. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 29 Juni 2022

Segudang Perbedaan, Bikin "Tjampoer" Makin Menarik Tambah Artistik


Beda negara, bahasa, budaya, warna kulit, postur, latar belakang, dan kebiasaan, bahkan mungkin pengalaman, itu tantangan. Tapi tantangan itu berhasil dilalui dua kelompok seni asal Indonesia, Maharani Dance dan Danstheater AYA asal Belanda lewat karya seni tari dan musik bertajuk "Tjampoer".

Segudang perbedaan itu justru membuat Tjampoer hasil kerja keras koreografer Indonesia Maharani Ayuk Listyaningrum dari Maharani Dance dan koreografer Wies Bloemen dari Danstheater AYA Belanda yang dibawakan 4 penari Fachry Destyanto Matlawa, Shakira Diva Dovendra, Ali Zanad, dan Rosanne Dominique Bakker dengan iringan musik dari musisi Galih Nagaseno dan Hans Adriaan Vermunt menjadi suguhan seni tari dan musik atas dasar kesetaraan yang semakin menarik dan artistik.


Disebut setara, karena dalam Tjampoer yang ditampilkan di Erasmus Huis Jakarta, Selasa (28/6/22) malam (sebelumnya ditampilkan di PSBK, Yogyakarta pada Kamis, 23 Juni 2022), semua penarinya punya porsi yang sama, baik saat mengolah tubuh mereka berempat secara serentak bersama-sama, berdua atau berduet maupun saat tampil sendirian. 

Tidak ada penari yang tampil dominan, tidak ada yang paling menonjol atau sengaja ditonjolkan, dilebihkan porsinya. 


Begitupun dengan musisinya. Baik, Hans Vermunt yang tak lain komposer dan penyanyi kelahiran Utrecht, Belanda yang mahir memainkan keyboard, gitar, dan piano, maupun Galih Naga Seno yang multi-instrument dan jebolan dari ISI Surakarta ini, sama-sama tampil setara dalam ruang dan waktu. Kepiawaian keduanya memperkuat aksi olah tubuh dan rasa para penari.

Dibilang semakin menarik dan artistik, justru berkat adanya sederet perbedaan itu. Mulai dari yang terlihat jelas secara kasat mata, yakni warna kulit dan postur tubuh para penarinya yang berbeda satu sama lain.


Lihat saja Ali Zanad alias Dimozi. Penari yang lahir dan besar di Baghdad, Iraq lalu pindah ke Belanda saat usia belasan ini berpostur tinggi dan jangkung dengan wajah khas pria Timur Tengahnya. 

Begitupun dengan postur Rosanne Dominique Bakker yang lahir dan tumbuh di Belanda. Tinggi semampai, ditambah rambut panjangnya yang pirang alias blonde hair. Kata orang sini parasnya bule sekali.


Dibanding Fachry Destyanto Matlawa yang lahir besar di Jayapura, Papua dan Diva yang lahir di Surakarta, jelas fisik keduanya berbeda. Fachry dan Diva sama-sama berbadan agak gempal dan lebih pendek dibanding dua penari Belanda tersebut. Kendari begitu, penampilan Fachry dan Diva tak kalah energiknya.

Menariknya lagi, Maharani (akrab disapa Rani) yang lahir dan besar di Solo dan berpengalaman sebagai dosen tari di Institut Seni Budaya (ISBI) Papua ini, sebagai koreografer dia menyisipkan unsur akar budaya Fachry dan Diva dalam Tjampoer lewat pakaian dan bahasa daerah masing-masing.


Di satu sesi, Fachry yang berambut keriting khas orang Papua mengenakan salah satu pakaian tradisional orang Papua dan juga menggunakan bahasa Papua. Sementara Diva berkostum seperti perempuan Jawa dengan menggunakan bahasa serta logat Jawa.

Wies Bloemen sang koreografer dan direktur artistik yang mendirikan Danstheater Aya pada 1990 ini juga mengangkat identitas budaya asal Ali Zanad dan Rosanne Dominique Bakker lewat gerak dan juga bahasa saat berinteraksi. 

Intinya identitas akar budaya setiap penarinya yang berbeda-beda itu dihadirkan dan justru semakin membuat Tjampoer lebih berwarna (menarik dan artistik).


Sepanjang tampil, koreografi mereka juga sangat variatif, bertenaga, bermakna, absurd, terkadang komikal, dan terjadi pertukaran artistik yang beda sehingga Tjampoer secara keseluruhan tidak membosankan dari pangkal sampai akhir.

Melihat segudang perbedaan itu ditambah koreografi yang bervariasi yang sudah begitu kuat, membuat tata lampu dan panggung Tjampoer dibuat apa adanya, tidak macam-macam atau berlebihan. Mungkin kondisi itu sengaja dirancang agar penonton tetap fokus dengan aksi olah tubuh para penari dan racikan musik musisinya.

Beragam perbedaan itu pula yang mungkin membuat penonton dalam hal ini para penikmat seni, ramai datang ke Erasmus Huis Jakarta untuk melihat Tjampoer sampai tuntas, bahkan beberapa di antaranya aktif bertanya di sesi tanya jawab.


Sederet perbedaan itu pula yang menjadi salah satu alasan kenapa TravelPlus Indonesia bukan hanya sekadar hadir atas undangan Rani, pun mengabadikan Tjampoer lalu membuat konten videonya serta tulisan ini sebagai bentuk dukungan.

Intinya segudang perbedaan di atas, berhasil dijawab Rani dan Wies Bloemen lewat Tjampoer yang merupakan karya presentasi tari hasil kolaborasi para seniman dari kedua negara tersebut setelah mengikuti residensi seni selama sebulan di PSBK, Yogyakarta.

Tjampoer bukan sekadar koneksi seni tari dan musik antara Indonesia dan Belanda. Tapi lebih dari itu, membuahkan jalin hubungan kebudayaan yang semakin mesra dan berkelanjutan (kini dan kelak) di antara kedua negara. 

Naskah & foto: Adji TravelPlus @adjitropis & tim @travelplusindonesia



0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP