. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Kamis, 16 Maret 2023

Inilah Grade Japen 13 Gunung di Indonesia Rekomendasi APGI


Grading atau kelas yang menggambarkan tingkat kesulitan setiap jalur pendakian (japen) gunung-gunung di Indonesia baru-baru ini direkomendasikan Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas)-nya yang berlangsung pertengahan bulan lalu di Surabaya.

Ada 22 japen dari 13 gunung yang menjadi sampel awal grading tersebut, berikut hasil akhirnya yang menggambarkan grade (tingkat kesulitan) masing-masing japennya.

Ke-13 gunung yang mewakili setiap kepulauan Indonesia yang membentang dari Aceh sampai Papua dengan beberapa perwakilan bentang alam itu adalah Gunung Carstensz Pyramid japen Sugapa dengan grade 5, japen Ilaga juga 5; Gunung Agung japen Besakih (3), Pasar Agung (2); Gunung Binaiya japen Piliana (4), Huwaulu (4), Gunung Bukit Raya japen Rantau Malam/Kalbar (4), Tumbang Habangoi/Kalteng (3); Gunung Ijen japen Paltuding (2); Gunung Kerinci japen Kayu Aro (3), Solok Selatan (3); Gunung Latimojong japen Angin-angin (3), Karangan (3); Gunung Leuser japen Blangkejeren (4), Labuhan Haji (4); Gunung Rinjani japen Sembalun (3), Senaru (3), Torean (3); Gunung Sangeang Api japen Oi Nono Jara (3); Gunung Semeru japen Ranupane (3); 
Gunung Bromo japen Pura (1); dan Gunung 
Tambora japen Pancasila ber-grade 3.

Dalam siaran pers yang TravelPlus Indonesia terima dari Ketua Umum APGI Rahman Mukhlis diterangkan bahwa semakin tinggi grade-nya maka akan semakin sulit dan lebih berisiko japennya.

Adapun grade 1 adalah perjalanan pada jalur yang sudah ada dan jelas, beberapa bagian jalur terkelola untuk memudahkan perjalanan. Dilakukan secara singkat dalam sehari tanpa bermalam. Pergerakan bisa dilakukan tanpa alat bantu. Resiko bahaya cukup kecil dan mudah untuk dihindari/diantisipasi.

Grade 2: perjalanan pada jalur yang sudah ada dan jelas, dilakukan seharian dengan adanya kemungkinan berjalan malam sampai menginap. Penggunaan alat bantu pergerakan belum diperlukan tetapi penggunaan trekking pole cukup memudahkan. Kemampuan menentukan arah sudah diperlukan, resiko bahaya sudah ada jadi harus diantisipasi.

Grade 3: perjalanan pada jalur yang sudah ada, hanya sesekali tertutup yang mudah dilewati. Harus bermalam sehingga peralatan berkemah dan perbekalan sudah diperlukan. Beberapa titik membutuhkan bantuan tangan (scrambling) sehingga penggunaan alat bantu pergerakan untuk pegangan/menjaga keseimbangan sangat dianjurkan. Kemampuan navigasi dasar sudah diperlukan, resiko bahaya sudah tinggi jadi penting untuk dipersiapkan kondisi darurat, dan jalur evakuasi.

Grade 4: perjalanan pada jalur yang sudah ada dengan kemungkinan juga jalur tertutup dan curam sehingga terkadang butuh pembukaan jalur untuk dilewati. Perjalanan dilakukan berhari-hari sehingga peralatan berkemah dan perbekalan  dihitung secara matang. Beberapa titik membutuhkan tangan (scrambling) serta menggunakan peralatan untuk menambah ketinggian dan atau sebagai pengaman. Kemampuan navigasi dan pengetahuan survival harus dikuasai. Resiko bahaya cukup tinggi jadi penting untuk dipersiapkan kondisi darurat, kemampuan rescue dasar serta jalur evakuasi.


Terakhir grade 5 adalah perjalanan pada jalur yang ada, atau sudah tertutup, bahkan  belum ada dengan beberapa bagian curam sampai terjal. Jarak tempuhnya jauh yang memerlukan kegiatan berhari-hari serta terkadang butuh pembukaan jalur dan kemampuan dasar panjat tebing. Peralatan berkemah, perbekalan, peralatan panjat tebing diperhitungkan secara matang. 

Dijelaskan pula kalau di grade 5 ini, beberapa titik sudah menggunakan peralatan untuk menambah ketinggian dan sebagai pengaman. Kemampuan navigasi dan pengetahuan survival harus dikuasai baik. Resiko bahaya sangat tinggi jadi penting untuk dipersiapkan kondisi darurat dan kemampuan rescue lanjutan serta beberapa jalur evakuasi. 

APGI menggunakan beberapa pendekatan empiris dengan lebih banyak mengedepankan metode kuantitatif untuk menghasilkan nilai akhirnya.

Metode perhitungannya dilakukan oleh pengurus pusat, yaitu bidang Penelitian dan Pengembangan APGI di antaranya Ruslan Budiarto, Ade Wahyudi, dan Sofyan Arief Fesa yang sudah berkecimpung dalam dunia pendakian sejak lama dan kepemanduan gunung hingga tingkat mancanegara. 

Penghitungan dilakukan dari titik start pendakian dimulai sampai puncak gunung atau titik akhir tujuan. Beberapa variabel geografis yang digunakan antara lain panjang jalur, kemiringan lereng, wilayah ketinggian, tutupan jalur, bentuk medan sampai metode pembanding yang selama ini umum digunakan di dunia pendakian seperti YDS (Yosemite Decimal System). 

Adapun teori yang dipakai di antaranya dikemukakan oleh Van Zuidam maupun I Made Sandy yang seringkali menjadi acuan dalam ilmu geomorfologi. (Adji TravelPlus @adjitropis & @travelplusindonesia)

Foto: Adji, dok. APGI & dok.pri Rahman


0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP