. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Sabtu, 05 Februari 2022

Muda Berpetualang, Tua Bagi Pengalaman


"Langkah sang kembara
Mungkin tak setangguh dulu
Kumpulan petualangan
Kenangan sepanjang jaman

Muda berpetualang
Tua bagi pengalaman
Kisah tentang perjalanan
Lewati aral melintang

Muda berkelana
Tua bercerita
Keragaman budaya
Keindahan alam

Pagi berpetualang
Senja bagi pengalaman".

Begitu judul lagu dan lirik sekaligus tulisan  yang saya buat ini, setelah menemukan foto jadul dalam bingkai hitam, berkaca putih yang sudah rada buram, di salah satu ruang lemari tua milik almarhum ibunda tercinta, Sabtu (5/2/2022), bertepatan dengan bertambahnya usia saya.

Foto itu bergambar saya sendiri mengenakan sweater berwarna krem, kaos dalam putih, celana lapangan coklat muda, dan sepatu gunung coklat tua serta kaca mata lapangan hitam. Badan saya waktu itu.., jelas masih kurus (pake banget).

Saking senangnya mendapatkan kembali foto bersejarah itu, saya langsung foto berkali-kali berikut bingkainya. Maklum itu foto satu-satunya yang masih tersisa dan sudah menempel keras dengan kaca bingkai. Kalau saya buka paksa, bisa robek fotonya.

Foto itu merupakan cetakan dari klise atau film negatif yang hilang. Maklum waktu itu belum pakai DSLR, masih pakai kamera analog (manual) dengan menggunakan media film untuk memotret gambar.

Di foto itu, saya memegang bendera kecil berwarna oranye sambil berdiri di bibir salah satu Danau Tiga Warna, puncaknya Gunung Kelimutu, tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).


Bendera bertuliskan "Pinisi-OAC" warna hitam yang saya pegang itu memang selalu saya bawa saat mendaki gunung, menjelajah hutan, dan kegiatan bermuatan petualangan lainnya di awal 90-an.

Pinisi-OAC atau outdoor activity companion adalah komunitas pecinta alam yang saya dirikan sewaktu masih berstatus mahasiswa di salah satu universitas swasta di Jakarta. Komunitas tersebut bersifat tertutup, khusus jurusan jurnalistik angkatan saya waktu itu.

Semasa itu saya memang tidak ikut organisasi mahasiswa pecinta alam  (Mapala) yang sudah ada di kampus tersebut, hanya aktif sebagai simpatisan dengan mengikuti beberapa kegiatan petualangannya. Bahkan kenal baik dengan beberapa seniornya karena sering berpetualang bareng.

Alasan saya kenapa tidak ikut menjadi anggota organisasi Mapala tersebut, karena sistem pendidikan dan latihan dasar (diklatsar) kepecintaalamannya kala itu hampir sama seperti saya ikut organisasi pelajar pecinta alam (Papela) semasa SMA.

Untuk mencari sesuatu yang beda, akhirnya saya buat sendiri dengan nama Pinisi-OAC, yaitu komunitas Mapala jurusan Jurnalistik yang bertujuan mempraktekkan ilmu jurnalistik, khususnya belajar menulis dan memotret perjalanan petualangan seperti mendaki gunung, menjelajah hutan, dan lainnya.


Kembali ke soal foto jadul saya di puncak Gunung Kelimutu yang berketinggian 1.639 Mdpl itu, kalau saya tidak salah itu foto sewaktu saya berpetualang sendirian atau istilah kerennya solo adventuring ke Flores sekitar tahun 1992.

Saya masih ingat, yang memotret saya ketika itu adalah seorang petualang pria dewasa asal Jepang, yang juga berpetualang sendirian ke Gunung Kelimutu.

Menjelajah Flores sendirian menjadi salah satu dari sekumpulan petualangan saya yang cukup menantang ketika muda dulu, tepatnya sewaktu masih berstatus mahasiswa, bila dibandingkan semasa SMA.

Kalau sewaktu SMA, saat menjadi anggota Papela, hanya pendakian gunung seputar Jawa Barat dan Jawa Tengah serta baru mulai mengenal panjat tebing alam (rock climbing) dan buatan (wall climbing). Tapi sewaktu mahasiswa, jangkauan petualangannya lebih jauh lagi seperti jelajah Jatim, Bali, NTB, NTT, Sulsel, dan beberapa wilayah di Sumatra.

Jenisnya petualangannya pun juga lebih bermacam, seperti susur gua (caving), arung jeram (rafting), paralayang (paragliding), menyelam (diving) serta jelajah kawasan taman nasional dan kampung adat. Namun harus saya akui, dari semua itu, petualangan pendakian gununglah yang paling menyatu di hati sampai kini.

Kisah Jelajah Flores
Sebelum beranjak ke Flores sendirian dengan tujuan utama Gunung Kelimutu dan Pulau Komodo, terlebih dulu saya mengirim surat via pos (waktu itu belum punya Yahoo Mail) ke pihak pengelola Gunung Kelimutu dan Pulau Komodo.

Kalau saya tidak keliru, Kelimutu ditetapkan sebagai taman nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri tanggal 26 Februari 1992 yang semula berstatus Cagar Alam Danau Kelimutu dan Taman Wisata Kelimutu. Sedangkan Taman Nasional Komodo adalah salah satu taman nasional (TN) tertua di Indonesia yang berdiri pada tanggal 6 Maret 1980. 

Setelah mendapat balasan surat pos dari kedua pihak pengelola kawasan konservasi tersebut, baru saya berangkat sendirian naik kapal laut dari Tanjung Priok, transit di Tanjung Perak lalu  turun di Pelabuhan Ende. Selanjutnya saya ke kantor pengelola Gunung Kelimutu di Ende bertemu dengan orang yang saya kirimi surat via pos (saya lupa namanya, mudah-mudahan dia sehat walafiat).

Waktu itu dia terkejut karena saya datang sendirian dari Jakarta. Lalu orang itu mengantarkan saya ke terminal Ende untuk naik bus kayu (truk) yang disebut oto kol dan dia memberi secarik kertas pengantar buat saya untuk menginap di pos terdekat dengan Gunung Kelimutu yaitu di Desa Moni.

Perjalanan dari Ende menuju Moni yang berjarak sekitar 40-an Km, waktu itu memakan waktu sekitar dua jam karena harus menuruni sejumlah penumpang yang membawa bermacam barang belanjaan di sejumlah kampung. Ditambah kondisi jalannya kecil, berliku, dan beberapa bagian belum beraspal.

Keesokan harinya saya diantar oleh salah seorang petugas lokal di desa cantik berhawa sejuk itu dengan menumpang oto kol lagi. Setibanya di sana, langsung mendaki Gunung Kelimutu sampai puncaknya, Danau Tiga Warna.

Setibanya di puncak saya berucap syukur karena Danau Tiga Warna di atap Gunung Kelimutu yang saya dambakan sejak masih SD, akhirnya terwujud setelah menjadi mahasiswa. Boleh dibilang, penantian yang cukup panjang.

Selepas jelajah pesona Danau Tiga Warna, Gunung Kelimutu termasuk ke beberapa sumber air panas dan air terjun di sekitar Moni, saya kembali ke Kota Ende (sempat mampir ke Rumah Bung Karno). Setelah itu naik bus menuju Labuan Bajo, kantor TN Komodo.

Pihak TN Komodo yang sebelumnya saya surati via pos sebelum berangkat ke Flores, juga kaget, karena tidak menyangka saya datang sendirian. (Namanya saya juga lupa, semoga dia pun sehat-sehat saja).

Setelah mendapat ijin, akhirnya saya bertolak ke Pulau Komodo menumpang kapal nelayan yang disewa sepasang petualang asal Inggris (kisah petualangan saya ke kerajaan Komodo itu, nanti saya ceritakan di tulisan berikut).

Pulangnya, dari Labuan Bajo saya memilih naik bus tujuan Pulo Gadung melewati NTB, Bali, Banyuwangi, Surabaya dan seterusnya sampai Jakarta. (Waktu itu memang belum ada moda transportasi udara, rute penerbangan Jakarta - Ende apalagi Jakarta - Labuan Bajo dan sebaliknya).

Kenapa saya pilih kembali ke Jakarta overland naik bus berhari-hari? Karena ingin mendapatkan atmosfer yang beda dibanding keberangkatan dengan kapal laut. Alhamdulillah, cara itu benar-benar menambah lagi kisah perjalanan dan pengalaman saya.

Jelajah Flores sewaktu belia selama hampir satu bulan itu adalah petualangan yang sulit saya lupakan sampai saat ini, karena nyaris merenggut nyawa saya beberapa kali. 

Banyak sekali cerita dan pengalaman yang membekas sampai sekarang. Kalau saya tulis semua, bisa jadi beberapa buku. Kalau dibuat sinetron, mungkin bisa jadi berseri, dan bila diangkat ke layar lebar atau difilmkan, bisa jadi beberapa judul.


Sekalipun setelah lulus kuliah atau semasa masuk dunia kerja, saya beberapa kali ke TN Kelimutu dan TN Komodo lagi, tapi atmosfernya sudah beda sekali. 

Kok bisa begitu? Karena saya datang bukan lagi berpetualang, melainkan meliput daya tarik kedua TN tersebut sesuai profesi saya sebagai jurnalis dan blogger spesial kepariwisataan, kebudayaan, dan lingkungan. Kendati begitu, sampai kini saya tetap jatuh hati dengan kedua TN berbeda nuansa itu.

Di ujung menulis tulisan ini, saya kembali melihat foto jadul saya di Danau Tiga Warna Gunung Kelimutu itu. 

Dalam hati berkata, bersyukur masa muda (terutama saat kuliah) saya pernah isi antara lain dengan ragam petualangan ke berbagai penjuru daerah di negeri tercinta ini. 

Kenapa? Ya karena itulah masa keemasan berpetualang atau puncak dari jiwa petualangan saya. Masa dimana saya merasa punya banyak nyawa cadangan, amat nekat, dan sangat berapi-api. Kondisi itu bisa jadi dipicu karena masih berdarah muda dan belum banyak tekanan pekerjaan dan bermacam tuntunan lainnya.

Kini setelah senja (baca: tak lagi muda), jiwa petualangan itu memang tetap ada dan kadang kembali menggebu-gebu. Tapi tetap saja tak sama seperti dulu, tak seberani, senekat, dan seleluasa dulu.

Sekarang ini bisa dibilang fase buat saya berbagi kisah dan pengalaman kepada pegiat alam bebas (pecinta alam, pendaki gunung, dan lainnya serta backpacker dan peminat solo traveling/adventuring) era medsos tentang sekumpulan petualangan lalu saya yang seru, menantang, dan berkesan. 


Ya berbagi cerita tentang keragaman budaya yang pernah saya temukan dan keindahan alam yang pernah saya abadikan, yang juga sudah saya tuang ke dalam sejumlah tulisan di berbagai media cetak (koran dan majalah dulu) dan media online (website dan weblog) serta ragam medsos kekinian. 

Intinya seperti makna judul lagu dan tulisan ini: "Muda Berpetualang, Tua Bagi Pengalaman".

Naskah & foto: Adji TravelPlus @adjitropis & tim @travelplusindonesia

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP