. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Jumat, 01 Juli 2022

Jelajah Pulau Komodo Sendirian, Sejarah Petualangan Tak Terlupakan


Menjelajah Flores termasuk ke Pulau Komodo 27 tahun silam tepatnya tahun 1995, menjadi salah satu sejarah petualangan saya yang tak terlupakan sampai sekarang atau bahkan mungkin sepanjang hayat dikandung badan.

Kenapa? Karena petualangan ke salah satu pulau utama Taman Nasional Komodo (TNK) yang menjadi habitatnya biawak purba raksasa, komodo (Varanus komodoensis) yang oleh warga setempat disebut ora dan turis bule memanggilnya dragon itu, saya lakukan sendirian (solo adventuring) dan hampir beberapa kali merenggut nyawa ini.

Kenapa pula sejarah petualangan itu saya ungkap kembali lewat tulisan ini? Karena beberapa hari ini ada sebuah tulisan berjudul "Harga Tiket Masuk Taman Nasional Komodo Rp 3,75 Juta per 1 Agustus" yang tayang di Kompas.com, 27 Juni 2022 yang link-nya tersebar di sejumlah WAG.

Dalam tulisan itu dijelaskan bahwa mulai 1 Agustus 2022, Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) berencana menetapkan biaya ke kawasan konservasi TNK, menjadi Rp 3,75 juta per orang untuk periode satu tahun.

"Dengan mempertimbangkan biaya konservasi, (biaya) Rp 3,75 juta per orang untuk periode satu tahun, dan untuk kuota kunjungan ke TNK akan dibatasi 200.000 orang per tahun," kata Koordinator Pelaksana Program Penguatan Fungsi TN Komodo Carolina Noge di Gedung Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Jakarta, kepada Kompas.com, Senin (27/6/2022).

Carolina menambahkan, biaya tersebut rencananya diterapkan secara kolektif tersistem, Rp 15 juta per empat orang per tahun.

Dua hari kemudian (29/6/22), link tulisan tersebut saya kirim japri via WA ke Kepala BTNK, Lukita Awang dengan disertai dua pertanyaan terkait.

"Bang itu benar harga tiketnya? Resmi dikeluarkan oleh siapa?," tanya saya.

Tak lama berselang Lukita Awang mengirimkan link siaran pers bertajuk "Kajian Pembatasan Kuota Pengunjung TN Komodo Demi Kelestarian Satwa Komodo" yang tayang di laman resmi KLHK, menlhk.go.id, Senin (27/6/22).

"Press release kami hanya ini.... Ada yg lain, kami tidak tahu. Coba dikonfirmasi ke ybs," balas Lukita Awang.

Dalam siaran pers tersebut dijelaskan kalau Direktorat Jenderal KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) KLHK melalui BTNK telah melaksanakan kajian Daya Dukung Daya Tampung Wisata (DDDTW) berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo dan Pulau Padar.

Kajian tersebut dilaksanakan oleh tim tenaga ahli yang diketuai oleh Dr. Irman Firmansyah, S.Hut., M.Si. (System Dynamics Center/IPB) dengan Komite Pengarah yaitu Prof. Drs. Jatna Supriatna, Ph.D. (Guru Besar Departemen Biologi FMIPA Universitas Indonesia).

Hasil kajian DDDTW merekomendasikan bahwa jumlah pengunjung ideal per tahun ke Pulau Komodo adalah 219.000 wisatawan dan ke Pulau Padar mencapai 39.420 wisatawan atau sekitar 100 orang per waktu kunjungan.

Hasil kajian tersebut menunjukan jumlah yang hampir sama dengan tingkat kunjungan pada tahun 2019 (yaitu 221.000 orang) untuk di Pulau Komodo, sedangkan di Pulau Padar selama ini Balai Taman Nasional Komodo telah menerapkan kebijakan kunjungan 100 orang per waktu kunjungan, dimana dalam 1 hari terdapat 3 waktu kunjungan.

Kajian juga merekomendasikan jumlah kunjungan di Pulau Padar dapat ditambahkan 2 – 2.5 kali lipat dengan mempertimbangkan beberapa hal terkait penyesuaian daya dukung berupa infrastruktur, seperti penambahan jumlah pos di area trekking, sarana sanitasi dan MCK, safety trekking seperti tali, jumlah ranger serta tenaga medis atau ruang khusus untuk kesehatan.

Kabar harga tiket ke TNK sebesar Rp 3,75 juta per orang untuk periode satu tahun mulai 1 Agustus dan jumlah pengunjung ideal per tahun ke Pulau Komodo 219.000 wisatawan dan ke Pulau Padar mencapai 39.420 wisatawan atau sekitar 100 orang per waktu kunjungan sebagaimana termuat di dua laman tersebut, itulah yang membuat saya jadi terkenang kembali sejarah petualangan menjelajah TNK 27 tahun silam.

Berpetualang Sendirian
Ketika itu saya freelance reporter  di sejumlah media, berpetualang sendirian dari Jakarta ke Flores, termasuk ke Labuan Bajo.

Saya ingat ketika itu masih naik kapal laut Pelni dari Tanjung Priok Jakarta, transit di Surabaya dan berakhir di Pelabuhan Ende (4 hari 3 malam).

Sebelum ke Labuan Bajo, saya jelajahi terlebih dulu obyek-obyek wisata yang ada di Ende antara lain Rumah Pengasingan Bung Karno, Gunung Meja, dan mendaki Gunung Kelimutu sampai ke Danau Tiga Warna atau Danau Kelimutu.

Puas jelajahi Flores bagian Timur, lalu saya naik bus menuju Labuan Bajo untuk menjelajahi Flores bagian Barat.

Setibanya di Labuan Bajo (ketika itu masih sepi, belum ada hotel tapi turis bule sudah banyak).

Setelah keliling Labuan Bajo antara lain ke pelabuhan, pantai, dan pasar, esoknya saya numpang perahu motor yang disewa pasangan bule asal Eropa, saya lupa namanya (laki dan perempuan, usianya belum separuh abad, seingat saya keduanya dari Inggris).

Saya diijinkan numpang perahu mereka, lantaran kapal feri yang melewati perairan Pulau Komodo, sudah berangkat kemarin.

Ketika itu kapal feri hanya satu atau dua kali seminggu bertolak dari Labuan Bajo ke Sape, NTB.

Kalau menunggu kapal feri lagi sudah tentu buang waktu, akhirnya saya minta ijin menumpang perahu dua bule itu, dan Alhamdulillah mereka perbolehkan.

Cuaca di awal pelayaran dengan kapal kayu milik orang Bajo, nahkodanya kalau tidak salah Ahmad (usianya sekitar 30-an), cukup cerah.

Saya pun sempat dibuai pemandangan laut biru tenang dengan pulau-pulau kecil coklat berbukit yang menemani awal perjalanan menuju Loh Liang, Pulau Komodo.


Diterjang Kala Kala
Ketika perahu mulai memasuki perairan Batu Tiga, suasana yang semula nyaman berubah mencekam. Ombak berputar diiringi angin badai, mengguncang dan memainkan perahu tak tentu arah.

Perairan Batu Tiga terletak di antara Teluk Labuan Bajo dan Pulau Komodo. Disebut begitu karena di sekitarnya ada 3 gugus pulau batu yang berjajar.

Bagi masyarakat setempat yang dominan berasal dari Suku Laut Bajo dan Bugis, perairan Batu Tiga dinilai angker.

Saat musim Barat seperti bulan Januari, arus lautnya kadang bergerak tak beraturan, membuat pusaran yang bergerak cepat sampai berbusa dan bersuara seperti ular berdesis wuzzz...

Arus turbulen itu oleh penduduk di sana dinamakan kala kala.

Saat musim Tenggara, Juli–Agustus, banyak perahu, speed boat bahkan kapal feri pernah jadi mainan keganasan kala kala sampai meminta korban.

Untunglah Ahmad, nahkoda perahu yang asli Labuan Bajo itu begitu cekatan mengemudikan perahu.

Dia pun tampak tenang-tenang saja, seolah tak ada marahabaya. Bahkan sempat menenangkan kami yang pucat pasi dan ketakutan.

"Bapak-bapak dan ibu tenang aja, saya sudah biasa menghadapi cuaca seperti ini,” jelasnya sambil memainkan setir perahu.

Di pojok perahu, pasangan turis bule itu saling berpegang erat takut terlepas. Bule perempuan sempat menangis lantaran terpental dan kepalanya terbentur atap perahu.

Tak ada yang bisa saya lakukan saat itu, kecuali berzikir dan berdoa. “Ya Allah.., yaa Tuhanku, jangan Engkau akhiri hidup hamba di sini,” begitu pinta hati seraya berharap cuaca kembali normal dan perahu selamat sampai Loh Liang.

Bayangkan, kejadian mencemaskan itu berlangsung hampir satu jam. 

Alhamdulillah doa saya didengar Tuhan. Perahu berhasil keluar dari pusaran.

Saya dan pasangan bule itu memberi selamat kepada sang nahkoda atas kepiawaiannya.

Usai 1 bulan lebih berpetualang sendirian di Flores, Lombok, dan Bali, pengalaman diterjang kala kala di perairan Batu Tiga sebelum menuju Pulau Komodo itu kemudian saya tulis dan dimuat di beberapa koran dan majalah ber-oplah besar di Jakarta ketika itu.

Sampai saat ini, sudah beberapa kali saya kembali lagi ke TNK untuk liputan bukan berpetualang. Jujur petualangan 27 tahun silam, saat kali pertama ke Pulau Komodo itulah yang paling terkenang.

Selepas diterjang kala kala ketika itu, saya sempat trauma setiap kali berlayar dengan kapal-kapal kayu kecil ke pulau-pulau yang jauh di tengah lautan, apalagi saat cuaca tak bersahabat.

Alhamdulilah, trauma itu perlahan lenyap. Namun sampai sekarang, kejadian diterjang kala kala di perairan menuju kerajaan komodo itu, tetap saja lekat dalam ingatan.

Nah, terkait rencana kenaikan tiket masuk ke TNK per orang untuk periode satu tahun mulai Agustus nanti entah kenapa saya merasa itu akan memberatkan pengunjung, terutama dari kalangan menengah ke bawah. Tapi kalau pemberlakuan pembatasan kuota pengunjung ke TNK per tahun sebagaimana tertera di atas, saya nilai sangat positif karena cara itu bisa membantu menjaga keberadaan komodo dan habitatnya.

Naskah & foto: Adji TravelPlus @adjitropis & tim @travelplusindonesia


0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP