Diantar Indra Bocah Baduy Luar ke Danau dan Jembatan Bambu, Terasa Istimewa
Dipandu pramuwisata dewasa ke spot-spot ikonik yang ada di Baduy luar itu biasa. Tapi kalau pemandunya bocah laki-laki Baduy bukan cuma beda, pun terasa istimewa sekaligus mengejutkan.
Tiga rasa itu saya alami sekaligus saat bersama Marno (rekan satu komunitas pegiat alam Kembara Tropis) dan 3 temannya yakni Djoko dan Sonny dari Bandung serta Hendrik yang berdomisili di Batam namun bekerja di Papua tiba di rumah kediaman Mursid di Kampung Cempaka salah satu kampung Baduy luar, Sabtu (18/2/2023) sore.
Pasalnya sewaktu hendak ke spot alam Dangdang Ageung (Danau Besar), sang tuan rumah, Mursid (28 thn) yang merupakan putra sulung dari Alim, wakil Jaro Kampung Cibeo, salah satu dari 3 kampung di wilayah Baduy dalam atau Tangtu mengatakan yang akan mengantar kami ke situ alami tersebut adalah Indra.
"Maaf saya tidak bisa antar karena harus balik lagi ke Ciboleger, nanti Indra yang temani ke danau," ungkap Mursid.
Indra yang dimaksud Mursid adalah anak pertamanya yang baru mau berusia 8 tahun. Melihat Indra awalnya saya kurang yakin sekaligus terkejut. Dalam hati bilang dan bertanya: "Kok, bocah sekecil ini disuruh ayahnya memandu kami, apa bisa?".
Keraguan saya akhirnya sirna. Indra bukan hanya berhasil membawa kami ke danau seluas lapangan tenis yang bernuansa hijau karena dikelilingi pepohonan palem dan lainnya, pun bergaya seperti pemandu wisata dewasa yang profesional.
Berkulit putih seperti kulit ayah dan ibunya, mengenakan kaos hitam lengan pendek, bercelana pendek sedengkul berwarna abu-abu, dan beralas sandal jepit hitam, Indra bukan saja terlihat kasep (ganteng) pun seperti sudah terbiasa mengantar pengunjung.
Indra yang tak doyan makan nasi sejak kecil berdasarkan informasi dari Ina, ibunya, selalu berada di depan saat memandu kami.
Kaki kecilnya melangkah begitu cepat dan lincah.
Bocah laki-laki yang punya seorang adik perempuan bernama Mutiara (baru mau 3 tahun) yang juga berkulit putih ini, tak banyak tingkah apalagi omong. Namun ketika diajak bicara dengan Bahasa Indonesia, dia bisa dan cepat menjawabnya. Bisa jadi karena dia sering mendengar kedua orangtuanya berbicara dengan pengunjung yang datang ke rumahnya dengan menggunakan Bahasa Indonesia.
Khawatir dia haus dan lapar, setibanya di danau Baduy itu saya memberikan biskuit wafer dan air mineral punya Sonny dan Marno yang sengaja saya bawa dan masukkan ke dalam tas daypack buat bekal. Kemudian Indra asyik ngemil. Ketika dia mencoba naik getek bambu yang mengambang di tepi danau, saya larang.
Melihat Indra yang kalem, jongkok di tepi danau, mendadak saya ingat Misja, yakni mamang-nya atau pamannya alias adiknya Mursid yang juga pendiam dan tak banyak tingkah.
Dulu, kali pertama ke danau itu, saya diantar Misja yang masih kecil tapi usianya ketika itu lebih tua dibanding Indra. Sekarang Misja yang menetap di Kampung Cibeo dekat dengan rumah ayahnya, sudah berusia 21 tahun dan sudah menikah serta punya anak satu.
Puas mengabadikan danau, kami kembali ke rumah Mursid. Selepas maghrib, Mursid pamit hendak ke rumah orangtuanya di Kampung Cibeo, Baduy dalam untuk mengikuti acara mipit padi keesokan paginya.
Besoknya, Minggu (19/2/2023), Indra lagi-lagi bikin saya terkejut dan kagum. Kenapa? Karena ibunya menyuruhnya mengantar kami ke Jembatan Bambu yang berada lumayan jauh dari rumahnya tepatnya di Kampung Gajeboh, wilayah Baduy bagian Barat. Dan dia menurut.
"Nanti Indra yang antar. Kalau nunggu ayahnya (Mursid) dan mamang-nya (Misja) datang dari Baduy dalam, takutnya kesiangan ke Jembatan Bambunya," ujar Ina, ibunya Indra usai kami sarapan dengan nasi goreng, telor dadar, dan kerupuk.
Kali ini Indra mengenakan baju pangsi lengan panjang berwarna hitam, celana pendek abu-abu, dan sandal jepit hitam yang kemarin dia kenakan namun ditambah dengan lomar atau kain batik berbentuk segitiga atau slayer berwarna biru khas urang Kanekes khususnya Baduy luar.
Indra tak mengikat lomar itu di kepalanya melainkan digantungkan di lehernya. Penampilan khasnya itu benar-benar membuatnya semakin kasep.
Bila dibanding ke Danau, perjalanan ke Jembatan Bambu jauh lebih panjang dan medan jalannya pun bervariasi, naik turun, melewati setapak tanah, setapak bebatuan, perkebunan, beberapa imah (rumah), leuit atau lumbung yang berfungsi sebagai tempat menyimpan padi, dan perkampungan. Waktu tempuh ke Jembatan Gajeboh dari kampung Cempaka kurang lebih 1 jam.
Beberapa kali kami istirahat, antara lain di jalan tanah yang bagian kanannya terhampar pemandangan ladang padi tadah hujan, hamparan hutan, perkebunan, dan beberapa rumah serta dua gunung di kejauhan.
Untuk membantu meringankan langkah melewati kontur jalan yang naik turun, Hendrik sampai membeli 3 "trekking pole"-nya orang Baduy yang dijual oleh beberapa bocah laki-laki di beberapa titik di tepi jalan setapak. Saya dan Sonny pun kebagian tongkat kayu tersebut.
Bila trekking pole para hiker dan pendaki gunung berbahan aluminium alloy, "trekking pole" made in Baduy ini terbuat dari kayu lokal yang sangat ringan tapi kuat sebagai tongkat untuk membantu pengunjung berjalan kaki.
Kami juga mampir di salah satu kios cindera mata milik Syarif. Di sana Hendrik membeli beberapa merchandise antara lain kaos bertuliskan Baduy. Sedangkan saya dan Djoko mengabadikan pembuatan gula aren di dapur kios tersebut setelah diizinkan pemiliknya.
Selanjutnya kami melanjutkan perjalanan hingga sampai di Kampung Gajeboh dan Jembatan Bambu yang membentang di atas Sungai Ciujung.
Kendati lumayan jauh hingga menguras tenaga namun Indra terlihat tak ada capeknya bahkan tidak berkeringat sama sekali. Beda dengan saya dan 4 rekan lain, semuanya terengah-engah dan badan basah kuyup oleh keringat.
Usai meniti jembatan tersebut kami istirahat di bangku bambu di depan deretan kios makanan/minuman ringan dan suvenir khas Baduy.
Kembali khawatir Indra lapar dan haus, saya segera kasih air mineral, biskuit wafer, dan coklat susu. Soalnya sewaktu di perjalanan menuju Jembatan Bambu, dia tak mau sama sekali ngemil maupun minum air mineral.
Kali ini, dibanding biskuit wafer, Indra nampak lebih menyukai coklat susu yang dibeli Sonny di Turki sebagai oleh-oleh.
Sewaktu kembali pulang, sengaja saya berikan lagi coklat susu dan air mineral dalam kemasan botol kecil buat bekal dia. Di perjalanan pulang, senang rasanya melihat Indra sesekali minum dan ngemil coklat susu yang disukainya itu sampai habis.
Sinar matahari sudah hampir di atas kepala. Kami masih di pertengahan jalan menuju rumah Mursid. Keringat kembali membasahi sekujur badan. Indra juga sudah nampak kegerahan tapi sama sekali tak berkeringat dan kecapekan. Bahkan di beberapa tanjakan berbatu dia mempercepat langkahnya sambil berlari kecil.
"Hati-hati Indra, boleh lari tapi jangan kencang-kencang ya," pesan saya ketika itu.
Menurut Mursid, sejak berusia 4 tahun Indra memang sudah mulai di ajak ke Danau dan Jembatan Bambu dengan berjalan kaki. Bahkan pada usia 3 tahun sering diajak ke rumah kakeknya di Kampung Cibeo, Baduy dalam. "Dia kuat berjalan kaki," ungkap ayahnya.
Melihat kekuatan fisiknya, ditambah sikapnya yang kalem, kasep serta hapal luar kepala jalur trek ke Danau dan Jembatan Bambu pergi-pulang, tak berlebihan kalau saya menilai Indra kelak bakal menjadi tour guide kawasan Baduy yang andal seperti ayah dan pamannya.
Hatur nuhun pisan Indra, kami khususnya saya pribadi senang diantar Indra bahkan kagum. Sebagai bentuk kagum, saya buat tulisan ini. Mudah-mudahan Indra selalu sehat, tumbuh dan berkembang menjadi anak yang terus-menerus bermanfaat dan membanggakan kedua orangtua khususnya, warga Baduy serta bangsa dan negara.
Nanti kalau kami kembali lagi ke Baduy, antar lagi ya.., termasuk ke rumah kakek dan pamanmu di Kampung Cibeo 🙏.
Naskah: Adji TravelPlus @adjitropis
Foto: @travelplusindonesia, Marno & Djoko
0 komentar:
Posting Komentar