Hikmah Bencana dari Kacamata Pariwisata
Ragam bencana yang terjadi di Tanah Air seperti gempa bumi, tsunami, banjir bandang, longsor, pandemi Covid-19, dan lainnya, di satu sisi memang menimbulkan sejumlah kerugian, antara lain kehilangan banyak harta dan nyawa. Namun disisi lain, tak bisa dipungkiri membuahkan pula banyak hikmah.
Buah hikmah yang dapat dipetik dari sebuah bencana berdasarkan amatan TravelPlus Indonesia bukan hanya bisa melambungkan nama lokasi yang tertimpa, menjadi lumbung ilmu pengetahuan, ladang pahala, dan sumber penambah ketakwaan, pun menjadi muara peningkat daya tarik wisata sekaligus merubah paradigma negatif pariwisata.
Sebuah bencana apalagi yang mengakibatkan sejumlah kerugian (terlebih menelan banyak korban jiwa dan lainnya) bisa melambungkan nama lokasi yang tertimpa. Ini disebabkan pemberitaan dari berbagai media online, ditambah bermacam unggahan di ragam media sosial (medsos) dan broadcast (BC) di sejumlah WAG yang menyebutkan nama lokasi daerah yang terkena bencana.
Contohnya bencana gempa bumi yang baru terjadi di Cianjur pada Senin (21/11/2022) siang membuat nama salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat ini melangit akibat gelombang pemberitaan, unggahan, dan BC beberapa saat selepas kejadian.
TravelPlus sendiri pada hari itu juga selain mengucapkan turut berdukacita, pun membuat tulisan "Ragam Pesona Cianjur dari Pantai sampai Gunung, dari Situs hingga Istana" yang dimuat di TravelPlus Indonesia @travelplusindonesia dan unggahan bertajuk sama di akun IG @adjitropis.
Tulisan dan unggahan yang memuat sejumlah foto dan jejak digital tulisan yang pernah dimuat di weblog itu bertujuan supaya ragam daya tarik wisata Cianjur tak tenggelam oleh gelombang pemberitaan tersebut, sekaligus menggunggah agar publik tahu dan tertarik berwisata menikmati ragam pesonanya serta berharap pasca-musibah ini Pariwisata dan Kebudayaan (Budpar) termasuk Ekonomi Kreatif (Ekraf) Cianjur kian diminati wisatawan baik nusantara maupun mancanegara.
Bencana pun bisa menjadi lumbung ilmu pengetahuan. Contohnya gempa bumi berkekuatan 9,3 Skala Richter (SR) disusul tsunami yang menimpa Aceh pada
26 Desember 2004 atau 18 tahun lalu membuat publik nasional dan mancanegara jadi melek tsunami dan penyebabnya serta cara mengantisipasinya jika terjadi lagi.
Contoh lainnya gempa bumi gempa disusul tsunami di Palu, Sigi, dan Donggala (Pasigala), Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 atau 4 tahun lalu itu membuat masyarakat Tanah Air jadi paham apa itu likuifaksi atau fenomena tanah bergerak dan amblas sampai membuat ratusan rumah ditelan bumi karena dipicu gempa berkekuatan 7,4 SR tersebut.
Bencana itu juga menjadi ladang pahala, karena seketika banyak orang dan bermacam pihak berinisiatif memberikan bantuan baik itu tenaga dan waktu (sebagai relawan) atau menyumbang harta (barang dan uang), dan lainnya sebagai dermawan/donatur/penyumbang.
Supaya bisa menjadi ladang pahala, tentu saja bantuan/sumbangan/donasi yang diberikan adalah yang terbaik, minimal kalau pakaian itu biarpun bekas tapi bersih dan layak pakai. Sedangkan kalau produk makanan/minuman sebaiknya yang masih baru (bukan yang sudah mendekati masa penggunaannya hampir habis apalagi yang sudah expired atau kadaluarsa).
Cara berdonasi atau memberi bantuan/sumbangannya pun harus ikhlas, tidak riya atau pamer dengan membawa bendera (komunitas/organisasi/partai politik/perusahaan dll) dengan maksud supaya dilihat orang lain atau pun mendapat pujian dari orang lain.
Bencana itu juga sumber penambah ketakwaan, maksudnya dengan "hadiah" berupa bencana dari Sang Maha Pemilik Bumi dan segala isinya ini membuat banyak orang terpicu untuk makin taat melaksanakan perintah Allah SWT dengan kata lain bertambah kesalehannya, minimal menjadi sadar/insyaf atas segala kemungkinan kesalahan/kekeliruan selama ini.
Sementara dari kacamata pariwisata, bencana itu juga bisa menambah daya tarik wisata. Contohnya pasca-gempa bumi dan tsunami dahsyat di Aceh, membuat wajah pesisir Barat Aceh banyak mengalami perubahan yang menarik untuk dijelajahi diamati, dan kemudian dikembangkan menjadi daya tarik wisata baru yang amat potensial menjaring wisatawan.
provinsi berjuluk Tanah Rencong dan Negeri Sultan Iskandar Muda ini antara lain di Banda Aceh (ibukota Provinsi Aceh) yang berpredikat Serambi Mekkah-nya Aceh.
Objek-objek baru itu antara lain Kapal Pembangkit Tenaga Listrik Diesel (PLTD) Apung I di Kelurahan Punge Blang Cut; Kapal Kayu di atas rumah di Kelurahan Lampulo, Kecamatan Kuta Alam; Kuburan Massal Meuraxa sekitar 6 Km dari pusat Kota Banda Aceh atau beberapa ratus meter dari Pantai Ulee Lheue; Tugu Peringatan Tsunami di Lapangan Blang Padang; dan Museum Tsunami Aceh di sebelah Makam Belanda (Kherkhof) dekat simpang jam, tepatnya di Jalan Iskandar Muda.
Semua objek pasca-tsunami itu membuat Banda Aceh mendapat sebutan baru sebagai Tsunami Memorial City yang menambah ragam pesona (daya tarik wisata)-nya sekaligus menjadi andalan wisata kota (city tour) bagi Banda Aceh selain Masjid Raya Banda Aceh atau Baiturrahman sebagai ikonnya.
Satu lagi, pasca-tsunami infrastruktur di Aceh terutama kondisi jalan raya di pesisir Barat-nya semakin bagus dan mulus.
Terakhir, bencana itu juga semestinya bisa merubah paradigma negatif pariwisata kearah yang positif/lebih baik/berkualitas.
Jika sebelum bencana banyak pihak menuding geliat pariwisata cenderung identik dengan kesenangan (hura-hura belaka bahkan mengarah kepada kemaksiatan), menimbulkan kerusakan, dan sebatas menciptakan keramaian (melihat sesuatu semata jumlah/kuantitas pengunjung/wisatawan untuk meningkatan pendapatan/ekonomi atau penciptaan lapangan pekerjaan, dll), pasca-bencana seharusnya berubah menjadi sesuatu yang tetap mengedepankan ketaqwaan kepada Yang Maha Esa, punya manfaat bagi kelestarian alam/lingkungan, dan berorentasi pada kualitas atau keberlanjutan.
Naskah & foto: Adji TravelPlus @adjitropis & @travelplusindonesia
0 komentar:
Posting Komentar