CICAK (Iyan, Amin, Belo, Dimas, dan Adji), terimakasih sudah menjadi rekan se-pendakian Gunung Rajabasa sekaligus adik-adik yang hangat dan seru. Moga, kita bisa nanjak bareng lagi di gunung lain seperti keinginan Dimas yang mulai terjangkit virus mendaki gunung. Terimakasih juga buat ayah dan bunda-nya Dimas yang telah memberi kehangatan sebuah rumah dan santapan yang nikmat. Salam nanjak ramah lingkungan di 🇮🇩💪💪💪

Read more...

Rabu, 29 Mei 2013

Pesona Prau, 1 Atap 12 Gunung

Dulu namanya tak sepopuler Sindoro dan Sumbing. Tingginya pun hanya 2.590 Meter di atas permukaan laut (Mdpl). Tapi pesona dari puncaknya sungguh luar biasa. Dari atapnya, duabelas (12) gunung terlihat jelas, seolah memagari dan menjaganya. Wow spektakuler... 

Itulah Gunung Prau yang berada di Dataran Tinggi Dieng (Dieng Plateu). Secara administratif masuk dalam tiga wilayah Kabupaten Kendal, Kabupaten Wonosobo, dan Kabupaten Batang di Jawa Tengah.

Gunung yang juga disebut Prahu karena bentuknya mirip perahu yang terbalik dari kejauhan ini, merupakan puncak tertinggi dari gunung-gunung yang ada di daerah Pegunungan Dieng.

Selain Prau, di Dataran Tinggi Dieng ada juga sejumlah gunung lainnya seperti Gunung Pakuwaja (2.395 mdpl), Sikunir (2.263 mdpl), Sipandu, Pangamun-amun, dan Gunung Juranggrawahi.

Paling tersohor tentu saja Gunung Prau dan Sikunir, lantaran dari masing-masing puncaknya dapat melihat golden dan silver sunrises.

Pesona golden sunrise dari puncak Gunung Sikunir memang lebih fantastik dibanding dari puncak Gunung Prau. Namun panorama landscape dari puncak Gunung Prau jauh lebih spektakuler dan lengkap. 

Puncaknya berupa gundukan-gundukan tanah menyerupai bukit-bukit kecil yang tersebar dari ujung Utara hingga Selatan hingga dinamai Puncak Teletubbies.

Keberadaan bukit-bukit berilalang pendek yang dihiasai bunga liar seperti bunga aster atau ceplikan (dalam bahasa lokal Jawa) dan juga bunga lonte sore membuat gunung ini juga mendapat julukan Gunung Seribu Bukit.

Dari puncaknya ke arah Timur, selain pesona sunrise juga ada 9 gunung yang bersemayam di Jawa Tengah, 5 di antaranya gunung populer yakni Sindoro, Sumbing, Merapi, Merbabu, dan Unggaran. Sisanya, 4 gunung yang tak populer yakni Kembang, Telomoyo, Tlerep, dan Bukit Batok.

Sedangkan ke arah Barat ada 3 gunung yang nampak, 2 di antaranya gunung yang sangat populer yakni Gunung Slamet dan Gunung Ceremai yang berada paling jauh dan sempat diduga sebagai cerminnya Gunung Slamet. Sisanya Gunung Sikunir serta tentunya pesona sunset-nya.

Ke arah ini juga terlihat jelas keseluruhan Dieng, dari teras-teras perkebunan kentang, kubis, dan bawah prei, rumah-rumah penduduk di sejumlah desa, masjid, dan tentu saja Telaga Warna dan Telaga Pengilon serta hutan yang semakin menyusut luasnya.

Untuk melihat panorama ke arah Barat, terlebih dulu meniti tanjakan ber-savana di kiri-kanannya, yang mirip sekali dengan "Tanjakan Cinta" di Gunung Semeru.

Yang menarik lagi, untuk menikmati 12 gunung dan obyek alam lain dari puncak gunung ini, tak perlu berjam-jam mendakinya. Dan medannya pun tidak terlalu sulit.

Waktu pendakiannya antara 2-4 jam saja melewati 4 pos alami. Jalur pendakiannya dari Petakbanteng, Jalan Dieng Km 24, Desa Kejajar, Wonosobo.

Namun yang perlu diperhatikan, sebalum menanjak sebaiknya melakukan gerakan pemanasan terlebih dulu, memgingat sejak awal treknya langsung menanjak, antara lain melewati undakan teras berjumlah 117 undakan di kampung terakhir.

Di lanjutkan trek perkebunan yang juga menanjak. Dikhawatirkan kalau tidak pemanasan, fisik kaget dan jantung berdetak kencang.

Di sepanjang jalur pendakiannya hinga puncaknya tidak ada mata air. Sumber air terakhir katanya ada sedikit di bawah Pos 1, namun jarang yang tahu lokasinya. Ada baiknya mengisi air dari Petakbanteng.

Asyiknya lagi untuk menyaksikan sunrise-nya, berangkat jam 12 malam, masih terkejar. Dengan catatan tidak langsung tidur setibanya di puncak. Lokasi nge-camp terbaik, tentu saja di pos 4 atau Puncak Teletubbies-nya.

Kalau tiba di puncak pukul 4 pagi, sebaiknya jangan tidur dulu, nanti kebablasan. Rugi, kalau sampai tak melihat pesona matahari terbit-nya yang menyinari sejumlah gunung, yang semakin lama semakin terlihat jelas kontur-konturnya.

Kalau ingin melihat sunset-nya, berangkat selepas sarapan atau bahkan usai makan siang juga masih kesampaian. Lalu dilanjutkan bermalam di Puncak Teletubbies untuk menunggu sunrise-nya.

Tak sulit menjangkau gunung ini. Kalau Anda dari Jakarta, bisa naik bis ekonomi ataupun AC dari sejumlah terminal yang ada di Jakarta. Dari terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan bisa-nya berangkat jam 6 pagi dan jam 5 sore. Lewat dari itu, bakal ketinggalan. Tiketnya Rp 75.000 per orang untuk Bis AC.Tapi kalau  ongkos bis AC dari Terminal Mendol, Wonosobo ke Lebakbulus Rp 80.000 per orang

Sebaiknya dari Jakarta pakai bis yang sore, jadi setibanya di Terminal Mendolo, pagi. Lalu lanjutkan ke kota  Wonosobo dengan angkot Rp 2.000 per orang. Sarapan dulu dengan Mie Ongklok, kudapan khas Wonosobo, lal lanjutkan ke Dieng turun di Balai Desa Patakbanteng Rp 10.000 per orang. Di sini juga ada Taman Bacaan Masyarakat (TBM) “BERGEMA”, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Masjid Al-Amin.

Setelah packing dan isi air, baru kemudian menanjak mengikuti jalur yang sudah ada. Kalau bingung karena belum tahu, sebaiknya minta pendaki lokal untuk memandu.

Tiga jalur lainnya lewat SMP 2, Kejajar, Dieng Wetan; lalu via Desa Kenjuren, Kendal; dan jalur Pranten di Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang.

Kalau berencana melihat sunset-nya lalu bermalam dan menunggu kehadiran sunrise-nya, sebaiknya bawa sleeping bag, mengenakan celana panjang dan kaos yang kering dan dilapisi jaket/sweater tebal, penutup kepala, sarung tangan, dan kaos kaki.

Maklum, meski gunungnya tak terlalu tinggi, dinginnya cukup mengigit, lantaran berada di dataran tinggi dan dikelilingi gunung-gunung lainnya.

Turun dari Prau, jangan lupa mampir di Rumah Carica “Murni Alami” milik Ibu Nur Hidayah yang menjual Carica yang dijadikan aneka olahan panganan seperti manisan, dodol, selai, keripik, sirup dan lainnya. 

Carica adalah nama lain dari pepaya gunung yang hanya tumbuh di beberapa desa di dataran Tinggi Dieng. Orang menyebutnya juga pepaya Dieng.

Harga untuk tiga manisan Carica ukuran cup plastik kecil harganya Rp 10. 000, kalau yang besar satuannya Rp 5.000. Sedangkan dalam botol kaca Rp 10.000 per botol.

Rasa manisan Carica, dijamin menyegarkan karena tanpa bahan pengawet. Apalagi kalau Carica dan air manisannya dingin, cocok untuk menghilangkan sedikit dahaga usai menuruni Prau.

Kalau sudah begitu, lengkap sudah pendakian ke gunung mungil, berpanorama super cantik dari puncaknya itu.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1. Tiga pendaki menikmati pesona dari puncak  Gunung Prau.
2.  Leluasa berkemah menunggu sunset saat puncak Prau hening.
3. Carica, salah satu oleh-oleh khas Dieng.

Read more...

Menikmati Sindoro-Sumbing dari Dieng Kledung Pass Hotel & Restaurant



Hotel berpanorama pegunungan itu banyak. Tapi hotel yang menawarkan pesona pemandangan dua gunung dari dekat sekaligus yakni Gunung Sindoro dan Sumbing, cuma Dieng Kledung Pass Hotel & Restaurant. Koq bisa? 

Karena hotel yang juga merangkap resto ini berada di Kledung Pass, yakni daerah yang terletak di jalan sepanjang kurang lebih 1,5 Km mendatar, di antara dua gunung besar yaitu Gunung Sindoro di sebelah Utara dan Sumbing di Selatan.

Daerah yang berada di ketinggian antara 1400 – 1500 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini berbatasan dengan Kota Wonosobo.

Hotel ini memiliki 32 kamar, 16  di antaranya menghadap ke Gunung Sindoro dan 16 kamar lainnya menghadap ke Gunung Sumbing, pemandangan gunung dapat dinikmati dari teras yang ada di masing-masing kamar. Juga tersedia 5 kamar dengan pemandangan taman yang indah. Masing-masing kamar dilengkapi dengan televisi, air dingin, air panas dan tentu saja sarapan pagi.

Uniknya, semua kamar di hotel ini menggunakan AC alam yang bebas dari polusi. Maklum udaranya cukup dingin dan sejuk, rata-rata temperaturnya 17 – 21 Celcius.

Dari setiap kamarnya, pengunjung dapt menikmati pemandangan luar biasa indah. Di belakang hotel berdiri Gunung Sindoro berlatar depan perkebunan tembakau, jagung, dan sayur mayur. Sementara di bagian depan berdiri tegak Gunung Sumbing dengan hamparan perkebunan di lereng dan juga perkampungan di kakinya.

Selain dari kamar, kedua pemandangan menawan ini dapat dilihat dari menara pengamatan yang berada di samping restoran hotel ini.

Nah, restoran di hotel ini juga menjadi salah satu keistimewaan dari hotel ini selain pemandangannya.

Restonya menyajikan berbagai pilihan menu terkenal seperti sate jamur Dieng, sup buntut spesial, rawon, dan lainnya.

Usai menyantap makanan di resto-nya, pengunjung dapat melakukan berbagai aktivitas, seperti berenang di kolam renang yang ada di bagian depan sebelah kiri hotel. Atau sekadar duduk-duduk santai di gazebo di belakang hotel sambil menikmati pemandangan Gunung Sindoro.

Pilihan lain berwisata ke daerah Dieng Plateau. Lokasinya 26 Km Utara Kota Wonosobo. Di tempat ini, pengunjung dapat menyaksikan dua kali matahari terbit, yakni Golden and Silver Sunrises.

Selain itu, adat candi-candi Hindu kuno, sumur dan gua-gua, kawah, telaga, cagar alam, dan keindahan alam di sepanjang jalan menuju Dieng Plateau yang masuk wilayah Kabupaten Wonososbo dan Banjarnegara.

Dan teruskan ke Telaga Menjer. Telaga dengan luas sekitar 70 hektar dan berkedalaman 60 meter ini dimanfaatkan untuk Pusat Pembangkit Tenaga Air (PLTA) sebesar 24 MW. Di telaga ini, pengunjung dapat bersantai menikmati keindahan alamnya dengan naik rakit bambu.

Bisa juga menyaksikan Kesenian Lengger Topeng serta berwisata kuliner mencicipi Carica yakni manisan Pepaya Gunung khas Dieng dan Mie Ongklok, makanan khas Wonosobo.

Pengunjung juga bisa berwisata outbound di areal hotel ini. Bahkan hiking ke Gunung Sindoro, Sumbing, Prau, dan Gunung Sikunir dengan pemadu lokal.

Selain menginap di hotel ini, pengunjung dapat mengadakan pertemuan dan acara tertentu di area yang khusus disediakan di hotel ini, berupa public hall ataupun ruang pertemuan yang cukup luas. Acara yang dapat dilakukan seperti outdoor party, wedding party, atau pesta kebun.

Karena diapit dua gunung, tak heran hotel yang berada di Jalan Raya Wonosobo-Parakan Km 17, Reco, Kertek, Kledung, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah ini bukan hanya menawarkan pesona keindahan panorama alam pegunungan, pun ketenangan lingkungan, udara yang sejuk, dan suasana yang nyaman dan menentramkan.

Kelebihan lainnya, dikelilingi kebun tembakau dan tanaman lainnya, menjadikan hotel menjadi pusat keindahan.  

Tak heran hotel ini kerap diminati wisatawan baik Nusantara maupun mancanegara saat berwisata di Wonosobo.

Menurut pengelola Dieng Kledung Pass Hotel & Reastaurant, Nike Eunike Martanti, pengunung hotel ini masih didominasi domestik.

“Ada yang pasangan, keluarga, instansi swasta dan pemerintah, anak sekolah dan organisasi keagamaan,” jelas Nike.

Kalau untuk wisatawan mancanegara, lanjut Nike, dulu didominasi turis Eropa seperti Belanda, belakangan ini turis Malaysia, Singapura, dan Korea.

“Turis-turis tersebut biasanya hanya singgah untuk makan di restaurant yang ada di hotel ini atau yang ada di Kota Wonosobo,” tambah Nike.

Nah, kalau Anda ingin menikmati pemandangan Gunung Sumbing dan Sindoro di hotel ini, booking saja lewat telepon di nomor (0286) 3322023, 081328119888 atau fax. (0286) 321433, (0286) 896540, atau bisa juga email: diengkledungpas@yahoo.com.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)

Captions:
1. Sepenggal pesona Dieng Kledung Pass Hotel & Restaurant.
2. Pemandangan berlatar Gunung Sindoro dari salah satu kamar Dieng Kledung Pass Hotel & Restaurant.
3. Sate Jamur Dieng khas Dieng Kledung Pass Hotel & Restaurant.

Read more...

Selasa, 21 Mei 2013

Inilah Tips Memenangkan Lomba Foto Sadar Wisata 2013

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) kembali menggelar Lomba Foto Sadar Wisata. Tahun ini memasuki penyelenggaraan yang ke-lima. Diperkiraan ribuan fotografer profesional dan amatir akan mengikutinya. Lalu bagaimana memenangkan lomba foto yang bertujuan memperkenalkan daerah tujuan wisata berhadiah total Rp77,5 juta ini? 

Dalam jumpa pers di Gedung Sapta Pesona, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Selasa (21/5/2013), Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Kemenparekraf, Firmansyah Rahim mengatakan foto-foto yang diikutsertakan dalam lomba sadar wisata 2013 ini diharapkan foto-foto obyek wisata baru yang belum terekspose atau belum begitu populer.

 “Jangan lagi foto-foto obyek wisata yang sudah tersohor, misalnya foto pemandangan Bromo, Danau Tiga Warna, dan lainnya. Apalagi foto-foto tersebut diambil dari angle yang sama, misalnya foto panorama Bromo dari Pananjakan, itu sudah terlalu banyak. Boleh saja obyek foto yang terkenal tapi angle-nya beda,” jelasnya.

Pendapat Firmasnyah diamini bahkan dipertegas oleh salah satu dewan juri, Darwis Triadi. Sebisa mungkin foto yang diikutsertakan itu foto-foto dari spot-spot atau obyek-obyek wisata yang belum terjamah atau belum tergali. “Kalau nanti ada foto-foto seperti pemandangan Bromo dan obyek umum lainnya bakal langsung dirijek. Kecuali ada angle yang bagus,” ujarnya.

Menurut Darwis, Lomba Foto Sadar Wisata tahun ini merupakan kesempatan buat para fotografer di daerah untuk mengeksplore dan mengabadikan obyek-obyek unik dan menarik di daerahnya masing-masing. “Foto obyek baru atau yang masih original mendapat point tersendiri selain tentunya teknik pengambilan fotonya,” terangnya.

Juri lainnya, Arbain Rambey menambahkan lomba foto sadar wisata 2013 yang bertema 'Kenangan Indah: Manusia, Budaya, dan Alam Indonesia' ini termasuk tema yang gampang. “Tapi justru banyak peserta yang terjebak. Solusinya carilah obyek-obyek foto yang jarang diangkat agar menghasilkan foto yang segar,” jelasnya.

Ketua dewan Juri Sigit Pramono mengatakan lomba foto ini terbuka untuk umum. “Batas akhir penyerahan karya foto ke pihak panitia lomba hingga 15 Juli 2013,” katanya.

Dewan juri akan melakukan penilaian foto pada 22 Juli 2013 di Balairung Soesilo Soedarman, Gedung Sapta Pesona Jakarta, kantor Kementerian Parekraf. Pengumuman para pemenang dan penyerahan hadiah akan dilaksanakan di Fountain Atrium, West Mall Grand Indonesia Shopping Town Lt 3 A Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat pada 20 September 2013.

 “Seratus karya foto terbaik akan dipamerkan pada 20 hingga 22 September 2013 di tempat yang sama,” tambah Sigit.

Para pemenang Lomba Foto Sadar Wisata 2013 akan mendapat hadiah berupa uang dan piagam. Juara pertama mberhak atas hadiah uang sebesar Rp20 juta, juara dua Rp17 juta, juara tiga Rp15 juta, juara harapan satu Rp10 juta, juara harapan dua Rp7,5 juta, juara harapan tiga Rp5 juta, dan hadiah favorit Rp3 juta serta masing-masing mendapat piagam dari Menparekraf.

Setiap peserta maksimal mengirimkan 5 foto. Dialamatkan ke Sekretariat Panitia Lomba Foto Sadar Wisata 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Jalan Medan Merdeka Barat No. 17, Jakarta 10110,  Gedung Sapta Pesona. Lt.4. Atau diemailkan ke: fotosadarwisata@parekraf.go.id

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Menjelajahi Warung-Warung Betawi yang Legendaris di Jakarta

Di Jakarta, café dan resto menjamur terutama di kawasan elit dan strategis. Food court dan food hall pun semarak di mal-mal mewah. Kendati begitu sejumlah warung yang menjual makanan khas Betawi dan peranakan Tionghoa, tetap perkasa, tak lekang dimakan waktu.  

Berdasarkan pantauan penulis, sekurangnya ada Sembilan (9) warung Betawi dan Cina peranakan yang legendaris di Jakarta, yang terbilang populer dan tetap eksis hingga kini. Usianya puluhan tahun. 

Racikan tempo doeloe dengan resep turun-temurun serta menjaga kualitas dan keasliannya menjadi rahasia utama hingga mereka tetap berjaya. Pelanggan setianya pun datang silih berganti.

Pertama, Warung Soto Betawi H. Ma'ruf. Dirintis oleh H. Ma’ruf, pria asal Betawi sejak tahun 1940-an. Ketika itu, ia menjajakan sotonya dengan cara dipikul keluar masuk kampung. Saat tentara Jepang menduduki Indonesia, termasuk Jakarta, H. Ma’ruf sempat berhenti berdagang. Dia kembali meneruskan usahanya pada 1946, dengan berjualan di Pasar Boplo atau kini bernama Pasar Gondangdia. Tak lama, H. Ma’ruf mendirikan warung Soto Betawi pertamanya di dekat Kantor Imigrasi, Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

Setelah sempat beberapa kali pindah, akhirnya dagangan Soto Betawi-nya menetap di areal Taman Ismail Marzuki (TIM), Jalan Cikini Raya No. 73, Jakarta Pusat hingga sekarang. Warungnya berupa bangunan tua dengan dinding bercat putih. Di atas pintunya terpampang tulisan Rumah Makan Betawi Soto H. Ma’ruf. Meski tak besar, ruangannya bersih dan nyaman.

Sotonya sama seperti Soto Betawi lainnya, ada isi daging sapi atau campur (daging, jeroan, kikil, dan babat) dalam mangkung dengan kuah santan ditambah emping dan irisan tomat. Rasanya gurih dan nikmat. Tak heran penikmatnya mulai dari orang biasa, artis, pejabat, tokoh politik, mantan Presiden Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), hingga keluarga Cendana pernah mencicipinya. Sekarang, Rumah Makan Soto Betawi H Ma’ruf dikelola oleh putranya, Muchlis Ma'ruf.

Harga seporsi Soto Betawi plus nasi putih, kerupuk, dan teh hangat tawar Rp 42.000. Kalau hanya Soto Betawi campur-nya Rp 35.000 semangkuk. Warung yang buka setiap hari 09.00 WIB s/d 22.00 WIB ini juga menjual Sate Kambing. Bisanya pengunjung menyantap lengkap Soto Betawi plus Sate Kambing.

Kedua, Warung Ketupat Sayur H. Mahmud. Berdirinya sejak 1957. Dari sekian banyak pedagang ketupat sayur khas Betawi di Jakarta, tak bisa dipungkiri Ketupat Sayur buatan H. Mahmud punya citra rasa beda dan nikmat. Ketupatnya dibuat sendiri, termasuk selongsongnya dari janur kelapa yang segar. Yang bikin enak, ketupatnya dimasak bukan dengan kompor, melainkan secara tradisional dengan kayu bakar. Setelah matang, ketupat dipotong-potong disajikan di piring lalu disiram dengan sayur kacang panjang yang wangi oleh santan dan ebi yang diulek secara tradisional pula.

Sayur kacang panjangnya juga beda dengan yang lain. Kacang panjannya dipotong kecil-kecil dan dimasak tidak terlalu lembek. Kuahnya bersantan encer berwarna coklat kemerahan dengan rasa agak pedas. Lauknya ada ayam kampung goreng, bakwan udang, semur tahu, tempe jengkol, dan semur telor serta pindang bandeng hitam. Juga ada telur sambal merah atau balado plus lalapan daun kemangi dengan sambalnya.

Warung yang berada di Jalan Raya Kebayoran Lama Pal 7 No. 6 Jakarta Selatan ini kini dikelaola dikelola oleh anak dan menantu H Mahmud yakni Mulyadi dan Nana. Setiap hari ini warung berkapasitas 25 orang ini bisa menjual ratusan buah ketupat. Harga seporsi ketupat sayur dengan semur tempe dan bakwan udang serta teh es manis hanya Rp 17.000. Warung ini Selasa s/d Minggu mulai puluk 07:00 s/d 18:00 WIB. Hari Senin tutup.

Ketiga, Rumah Makan Laksa Betawi Hj. Atika. Berdiri stahun 1940-an, sejak jaman penjajahan Jepang. Pemilik warungnya Hj Atika. Menurut H. Lukman suami dari Hj. Atikah ini mengatakan bahwa rumah makan tersebut sebenarnya milik ibu mertuanya, Hj. Rohmah. Rumah makan ini awalnya berlokasi di tepi jalan K.H. Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lalu pindah ke Jalan Kebon Kacang V No. 29, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dan sekarang pindah ke No. 44.

Laksa berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti “banyak”, mungkin karena kuahnya yang menggunakan banyak bumbu. Makanan berkuah berjenis mi ini berasal dari kebudayaan peranakan Tionghoa-Melayu, yang terdiri dari bihun, telur, ketupat, tauge, daun kemangi, dan kucai. Sementara kuahnya menggunakan udang rebon.

Harga ketupat laksanya Rp 15 ribu-25 ribu tergantung lauknya. Di rumah makan yang buka mulai pukul 09.00 WIB s/d 16.00 WIB ini juga dijual Sate Lembut dan Sate Asem/Manis. Warung Laksa Betawi lainnya yang juga legendaris adalah Laksa Betawi Bang Darus di daerah Kebayoran Lama.

Keempat, Warung Gado-gado Bonbin. Berdiri sejak tahun 1960. Dinamakan begitu karena warung ini berada di Cikini, dekat kebon binatang (bonbin) yang kemudian menjadi Taman Ismail Marzuki (TIM). Gado-gado bonbin itu berisi tumpukan aneka rebusan sayur mayur seperti touge, kangkung, kacang panjang, kol, dan irisan lontong serta telur ayam dalam nampan yang disiram saus kacang dan ditutup dengan bawang goreng, emping, dan kerupuk udang.

Warung Gado-gado Bonbin didirikan Lanny Wijaya. Selain gado-gado dia juga menjual es cendol dan gado-gado pada 1960 untuk pengunjung kebun binatang yang dulu ada di Cikini. Warung gado-gado ini dulunya ada di Jalan Bonbin III, kini bernama Jalan Cikini IV No. 5, Jakarta Pusat. Sekarang warung itu dikelola anaknya, bernama Hadi.

Penikmat Gado-gado Bonbbin mulai dari orang biasa sampai pejabat antara lain mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, mantan presiden RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (almarhum), dan Taufiq Kiemas, suami dari presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri.

Rahasia panjang umur Gado-gado Bonbin karena rasanya yang konsisten.Hadi tak pernah menyerahkan urusan pengolahan masakannya kepada orang lain. Dia sendiri yang meracik bumbu kacang, merebus sayuran, termasuk membuat lontong. Saus kacangnya istimewa lantaran kacang tanahnya disangrai, bukan digoreng. Sepiring gado-gado dengan lontong harganya Rp 25 ribu. Kalau pakai nasi, tambah Rp 2.000 lagi.

Kelima, Warung Ayam Goreng Haji Mardun Martinah. Didirikan oleh Haji Mardun Martinah, seorang keturunan Tionghoa Betawi pada tahun 1960-an. Lokasinya di Jalan Taman Sari No. 17C Jakarta Barat. Ayam Goreng khas dari Warung Haji Mardun Martinah ini masih berwarna kuning yang berasal bumbu dan masih basah alias tidak digoreng terlalu kering. Daging ayam terasa empuk dan lembut ketika digigit. Teman bersantapnya sambal, kecap, acar timun, cabe rawit, dan acar bawang.

Selain Ayam goreng, warung ini juga menjual Bebek Goreng, Sayur lodeh, Sayur Asem, Semur Kentang, Bihun, dan Tahu Goreng. Harga ayam gorengnya Rp 15.000 per potong.


Ketupat Sayur H Mahmud

Keenam, Warung Nasi Ulam Misjaya. Didirikan pertama kali oleh Misjaya pada tahun 1964. Ketika itu masih menggunakan pikulan, lalu berganti gerobak pada 1972. Kini Nasi Ulam Misjaya mangkal tepat di depan Klenteng Toasebio, Jalan Kemenangan III, kawasan Pecinan, Glodok, Jakarta Barat.

Nasi ulam hampir mirip dengan nasi uduk dan nasi rames. Yang membedakannya, nasinya dimasak dengan rempah-rempah. Alat menanaknya bukan dengan rice cooker melainkan dengan dandang, sejenis panci yang sudah sangat jarang orang gunakan. Namun justru membuat nasinya lebih pulen.

Seporsi Nasi Ulam ini bersisi nasi dengan semur, bihun, dendeng, tahu, krupuk, dan emping. Sedangkan pilihan lauk lainnya, telur balado, perkedel, cumi asin, bakwan udang, tempe dan tahu bacem serta ayam goreng.

Ketujuh, Warung Nasi Uduk Babe H. Saman. Sudah ada sejak tahun 1963. Santapan khas Betawi ini biasanya dinikmati dengan ayam goreng, empal, dan tahu serta tempe goreng, semur juga sambal kacang. Nasi uduk khas Jakarta ini dibungkus dengan daun pisang hingga membuat aroma khas dan rasa nasi uduk jadi lebih nikmat. Namun sebelum dibungkus daun pisang, nasi uduknya didinginkan dahulu agar tidak berubah menjadi bubur saat dibungkus.

Walau sederhana, Warung Makan Nasi Uduk Babe H yang berada di Kebon Kacang, Jakarta Pusat ini digemari sejumlah pejabat seperti Ali Sadikin, Megawati Soekarnoputri, Sutiyoso, dan lainnya. Warungnya buka mulai pukul 17.00 hingga 02.00 WIB. Satu bungkus nasi uduk dihargai Rp 3.000. Lauknya bervariasi sepertuayam goreng, empal, dan bakwan udang.

Kedelapan, Warung Nasi Uduk & Ayam Goreng Zainal Fanani. Pemiliknya Zainal Fanani, di Jalan Kebon Kacang 8, Jakarta Pusat. Nasi uduk Kebon Kacang ini mulai dirintis sejak tahun 1967 oleh Abdul Hamid Toha.

Saat itu, lokasinya masih berada di sebuah tikungan jalan Kebon Kacang 1. Ketika Abdul meninggal, sang anak, Zainal Fanani melanjutkan usaha tersebut. Lokasinya pun berpindah di Jalan Kebon Kacang 8 No. 5. Lokasinya strategis, jadi pengunjungnya ramai pada jam makan siang dan makan malam.

Kesembilan, Warung Asinan Petamburan. Berdiri sejak tahun 1980, pemiliknya keturunan Tionghoa. Lokasinya di Jalan Aipda K.S Tubun No. 136, Jakarta Pusat. Di depan warungnya ada papan reklame merah bertuliskan Asinan Petamburan.

Sepiring asinan warisan kuliner campuran Betawi dan Tonghoa jaman dulu ini berisi tumpukan tauge, irisan wortel, dan daun sawi asin yang disiram dengan bumbu kacang yang gurih. Ditambah dengan kerupuk kuning dan kacang goreng.

Selain asinan, warung ini juga menjual sop iga yang tak kalah tersohornya. Selepas menyantap dua menu itu, ada beberapa panganan kecil sebagai penutup seperti lumpia basah, bacang, kue pisang, dan kue sus. Seporsi Asinan Petamburan hanya Rp 8.000. Kalau lumpia basah atau risol serta kue pisang masing-masing Rp 2.500 per potongnya.

Kalau Anda kebetulan berwisata ke Jakarta atau sedang ada urusan keluarga, niaga, pekerjaan dan lainnya, tak ada salah mampir ke warung-warung masakan khas Betawi dan peranakan Tionghoa di atas. Anda pun bakal memahami mengapa warung-warung tersebut tetap bertahan ditengah gempuran café dan resto mewah. Sekaligus belajar bagaimana mereka merawat usahanya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Kamis, 16 Mei 2013

Ayo Nonton Jakarta Festival Museum Day di Kawasan Kota Tua

Dalam rangka memeriahkan Hari Museum Internasional 2013, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta akan menggelar Jakarta Festival Museum Day (JFMD) di Taman Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat pada 18 Mei 2013. Sebanyak 45 museum yang ada di Jakarta akan mengikuti acara tahunan ini. 

Tahun lalu, peserta JFMD hanya diikuti 43 museum dari 53 museum yang ada di Jakarta. Menurut Kepala Disparbud DKI Jakarta Arie Budiman, acara ini diharapkan dapat meningkatkan kunjungan wisatawan ke museum. “Warga Jakarta dapat mengetahui berbagai museum yang ada di Ibu Kota ini lewat acara ini,” kata Arie di Balaikota Jakarta, Rabu (15/5/2013).

Ke-45 museum yang mengikuti JFMD 2013 antara lain Museum Sejarah Jakarta atau yang dikenal Museum Fatahillah, Museum Tragedi 12 Mei Universitas Trisakti, Monumen Nasional (Monas), Museum Tekstil, Museum Taman Arkeologi Onrust, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Wayang, Museum Bahari, Museum Al Quran PTIQ Lebak Bulus, Balai Konservasi, dan Unit Pengelola Kota Tua.

JFMD tahun ini temanya mengacu pada tema Hari Museum Internasional 2013, yakni museum merupakan memori atau kenangan yang ditambahkan dengan kreativitas untuk menuju perubahan sosial.

Acaranya bukan hanya pameran. Di Museum Wayang misalnya, akan ada Festival Dalang Cilik, Pameran Wayang, dan Pagelaran Wayang Banyumas semalam suntuk dengan menampilkan dalang Ki Anom. Sedangkan Di Kota Tua akan digelar Pagelaran Week and Kota Tua

Disbudpar DKI menargetkan jumlah pengunjung JFMD 2013 mencapai 10.000 orang. Mengingat keterbatasan lahan parkir.

Kepala Bidang Pengelolaan Daya Tarik Destinasi Disparbud DKI Jakarta Ida Zubaidah mengimbau agar pengunjung tidak membawa kendaraan pribadi saat berkunjung ke acara ini.

“Sebaiknya menggunakan angkutan umum bus transjakarta ke Kawasan Kota Tua,” imbaunya seraya menambahkan bahwa acara ini gratis, pengunjung tidak dikenakan biaya.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Rabu, 08 Mei 2013

Belajar dari Erupsi Mendadak Gunung Mayon

Hari ini, Rabu (8/5/2013) sejumlah media baik nasional maupun internasional memuat erupsi Gunung Mayon di Filipina, yang meletus tiba-tiba hingga menewaskan 5 orang pendaki dan melukai 7 lainnya, Selasa (7/5). 

Di dalam negeri, Harian Kompas misalnya memasang beritanya di halaman pertama berjudul “Mayon Meletus Tidak Terduga”.

Ini membuktikan berita meletusnya sebuah gunung tetap SEXY, terlebih sampai menewaskan sejumlah orang yang tak lain pendaki asing. 

Namun yang terpenting dari pemberitaan meletusnya gunung berketinggian 2.460 meter di atas permukaan laut ini bukan sekadar info mengenai kejadian dan dampaknya, pun pembelajaran dari erupsi maut yang tak terduga ini.

Disebut tak terduga, lantaran tidak ada peringatan sebelumnya karena tak ada intensifikasi aktivitas vulkanik yang terpantau.

Kendati tidak aktivitas magma dari letusannya, namun semburan debu dan uapnya yang tiba-tiba itu amat mengejutkan sejumlah pendaki dan warga di kaki gunung tersebut.

Lima korban tewas adalah empat orang wisatawan Jerman dan pemandu mereka warga Filipina. Sedangkan yang luka, salah satunya seorang pria Thailand. 

Seperti yang dikabarkan seorang penyelenggara wisata setempat, gunung berbentuk kerucut ini meletus tiba-tiba tanpa tanda-tanda sebelumnya.

Ini membuktikan bahwa gunung aktif bisa meletus kapan saja, tanpa adanya kegiatan kegempaan sebelumnya sebagaimana biasanya terjadi sebelum gunung tersebut meletus.

Dan hal ini pun bisa saja terjadi di Indonesia, terlebih negeri kita ini terdapat puluhan gunung aktif. Bahkan beberapa di antaranya super aktif.

Meletusnya Mayon yang mendadak menjadi pembelajaran buat pendaki dan sejumlah pihak terkait di Indonesia seperti operator pendakian, pemandu, petugas pos pengamatan gunung dan lainnya untuk tetap berhati-hati dengan tabiat gunung aktif yang tak terduga, terutama saat  para pendaki tengah mendaki jenis gunung ini. Karena petaka bisa terjadi tanpa diduga.

Mayon merupakan salah satu dari 22 gunung api paling aktif di Filipina. Gunung yang terletak di Provinsi Albay, sekitar 300 Km sebelah Tenggara Kota Manila ini sudah meletus sebanyak 50 kali sepanjang sejarahnya. Letusan pertama tercatat terjadi pada tahun 1616. Letusan terparah terjadi pada 1 Februari 1814, aliran laharnya mengubur Kota Cagsawa dan menewaskan 1.200 orang.

Pada Agustus 2006 juga pernah meletus namun tidak menimbulkan korban jiwa. Tapi empat bulan pascaerupsi teresbut terjadi angin topan yang menyebabkan longsornya lumpur vulkanik dari lereng gunungnya hingga menewaskan 1.000 orang.

Dan pada 2009, letusannya membuat puluhan ribu penduduk desa di kakinya terpaksa mengungsi.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Fun Hiking di Gunung Api Purba, Nglanggeran

Suka mendaki gunung tapi tak mau yang terlalu berat dan tinggi? Coba saja ke Gunung Nglanggeran. Treknya cocok buat pendaki yang ingin mendaki santai. Kendati begitu alamnya punya daya pikat tersendiri, berupa deretan batu raksasa beragam bentuk dengan pemandangan menawan dari puncaknya yang hanya berketinggian 700 Mdpl. Bahkan dapat menyaksikan matahari terbit dan terbenam dari puncak-puncaknya.

Menikmati pesona sunrise dari puncak gunung merupakan salah satu tujuan banyak orang mendaki gunung. Sayangnya tidak semua orang dapat mewujudkan keinginan itu lantaran harus mendaki gunung tinggi dengan medan yang berat dan panjang dengan berjalan kaki hingga  membutuh waktu yang lama. Belum lagi faktor cuaca, fisik, dan juga umur ikut berpengaruh. 

Namun semua itu tidak berlaku dengan Gunung Nglanggeran yang berada di Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta. Untuk menikmatinya, kita hanya butuh waktu sekitar 1 sampai 1,5 jam pendakian dari titik awal pendakian. Medan trek-nya pun tidak terlalu berat. Kita dapat menapakinya dengan santai, pergi-pulang. Bukan cuma sunrise tapi juga sunset cantik.

Pendakian dimulai dari pintu masuk menuju Song Gudel atau Kandang Anak Kebo. Dinamakan begitu ada batuan besar yang “disonggo” batuan yang lebih kecil hingg membentuk seperti goa yang menyerupai kandang. Di sekitarnya ada pohon akasia dan sengon.

Selanjutnya ke Zona Senthong atau celah dua bukit, kurang lebih 5 menit. Dinamakan begitu karena ada himpitan dua tebing yang harus dilalui agar sampai ke lokasi selanjutnya. Pajang celahnya sekita 50 meter dan dilalui dengan cara merayap.

Selepas itu istirahat sejenak di saung sambil melihat pemandangan. Baru kemudian bergerak ke Tlatar Gedhe, sekitar 10 menit. Treknya cukup menantang, melewati batuan vulkanik dan semak belukar dengan pemandangan yang tak kalah menawan.

Dari situ langsung ke Gunung Kelir sekitar 10 menit. Dinamakan begitu karena bentuk gunungnya datar menyerupai kain putih latar wayang. Di tempat ini juga ada himpitan 2 bukit yang harus dilalui agar dapat sampai ke lokasi selanjutnya yaitu “Sumber Comberan”. Setelah melewati celah tersebut kita akan menemukan sumber mata air di puncaknya.

Dari sini terus ke Puncak Gunung Gedhe yang merupakan salah dari 2 puncak yang ada di Gunung Nglanggeran. Butuh wantu sekitar 15 menit dari Sumber Comberan ke puncak ini dengan trek yang cukup panjang  namun tidak begitu melelahkan.



Pesona Puncak
Dari puncak Gunung Gedhe inilah kita dapat menyaksikan pemandangan menawan, termasuk deretan bukit yang kita lalui sebelumnya.

Sejauh mata memandang, kita disuguhkan hamparan hutan kehijauan dengan langit kebiruan berhias gumpalan awan putih yang berarak. Kala senja menjelang malam, lampu-lampu kota Jogja nampak bak lautan kunang-kunang yang menawarkan nuansa romantis bagi siapa saja yang berkemah di gunung ini.

Tempat lain yang tak kalah menarik untuk dikunjungi di gunung ini adalah Bukit Wayang Abimayu dengan puncak-puncak menjulang tinggi dengan relief alam menakjubkan. Lokasi lainnya Goa Kaliwiyu serta pemandangan air terjun musiman yang muncul saat musim hujan melewati celah-celah batuan.

Gunung Nglanggeran merupakan gunung api purba yang pernah aktif puluhan juta tahun lalu. Gunung yang litologinya tersusun oleh fragmen material vulkanik tua ini memiliki dua puncak yakni puncak barat dan puncak timur, serta sebuah kaldera di tengahnya.

Gunung Nglanggeran berada di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Kabupetan Gunung Kidul. Lokasinya dapat ditempuh sekitar 15 menit atau sekitar 22 km dari Kota Wonosari. Kita dapat mencapainya dari Wonosari, melewati Bunderan Sambipitu, ambil kanan arah ke Dusun Bobung tempat kerajinan Topeng. Lalu ke Desa Nglanggeran.

Kalau dari  Yogyakarta menuju Bukit Bintang Patuk, Radio GCD FM belok kiri kira-kira 7 KM ke arah Desa Ngoro-oro lokasi stasiun-stasiun Transmisi. Kemudian ke Desa Nglanggeran, tepatnya ke Pendopo Joglo Kalisong.

Wisata Gunung Api Purba Nglanggeran dikelola sepenuhnya oleh Karang Taruna Desa Nglanggeran. Tiket masuknya Rp. 3.000 per orang untuk siang dan Rp. 5.000 per orang untuk malam hari. Pengelolanya juga menyediakan sejumlah paket wisata, antara lain paket tracking hingga paket sunset & sunrise.

Nah, jika Anda ingin melihat peosna matahari terbit dari puncak gunung cukup dengan mendaki santai (fun hiking), datang saja ke Gunung Nglanggeran. Kalau Anda hobi panjat tebing, Anda juga dapat memanjati beberapa tebingnya lewat jalur pemanjatan yang sudah tersedia.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Selasa, 07 Mei 2013

Kondisi Gunung Papandayan Belum Kondusif

Sejak ditetapkan berstatus Siaga pada Minggu (5/5/2013), Kondisi Gunung Papandayan di Garut, Jawa Barat masih belum menentu. Karenanya petugas pengamatan gunung ini masih melarang masyarakat dan pengunjung beraktivitas pada radius 2 Km dari puncaknya. Sejumlah warga cemas dengan isu gas beracun. 

Kendati aktivitas kegempaan di gunung ini pada Selasa (7/5/2013) sudah lebih rendah dibandingkan Senin (6/5/2013), namun pihak Pos Pengamatan Gunung Papandayan masih mengkhawatirkan adanya semburan gas beracun dari kawasan puncak gunung ini. Semburan gas beracun itu dapat keluar sewaktu-waktu tanpa ada tanda kegempaan.

Petugas Pos Pengamatan Gunung Papandayan, Momon mengatakan Gas beracun Gunung Papandayan tidak bisa dilihat, bahkan diprediksi lantaran tidak diawali dengan aktivitas kegempaan apa pun yang bisa terekam seismograf. “Sampai sekarang belum terdeteksi adanya semburan gas beracun.

Pos pengamatan baru mendapatkan aktivitas kegempaan. "Karena kondisinya masih naik-turun, statusnya masih ditetapkan siaga,” terangnya.

Kendati berstatus siaga, sebanyak 11.544 warga yang tinggal di lima kecamatan di kaki gunung ini yakni Cisurupan, Pamulihan, Bayongbong, Pakenjeng, dan Sukaresmi masih tinggal di kediamannya masing-masing.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengatakan belum memberi instruksi bagi mereka untuk mengungsi. Namun Sutopo merekomendasikan agar sejumlah obyek wisata yang ada di gunung ini seperti Kawah Mas, Kawah Baru, Kawah Nangklak, dan Kawah Manuk untuk ditutup sementara.

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, menaikan status Papandayan berdasarkan sejumlah indikasi. Salah satunya, peningkatan aktivitas kegempaan. Minggu kemarin, pukul 00.00 hingga 06.00, tercatat 60 kali gempa tektonik lokal dan 10 kali gempa vulkanik dangkal. Semakin banyak gempa vulkanilk dangkal artinya magma sudah dekat dengan permukaan.

Kepala PVMBG Badan Geologi Surono mengatakan, sejauh ini belum ada rekomendasi pengungsian. Warga hanya diimbau tidak mendekati gunung dalam radius 2 kilometer dari puncak. Adapun kawasan terdekat yang dihuni masyarakat sekitar 5 km dari puncak.

Gunung Papandayan yang berketinggian 2.665  meter di atas permukaan laut ini tercatat beberapa kali meletus, yang terparah letusan tahun 1772 yang menghancurkan 40 desa dan menewaskan sekitar 2.951 jiwa. Kejadian itu menyebabkan daerah sekitarnya tertutup longsoran mencapai 10 km dengan lebar 5 km. ”Pada 13 Agustus 2011, Papandayan juga pernah dinaikkan statusnya jadi Siaga,” tutup Surono.

Gunung yang berada sekitar 70 Km sebelah Tenggara Kota Bandung ini termasuk salah satu gunung yang ramai dikunjungi pendaki dan pengunnjung biasa, baik dari dalam maupun luar negeri, terutama dari kawasan Eropa dan Amerika, sekalipun statusnya tengah  siaga.

Menurut salah seorang pemandu Gunung Papandayan, Dedi Rancuk pada Selasa (7/5/2013), dia sempat membawa turis asal Belanda ke Papandayan namun dilarang petugas setibanya di parkir sebelum kawah. “Seharusnya kalau ada informasi larangan ke kawahnya sudah ada infomasi di pos masuk, agar pengunjung yang terlanjur ke sana tidak kecewa,” ujarnya.

Kata Dedi lagi, kini sejumlah warga di Cisurupan, yang juga tempat kediamannya resah oleh isu gas beracun. “Padahal setahu saya aktivitas kegempaan Papandayan sudah menurun. Tapi entah kenapa beberapa warga ramai membicarakan gas beracun. Sementara warga lainnya, tetap tenang-tenang saja masih terus bekerja di ladang-ladangnya,” akunya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Di Solo, Bekas Rumah Sakit Jiwa Bakal Jadi Museum Keris

Lahan eks Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Mangunjayan di kawasan Sriwedari, Solo, bakal dibangun Museum Keris. Penyusunan Detail Engineering Design (DED) atas rencana pembangunan museum tersebut diperkirakan selesai akhir Mei 2013. 

Beragam usulan rancang bangun museum itu pun bermunculan. Ada yang mengusulkan agar desainnya mengadopsi karakter Candi Sukuh Usulan lainnya menggunakan karakter bangunan Jawa. 

Kepala Bidang Pelestarian Kawasan dan Bangunan Cagar Budaya Dinas Tata Ruang Kota (DTRK) Pemkot Surakarta Mufti Raharjo di Solo, Sabtu, mengatakan berbagai usulan masyarakat tentang rancang bangun museum itu akan dipertimbangan. “DED ini akan dijadikan dokumen lelang proyek pembanguan museum ini,” jelasnya.

Tugas DTRK selesai sampai DED saja. Setelah dokumen rampung, pembangunan museum ditangani langsung Dinas Kebudayaan dan Pariwisata setempat. “Pembangunan oleh Disbudpar akan diawali dengan penghapusan aset bangunan oleh Dispendukcapil dan DPPKA. Setelah beres, baru bisa dimulai pembangunannya,” terangnya.

Dosen museumologi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta Suharyono mengingatkan museum keris ini harus dirancang dengan sebaik-baiknya agar tidak bernasib sama dengan museum lain yang menjadi gudang penyimpanan benda-benda budaya.

Forum Bawa Rasa Tosan Aji Soedjatmoko yang mewadahi para empu, seniman, serta pencinta keris sempat mengajukan empat lokasi, yakni Omah Lowo di Laweyan, kompleks Taman Sriwedari, area keraton dan kawasan Benteng Vastenburg. Namun akhirnya dipilih eks gedung RSJ Mangunjayan yang dibangun pada masa Pakoe Boewono (PB) X.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surakarta, Widdi Srihanto mengatan anggaran pembangunan museum ini Rp 10 milar bersumber adari APN 2013. Dia juga nyatakan siap menggandeng perkumpulan seniman dan perajin keris.

Menurutnya, keberadaan pelaku seni di museumini memiliki arti penting untuk menjaga keberlangsungan seni kerajinan keris di Kota Solo.

Jika Museum Keris di Solo rampung dipastikan bakal menjadi satu-satunya museum bernama keris yang tentunya mengoleksi beragam keris bukan hanya dari Solo pun beragam keris dari seluruh Nusantara. 

Museum Lain
Namun sebenarnya museum yang mengoleksi keris sudah ada di beberapa museum, antara lain Museum Sonobudoyo di Yogyakarta dan Museum Pusaka di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.

Di Museum Sonobudoyo yang berada dekat Keraton Yogyakarta tepatnya di seberang Alun Alun Utara Yogyakarta ini menyimpan sekitar 1200-an koleksi.

Di museum ini bukan cuma keris saja pun wesi budha, yakni bahan baku pembuatan keris yang digunakan sekitar tahun 700-an Masehi, atau di jaman kejayaan Kerajaan Mataram Hindu. Selain Keris-keris Jawa, juga ada keris-keris dari luar Jawa antara lain rencong khas Aceh, mandau dari Kalimantan, keris-keris Madura dan Bali, serta keris dari Sulawesi.

Sedangkan koleksi keris di Museum Pusaka, antara lain Keris Nagasasra Sabuk Inten aman Mataram, Keris Singa Barong Tinatah Mas, Keris Naga Tapa dari Yogyakarta, dan ruang besalen atau tempat kerja empu pembuat keris.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Bowo

Read more...

Menguji Kebenaran Mitos Gunung-Gunung di Sumatera

Biasanya mitos lebih kental hidup dalam masyarakat Jawa. Ternyata di Sumatera juga ada mitos yang bersemayam di beberapa gunungnya. Mulai dari mitos Suara Neraka, Batu Cukup sampai mitos tongkat pengubah arah letusan gunung. 

Di Gunung Sibayak yang berketinggian 2.212 meter di atas permukaan laut (mdpl) misalnya, ada mitos tentang Suara Neraka yang sampai sekarang masih berhembus. Orang Batak Karo menyebut gunung di Desa Raja Berneh atau Desa Semangat Gunung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo, sekitar 60 KM dari Kota Medan ini dengan sebutan Gunung Raja.

Di gunung yang menghadap Kota Brastagi ini, kata masyarakat di kakinya sering terdengar suara orang sendang berkumpul, kadang berteriak bahkan menangis. Suara-suara itu disebut ‘Suara Neraka’ oleh penduduk setempat.

Konon, dulu ada dukun sakti di gunung ini yang tak mampu menyembuhkan anak perempuannya sendiri yang sakit sampai meninggal. Lantaran sedih, dukun itu mengorbankan dirinya kepada penunggu gunung ini. Sejak itu kerap terdengar suara tangisan dukun tadi dan anaknya yang kemudian disebut-sebut sebagai ‘Suara Neraka’.

Suara Neraka itulah yang kemudian dituding sebagai biang penyebab kecelakaan sejumlah pendaki lokal maupun turis asing, termasuk kecelakaan pesawat.

Mitos Suara Neraka ini pun menarik perhatian peneliti asal Jepang. Dia mendaki gunung ini lalu merekam suara itu. Dia ingin tahu, apakah sumber suara itu dari gas sulfur, angin, atau karena ada gelombang elektromanetik. Lalu rekaman suara itu dibawa ke negerinya dan diperiksa di lab khusus meneliti suara.

Hasilnya ternyata suara angin yang kadang berfrekuensi sangat rendah, lamat-lamat lalu tinggi yang mampu menstimulasi pembentukan hormon steroid yang efeknya bikin orang berhalunisasi hingga stres.

Suara yang berfrekuensi rendah itulah jawaban dari pertanyaan apa yang menyebabkan banyak pendaki yang kesasar dan berhalunisasi, termasuk beberapa kecelakaan pesawat dan helikopter di gunung ini.

Ada tiga jalur umum yang biasa digunakan pendaki untuk mencapai puncak Gunung Sibayak, yakni Jalur Sibayak I dari Desa Raja Berneh yang berjarak 15 Km dari Kota Brastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas Lau Sidebuk-Debuk. Kedua, Jalur Sibayak II dari Desa Jaranguda, sekitar 3 Km dari Kota Brastagi.

Dan ketiga, Jalur 54 dari kawasan tongkoh atau bakaran jagung di Jalan Raya Medan-Brastagi. Jalur yang paling mudah adalag jalur Sibayak II. Untuk sampai ke Desa Jaranguda, dari Terminal Ampla, Medan naik bis jurusan Brastagi sekitar 2,5 jam.

Dari Brastagi lalu berjalan kaki selama 35 menit ke Desa Jaranguda. Dari desa yang tersedia penginapan dan warung makan di sebelah kanan jalan ini, perjalanan dilanjutkan ke gerbang awal pendakian dengan berjalan kaki lewati jalan setapak sekitar 10 menit. Dari gerbang awal pendakian berjalan sekitar 2 jam ke Pertamina lewati beraspal dan tangga beton.

Setelah dari Pertamina, perjalanan dilanjutkan sampai ke bibir kawah bertelaga selama 30 menit. Di bibir kawah biasa digunakan sebagai tempat mendirikan tenda untuk bermalam. Kalau melanjutkan perjalanan ke puncak tapal kuda, butuh sekitar sekitar 30 menit lagi. Namun medannya terjal berbatu mirip perjalanan ke puncak Gunung Merapi di Jawa Tengah. Dari puncaknya terhampar panorama menawan berupa suasana Kota Medan dan juga Gunung Sinabung di kejauhan. 

Lain lagi dengan Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumut yang berketinggian 2.460 mdpl. Mitosnya justru hidup di Lau Kawar, danau yang ada di kaki gunung ini. Konon air danau ini berasal dari airmata seorang ibu yang menangis terus-menerus lantaran melihat anaknya Sinabung dan Sibayak kerap berkelahi.

Cerita lain, berasal dari air mata seorang ibu yang menangis karena terlampau sedih lantaran saat anak dan menantunya mengadakan pesta adat, tak sedikit pun orang dan sanak kerabat yang datang. Versi lain menyebutkan, air danau itu berasal dari air mata seorang cucu.

Mitosnya begini, dulu ada seorang nenek yang menetap di puncak Gunung Sinabung, sedangkan anak dan cucunya tinggal jauh di kaki gunung. Saat keluarga anaknya menggelar pesta, anaknya mengutus seorang cucu nenek itu untuk mengantarkan makanan kepada neneknya di puncak Sinabung. Tapi di perjalanan, cucunya menyantap makanan yangd ibawanya karena kelaparan. Neneknya pun marah besar lalu menampar dan menyumpahi cucunya. Lantaran menangis terus-menerus, air mata cucu tersebut lambat laun menjadi danau.

Ada pantangan yang harus dindahkan di danau ini yakni tidak boleh bicara jorok, dilarang berbat asusila dan membuang pembalut waniata serta memotong anjing. Kalau dilanggar, ‘penunggu’ danau dan gunung ini marah yang ditandai dengan datangnya badai.

Di danau ini banyak pegiat alam bebas yang berkemah. Tiket masuknya Rp 2.500 per orang, dan Rp 5.000 per tenda. Dari danau ini, puncak Sinabung terlihat. Biasanya pendaki yang ingng menggapai pincaknya berangkat pukul 02.00 WIB dini hari agar dapat melihat pesona sunrise dari puncaknya.

Kawah Batu Siliga adalah kawah belerang panas yang berada di puncak Sinabung yang bersuhu sekitar 15 derajat Celcius. Dari sini, di sebelah Timur terlihat keindahan Danau toba dan Kota Medan dikejauhan. Di sebelah Barat terlihat Danau Lau Kawar dan hamparan rumah penduduk di sekitar kaki gunung serta puncak Gunung Sibayak dan rangkaian Bukit Barisan yang hijau.

Jika tak sempat ke Danau Toba, cukup menuruni gunung ini kembali akan disuguhkan pemandangan danau Lau Kawar yang indah juga bermitos. Satu mitos lagi. Kalau mandi di danau ini, pasti suatu hari akan datang lagi ke sini.

Beda lagi dengan mitos di Gunung Marapi, Sumatera Barat yang berketinggian 2891 mdpl. Konon gunung yang lokasinya mencakup daerah Padang Panjang, Batusangkar, dan Bukittinggi ini awal mulanya nenek moyang orang Minangkabau turun lalu menuju sebuah daerah sekitar Batusangkar, yaitu Pariangan. Dari sanalah mulai peradaban orang Minang sampai kini.

Dulu banyak orang kampung di dekat Merapi yang mengambil alu atau tongkat yang biasa digunakan untuk menumbuk padi dan tepung di lesung lalu diarahkan ke Gunung Marapi yang sedang meletus dengan harapan letusannya tidak mengarah ke kampung. Percaya atau tidak, kampung itu pun hampir tidak pernah terkena letusan gunung yang parah. Dengan kata lain mitos itu ampuh dari bahaya letusan Gunung Merapi.

Mitos lainnya, Gunung Marapi merupakan rumah bagi Orang Bunian, karenanya tidak sembarang orang dapat mendakinya. Konon, dulu orang Bunian suka menculik penduduk kampung namun tidak berani mencarinya sampai mendaki Merapi yang tingginya sekitar 2.800 mdpl ini. Start pendakiannya dari Kotobaru, Kabupaten Tanar Datar.

Dari Koto baru menuju persimpangan Pandai Sikek. Lalu menuju Tower yang merupakan pintu masuk kawasan dengan naik ojek motor sekitar 15 menit. Dari Tower ke Pesanggrangan Bung Hatta, bekas bangunan bersejarah wakil presiden pertama RI. Dari situ lalu akan bertemu hutan bambu yang disebut Parak Batuang. Dari sini medan menanjak undakan akar kayu hingga menemukan Shelter Panjauan di ketinggian 1.750 mdpl. Dari pos ini, Kota Bukittinggi terlihat jelas.

Berikutnya akan bertemu Terowongan Pakis, berupa goa sempit yang dipayungi jalinan daun pakis atau paku. Di sekitar hutan pakis ini ada sumber mata air bernama Pintu Angin di ketinggian 2.277 mdpl. Setelah itu ke Cadas berupa panorama hutan khas pegunungan Bukit Barisan. Dari Cadas tinggal 2,5 Km atau sekitar 2 jam perjalanan ke puncak. Di puncaknya ada Tugu Abel Tasman, Kawah Marapi, Puncak Garuda, dan Taman Edelweiss.

Gunung ini termasuk gunung populer di Sumbar dan sekitarnya. Setiap akhir pekan terlebih musim liburan banyak pendakinya. Penurunan kualitas lingkungan pun tak terhindari, seperti sampah sisa pendaki dan coretan di beberapa obyeknya. Tak ketinggalan pencurian Bunga Edelweis di Taman Edelweis yang kerap dilakukan masyarakat maupun pendaki nakal.

Tempat Para Aulia
Mitos lainnya ada di Gunung Halimon yang berketinggian 1803 mdpl, di Aceh, tepatnya di daerah Tangse, Sigli. Di gunung yang kerap diselimuti kabut termasuk yang sulit dicapai puncaknya karena dipercaya ada kehidupan lain di dalam hutannya. Banyak rintangan dan cobaan untuk mencapai puncaknya, mengingat gunung ini diyakini sebagai tempat para aulia dan dianggap keramat. Tak sedikit orang tersesat di tengah hutannya lalu ditemukan telah menjadi mayat oleh penduduk setempat tapi ada juga yang selamat, tergantung niat orang itu ke gunung ini.

Konon, dulu ada yang pernah tersesat di hutan Halimon lalu bertemu dengan ‘warga’dari dunia lain itu dan membantu keluar dari ‘perkampungan’ mereka. Ketika orang itu terbangun dari sadarnya, dia menemukan kembali jalur pulang. Karena itu, orang yang hendak mendaki gunung ini harus punya niat baik dan pantang ria. Juga dilarang bercanda berlebihan, bersiul, dan bertepuk tangan. Konon kalau melanggar maka akan turun hujan deras dan akan tersesat serta mengalami hal-hal mistis di luar kesadarannya.

Sementara Gunung Dempo di Pagaralam, Sumatera Selatan yang berketinggian 3.159 mdpl punya mitos yang mengatakan bahwa orang Palembang asli tidak akan pernah mampun mendaki gunung ini. Kalau pun memaksakan diri mendakinya akan mendapatkan bermacam halangan selama pendakian.

Sedangkan Gunung Rajabasa di Lampung punya mitos lain lagi. Untuk mencapai puncak Gunung berketinggian 1.281 mdpl ini, pendakian dimulai dari Desa Sumur Kumbang yang warganya suku Sunda, sekitar 5 Km dari Kalianda, ibukota Lampung Selatan. Waktu pendakiannya 6 sampai 8 jam dan melewati 4 pos peristirahatan.

Sebelum mencapai Pos 1, pendaki disarankan berziarah ke makam Syeh Mansyur, yang dikeramatkan. Tokoh dari Sunda ini konon perintis lahirnya Desa Sumur Kumbang. Sesepuh desa juga mewanti-wanti pendaki agar tidak menebang pohon.

Di kawah gunung yang dikenal sebagai gudangnya pacet ini, pengisap darah ini terdapat sebuah batu besar berbentuk persegi empat dengan luas sekitar 2 x 2 meter. Orang-orang menyebutnya Batu Cukup. Disebut demikian karena sebanyak apapun orang duduk di atasnya, selalu cukup. Pernah ada tim pendaki yang berjumlah 20 orang tidur di atas batu itu. Pas bangun paginya, mereka saling terheran-heran kenapa batu sebesar itu mampu menampung 20 orang.

Lepas benar-tidaknya mitos itu, yang pasti kehadirannya menambah daya tarik gunung-gunung tersebut, hingga orang tertarik datang. Ada yang memang sekadar mendaki, tak sedikit yang bermaksud menguji kebenaran mitos tersebut.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Sabtu, 04 Mei 2013

Tujuh Faktor Kenapa Mendaki Gunung Tetap Digandrungi

Kendati muncul beragam kegiatan olahraga di alam bebas (outdoor sport activity) lain seperti rock climbing, rafting, caving, surfing, paragliding, canoeing, offroading, mountain biking, motor crossing, motor touring, dan lainnya. Tak bisa dipungkiri mountain hiking atau mendaki gunung yang dulu pernah booming, masih menjadi kegiatan luar ruangan yang paling digandrungi muda-mudi sampai kini. Tentu para peminatnya sekarang menikmatinya dengan cara dan rasa yang berbeda dibanding era dulu.  

Berdasarkan pengamatan penulis yang sampai kini masih aktif menulis, mendaki, dan mengamati kegiatan ini, sekurangnya ada tujuh (7) faktor mengapa mendaki gunung tetap dan bahkan makin diminati muda-mudi Indonesia. 

Pertama, tersedia ratusan gunung di negeri ini dengan beragam bentuk, kelebihan, dan kekhasannya. Ada gunung yang berbentuk kerucut dan pegunungan, ada gunung aktif dan mati, gunung populer dan kurang tersohor, gunung berpanorma indah di puncaknya atau terbuka dan tertutup, gunung berhutan lebat dan gundul, gunung bermedan sulit, sedang, dan mudah, serta ada gunung berketinggian di bawah 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl), di atas 1.000, di atas 2.000 bahkan di atas 3000-an mdpl, dan lainnya. 

Kedua, semakin mudah mendapatkan peralatan dan perlengkapan mendaki. Perlengkapan dan peralatannya pun semakin ke sini semakin beragam, berkualitas, dan lebih fashionable mulai dari pakaian, sepatu, ransel, peralatan masak, tenda, dan lainnya. Terlebih didukung dengan ketersediaan outdoor equipment shop yang semakin merata di kota-kota besar lain selain di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, Makassar, Medan, dan lainnya. 

Ditambah dengan adanya toko perlengkapan outdoor online yang menjual aneka produk peralatan dan perlengkapan mendaki gunung secara online. Biasanya toko online ini juga mempromosikan produknya lewat jejaring sosial. 

Ketiga, semakin banyak operator atau komunitas yang membuat kegiatan pendakian bersama atau pendakian massal (penmas). Pendakian bersama ini sangat membantu pendaki terlebih pemula yang sebelumnya tidak pernah mengikuti kegiatan kepecintaalaman di sekolah atau di kampus. 

Biasanya para operator atau komunitas ini menjual dan mempromosikan paket kegiatannya ini secara online lewat jejaring sosial dan grup/komunitas terkait. 

Keempat, adanya jejaring sosial terutama FB, blog, dan situs yang intens mengupas kegiatan ini. Contohnya www.travelplusindonesia.blogspot.com, dan lainnya yang mempermudah orang terlebih peminat kegiatan ini mendapatkan informasi tentang gunung berikut panduan dan tips-tips melakukan pendakian selain mengenal pendaki, komunitas pendaki bahkan membuat komunitas baru lalu mengadakan pendakian bersama. 

Keberadaan jejaring sosial ini juga membuat orang berlomba-lomba ingin narsis, dalam artian positif yakni mengekspos kegiatan pendakian yang tengah dan telah dilakukan, meskipun cuma berupa foto-foto narsis di perjalanan ataupun di puncaknya.
 
  

Kelima, makin beragam dan kreatif kemasan pendakian. Ada yang membuat pendakian santai tanpa misi apa-apa atau sekadar senang-senang saja, biasa juga disebut fun hiking. Biasanya dilakukan di gunung-gunung yang tak terlalu sulit dalam waktu yang tak tidak terlalu lama. 

Ada yang adventuring hiking atau pendakian yang berbumbu petualangan seperti ekspedisi membuka jalur dan lainnya. Biasanya dilakukan di gunung-gunung tinggi dan sulit atau yang jarang didaki. Ada yang menggelar moment hiking atau pendakian yang dilakukan untuk memperingati hari sesuatu, seperti hari kemerdekaan RI, lingkungan, bumi, Kartini, hari pahlawan dan lainnya. 

Ada yang menggelar pendakian massal (penmas) yang belakangan ini digandrungi pemula, dan ada juga yang small group (kelompok kecil) bahkan solo hiking atau pendakian seorang diri. Yang terakhir ini biasanya dilakukan oleh pendaki yang tidak menyukai mendaki gunung secara rombongan dan biasanya pelakunya sudah sarat pengalaman selain jiwa berpetualang yang di atas rata-rata. 

Ada juga yang mengemasnya dalam kemasan education hiking atau pendakian gunung yang di dalamnya memasukkan unsur pendidikan atau pengetahuan khusus seperti sambil belajar dan memperdalam fotografi, penelitian, pendataan, pengamatan flora/fauna, dan lainnya. 

Dan terakhir ini mulai muncul plus hiking atau pendakian tak biasa atau pendakian bernilai lebih yakni pendakian yang disertai beragam kegiatan bakti sosial, penyuluhan, dan lainnya yang berguna buat orang lain terutama masyarakat di sekitarnya. (Untuk detilnya, baca tulisan: Memberi Nilai LEBIH Pendakian).

Keenam, keinginan bersosialisasi dengan sesama pendaki. Sosialisasi ini dalam artian mencari teman sependakian, sahabat bahkan pacar alias jodoh buat mereka yang masih berstatus single. Ini terbukti setiap pendakian massal digelar, dipastikan banyak peminatnya. Apalagi peserta kegiatan penmas, biasanya mencapai puluhan orang, berkisar antara 10 s/d 50 orang bahkan ada yang lebih. 

Selain alasan biaya penmas lebih murah dibanding melakukan pendakian solo ataupun small group, pun lantaran ingin bersosialisasi lebih banyak lagi. Alhasil pertemanan, persahabatan pun kemudian kerap terjalin bahkan tak sedikit ada yang sampai mendapatkan pacar dan berjodoh hingga menikah. 

Ketujuh, masih eksisnya pendaki-pendaki senior di kancah dunia petualangan, khususnya pendakian di Tanah Air. Senior di sini, bukan dalam artian senior karena umurnya, melainkan sarat pengalaman dan ilmu pendakian. 

Loyalitasnya terhadap kemajuan kegiatan pendakian gunung-gunung di dalam negeri, termasuk unsur pariwisatanya, tak diragukan. Beberapa di antaranya bukan hanya masih aktif melakukan pendakian, pun rajin sharing pengalaman dan pengetahuannya seputar dunia pendakian baik secara lisan lewat obrolan santai, diskusi dan lainnya maupun secara terulis lewat tulisan-tulisan di blog, situs, buku, dan lainnya. 

Lewat sharing seperti itulah, secara tidak langsung keeksisan pendaki-pendaki senior ini turut juga membangkitkan semangat muda-mudi untuk melakukan pendakian gunung dengan benar, hingga akhirnya para pemain baru kegiatan alam bebas ini benar-benar memahami makna kegiatan ini dan semakin jatuh cinta dengan gunung. 

Keeksisan pendaki-pendaki senior ini pun secara tidak langsung ikut memajukan pariwisata Indonesia, terutama dibidang wisata minat khusus ini. Karenanyalah semakin banyak orang, khususnya kaula muda jadi tertarik mendaki gunung-gunung di Tanah Air tercinta belakangan ini. 

Berdasarkan 7 faktor hasil pengamatan penulis di atas, penulis memprediksi kegiatan mendaki gunung di Indonesia bakal terus menggeliat di tahun-tahun berikutnya, sekalipun muncul kegiatan outdoor sport activity baru lainnya. 

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Read more...

Memberi Nilai LEBIH Pendakian

Mendaki gunung termasuk kegiatan alam bebas yang sudah lama diminati muda-mudi negeri ini. Dan sampai saat ini tetap eksis. Seiring perkembangan jaman, kegiatan ini pun mengalami perubahan rasa dan cara hingga citra yang berbeda dengan era lalu. Akhirnya peminatnya mulai mencari kemasan baru agar kegiatan ini punya nilai lebih, bukan sekadar pendakian biasa.  

“Hari gini masih naik gunung, apa sih yang lo dapat?,” tanya Andi pada Dion, teman semasa kuliahnya dulu. “Banyaklah, ini olahraga gue sekaligus ngurangi stres,” balas Dion singkat dan tegas. Andi pun diam, sambil menganguk-anggukan kepalanya. 

Kata Dion, bukan cuma Andi yang bertanya begitu, masih ada beberapa teman kuliah bahkan teman SMA-nya dulu yang kerap menanyakannya begitu setiap kali bertemu. Bahkan ada yang nyinyir. “Lo bukannya umroh, banyakin sedekah, eh masih naik gunung aja. Apa enaknya sih”. Bahkan ada yang menuding miring. “Lo doyan ke gunung sekaligus cari wangsit ya? Bukannya pendaki gunung itu cuma bikin kotor gunung aja?”. 

Tapi tak sedikit yang justru bangga padanya. “Hidup lo enak banget sih, berpetualang dan naik gunung terus. Kan biayanya mahal”. Dan ada juga yang memuji dan bangga padanya. “Hebat lo ya masih sanggup nanjak gunung, rahasianya apa? Kalo gue boro-boro, lihat aja nih fisik gue”. 

Berdasarkan perbincangan Andi dan Dion serta penilaian teman-teman Andi lain terhadapnya, jelas sekali bahwa mendaki gunung pun mendapat sorotan dan penilaian yang berbeda terhadap pelakunya dari orang-orang yang sudah tak berminat lagi dengan kegiatan ini, terlebih orang awam yang tidak tahu-menahu makna kegiatan ini. 

Citra bahwa naik gunung itu cuma mencari senang-senang, mengotori gunung, pelarian dari masalah pribadi, narsis, dan lainnya itu bisa jadi benar. Realitanya, penulis masih melihat pencitraan itu di lapangan. 

Untuk menangkis semua citra miring itu, sudah waktunya para peminat kegiatan ini mengemas pendakian gunung dengan memberi nilai lebih yang tentu saja positif bukan cuma buat pelakunya, pun buat masyarakat sekitar. 

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis, sekurangnya ada tujuh (7) unsur yang dapat memberi nilai plus dalam setiap pendakian. 

Pertama, unsur religi. Pendakian yang disertai dengan kegiatan amal ibadah seperti menyumbang sajadah, sarung, mukena, Alqur’an, Yasin, karpet dan lainnya ke surau atau masjid kecil di kaki gunung atau di desa terakhir yang membutuhkan. Bisa juga menyumbang ke panti asuhan anak yatim-piatu, madrasah, dan lainnya yang membutuhkan. 

Caranya dengan menyisihkan uang untuk dibelanjakan ke grosir perlengkapan solat dan lainnya. Lalu dibawa ketika mendaki. Atau kalau tidak bisa ikut mendaki, dititipkan kepada teman yang ikut pendakian. 

Sebaiknya cara ini dilakukan secara bersama agar nilai sumbangannya besar. Misalnya sewaktu ada kegiatan pendakian massal (penmas), ada orang yang mengkoordinir untuk mengumpulkan dana misalnya setiap orang minimal Rp 50.000 lalu dibelanjakan dan kemudian sebelum melakukan pendakian diserahkan ke pengurus mushola yang sudah ditentukan sebelumnya. 

Alangkah baiknya dipisahkan juga sumbangan buat pengurus musolah tersebut, agar adil. Jika tidak ada yang mengkoordinir, mulainya melakukannya sendiri. Toh, pahala dari amal ibadah ini akan dipetik sendiri kelak, dan lambat laut pasti ada orang yang tergerak hatinya untuk turut menyumbang. 

Kedua, unsur pendidikan. Pendakian yang didalamnya memasukkan kegiatan mencerdaskan penerus bangsa, seperti menyumbang perlengkapan belajar anak-anak SD antara lain buku, tas, pensil, pena, kaos kaki, sepatu, seragam sekolah, buku-buku bacaan anak-anak, kamus Bahasa Inggris/Bahasa Indonesia, dan lainnya, atau fasilitas belajar-mengajar di sekolah yang membutuhkan di sekitar kaki gunung tersebut. Cara dan strategi melakukannya sama seperti di atas. 

Ketiga, unsur kesehatan. Pendakian yang didalamnya memasukkan kegiatan yang bertujuan turut menyehatkan anak-anak penerus bangsa seperti memberi sumbangan susu, makanan sehat agar anak-anak tidak jajan sembarangan atau pemeriksaan kesehatan, peralatan P3K, obat-obatan, tes golongan darah, dan lainnya yang melibatkan tenaga kesehatan khusus. 

Keempat, unsur lingkungan. Pendakian yang memasukkan kegiatan untuk menjaga kebersihan dan keasrian gunung. Misalnya aksi bersih sampah gunung bekas pendaki ataupun peziarah, pembuatan tempat sampah di titik-titik tertentu berikut rambu larangan membuang sampah sembarangan dan kalimat-kalimat peduli lingkungan. 

Atau melakukan reboisasi, menanam sejumlah bibit pohon yang sesuai dengan tanah dan cuaca gunung tersebut. Sebaiknya cara ini dilakukan secara bersama agar hasilnya lebih nyata. Minimal membawa turun kembali sisa sampah logistik sendiri. 

Kelima, unsur ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pendakian yang memasukan kegiatan yang menitikberatkan pada pengetahuan seperti penelitian, pengamatan dan atau pendataan flora dan fauna di gunung tersebut. 

Bisa juga penyuluhan sapta pesona terkait pariwisata, belajar memotret alam, penulisan terkait petualangan dan perjalanan wisata, pengenalan internet, dan lainnya. Hasilnya kemudian dilaporkan ke pihat terkait atau dipublikasikan agar khalayak tahu. 

Keenam, unsur nasionalis. Pendakian yang disertai dengan kegiatan untuk memupuk semangat cinta Tanah Air, seperti obrolan santai atau diskusi mengenai 4 pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD’45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Sebaiknya dibuat sesantai mungkin dikaitkan dengan fenomena yang tengah terjadi belakangan ini. 

Tujuannya agar semakin tumbuh rasa cinta Tanah Air, persatuan, dan kesadaran atas keberagaman bangsa ini hingga terpupuk rasa toleransi, saling menjaga dan menghargai. Cara ini pun sebaiknya dilakukan saat penmas kepada seluruh peserta, atau saat memberi wawasan kepada anak-anak pelajar SD di sekolah-sekolah sekitar gunung tersebut. 

Ketujuh, unsur petualangan. Pendakian yang disertai dengan kegiatan yang kental aroma petualangannya seperti ekspedisi membuka jalur baru ataupun penelitian khusus, dan lainnya. Hasilnya kemudian dilaporkan pihak terkait dan atau disebarluaskan ke publik.
  
  
Agar masing-masing unsur yang dimasukkan dalam pendakian ini lebih maksimal, sebaiknya mengikutsertakan pihak terkait untuk membantu mendukung dan mensponsorinya. Misalnya kegiatan berunsur kesehatan, dapat bekerja sama dengan dokter atau tenaga medis terkait, dan sebagainya. 

Pilihlah kegiatan yang praktis, artinya dapat dilakukan sebelum mendaki gunung. Jadi tidak terlalu menyita waktu banyak. Lain halnya dengan kegiatan yang dapat dilakuan seiring dengan pendakian itu sendiri misalnya kegiatan berunsur lingkungan, ilmu pengetahuan, dan berunsur nasionalis. 

Jika salah satu unsur di atas diterapkan, dengan sendirinya pendakian yang dilakukan sudah bernilai lebih. Apalagi kalau dilakukan secara terus-menerus dengan unsur bergantian, pastinya, citra miring mendaki gunung cuma hepi-hepi atau bahkan justru merusak alam itu sendiri, akan musnah dengan sendirinya. 

Bisa juga dalam kegiatan pendakian sekaligus memasukkan 2 unsur di dalamnya seperti unsur religi/pendidikan/kesehatan//nasionalis/iptek dengan unsur lingkungan ataupun petualangan. 

Jadi menyisihkan sedikit rezeki dengan cara menyumbang, tidak perlu menunggu sebuah kampung/desa/kota itu porak-poranda oleh gempa, banjir bandang, longsor, puting-beliung dan lainnya. Dengan mendaki gunung, kita juga bisa sambil berbagi rezeki dan ilmu pengetahuan ataupun wawasan yang bermanfaat, bukan melulu senang-senang atau narsis-narsis semata di atapnya. 

Sudahkan Anda memberi nilai lebih dalam setiap pendakian Anda? Jika belum, mulainya mencobanya dari sekarang. Teruslah mencoba menjadikan setiap langkah dan kata itu AMAL IBADAH, dimanapun dalam kegiatan apapun, termasuk dalam kegiatan mendaki gunung. 

Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@ayahoo.com)

Read more...

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP