. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Sabtu, 29 Januari 2022

Berwisata itu Bisa Bikin Melek dan Cinta Keragaman Budaya, Ini Pilihan dan Kiatnya


Belakangan ini ramai kabar tentang kasus menghina/merendahkan budaya orang lain. Sampai hati ini bertanya, apa iya pelakunya tidak tahu kalau bangsa ini bangsa besar yang amat majemuk?

Kejadian yang bikin miris itu, menginsipirasi saya membuat tulisan ini agar publik/warganet semakin melek dan akhirnya menyadari, memahami bahkan mencintai kalau bangsa ini adalah bangsa multikultural supaya sadar, tidak seenaknya bicara, tidak asal ketik komentar.

Salah satu caranya lewat pendekatan wisata, mengunjungi dan melihat aneka atraksi atau daya tarik baik berupa tempat wisata berbasis budaya, acara/event, dan lainnya.

Mengapa disebut multikultural, karena Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang berbeda agama, ras, dan budaya (bahasa, dialek, kesenian, adat istiadat, tradisi, kebiasaan hidup, kearifan lokal, dan lainnya), bahkan tak sama kesukaan, hobi, pilihan politik, dan profesi. 

Lalu tempat/objek wisata berbasis budaya apa saja yang bisa bikin melek dan cinta keragaman budaya? Banyak jenisnya, antara lain museum, taman budaya, desa adat, cagar budaya, komunitas budaya, dan lainnya.

Di museum, terutama Museum Negeri Provinsi, kita bisa melihat koleksi beragam  kesenian dan produk budaya serta peninggalan bersejarah masyarakat asli  provinsi tersebut. Contohnya di Museum Negeri Provinsi Aceh dan lainnya.

Di taman budaya (TB), kita bisa melihat bermacam pementasan drama/teater, tari, dan musik, pameran, dan workshop kerajinan masyarakat provinsi tersebut. Misalnya di Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT).

Di desa adat kita bisa melihat kehidupan sebuah desa/kampung dengan keunikan serta aturan adat tersendiri, berikut kekhasan rumah tinggal (rumah adat atau rumah tradisional) dan lainnya.

Amsal Desa Adat Baduy di Banten;
Desa Trunyan di Bali; Desa Dayak Pampang di Kaltim; Desa Wae Rebo dan Kampung Adat Todo di Flores, NTT;  Desa Torosiaje di Gorontalo; Desa Adat Gumantar dan Desa Sade di Lombok, NTB; Kampung Adat Sijunjung di Sumbar; Desa Kete Kesu di Toraja, Kampung Naga di Tasikmalaya; Desa Adat Lingga di Kabupaten Karo, Sumut; dan Kampung Tablanusu di Papua.

Di cagar budaya (CB) kita bisa melihat bermacam warisan budaya bersifat kebendaan (tangible) berupa bangunan, benda, struktur, dan kawasan CB baik yang ada di darat dan/atau di air.

Contoh cagar budaya kategori bangunan di Jakarta antara lain Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Kantor Berita Antara, dan Bioskop Metropole 21 (Bioskop Megaria). 


Sejumlah bangunan rumah ibadah berstatus cagar budaya juga menarik untuk dikunjungi seperti Masjid (Islam), Gereja (Kristen Protestan) dan Gereja (Kristen Katolik), Pura (Hindu), Vihara (Buddha), dan Kelenteng (Konghucu). Sedangkan yang berbentuk benda CB seperti batu prasasti, candi, nisan makam, dan lainnya.

Komunitas Budaya yaitu kesatuan sosial yang memiliki potensi budaya berupa tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.

Adapun yang tergolong Komunitas Budaya antara lain keraton, komunitas adat, lembaga adat, sanggar seni, lembaga kepercayaan, dan komunitas tradisi.

Contohnya berwisata ke Keraton Kasepuhan di Cirebon; ke Komunitas Adat Kajang di pedalaman Bulukumba, Sulsel; melihat kehidupan masyarakat adat Dayak Iban di Sungai Utik, Kalbar yang memiliki ritual Mali Umai dengan cara memanggil leluhur untuk membasmi hama; serta jelajah komunitas adat di kawasan Massenrempulu, Kabupaten Enrekang, Sulsel seperti ke Komunitas Adat Baringin, Orong, Marena, Tangsa, Patongloan, dan Pana.

Selain itu juga bisa berwisata nilai budaya yaitu melihat/menikmati warisan budaya yang bersifat tak benda atau intangible seperti menyaksikan aneka tarian tradisional, seni pertunjukan, kuliner tradisional, serta adat istiadat (seperti upacara adat, tradisi, kearifan lokal, dan sebagainya).

Contoh berwisata kuliner tradisional dari Aceh sampai Papua seperti kuah beulangong, randang Padang, laksa Betawi, gudeg Jogja, papeda, dan lainnya.


Amsal adat istiadat yang bisa kita saksikan antara lain Ngaben atau upacara pembakaran jenazah umat Hindu di Bali; Ikipalin atau acara potong jari khas Suku Dani di Papua ketika ada anggota keluarga yang meninggal agar terhindar dari malapetaka; dan Kebo-keboan atau upacara  ucap syukur suku Using di Banyuwangi kepada leluhur dalam bentuk selametan di desa secara besar-besaran setiap bulan suro.

Ada pula Rambu Solo atau upacara pemakaman khas orang Toraja yang dilakukan supaya arwah orang yang telah meninggal tidak memberikan kesialan bagi keluarga yang ditinggalkan; Tatung di Singkawang, Kalbar; Bakar Tongkang di Bagan Siapiapi, Riau; dan Pasola di Sumba, NTT.

Pilihan lain melihat acara/kegiatan/festival budaya atau culture event di berbagai kota/daerah hingga pelosok. Caranya dengan mencari informasi calendar of event khusus budaya yang diselenggarakan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata setempat. Contohnya Festival Sekala Bekhak di Lampung Barat, Lampung; Irau Malinau di Kalimantan Utara (Kaltara), Festival Budaya Asmat di Papua, dan lainnya.

Berwisata menjelajah tempat-tempat berbasis budaya, nilai budaya, dan culture event tersebut, apalagi mengenal lebih dekat warganya secara lebih personal, bukan hanya menambah kaya wawasan dan pengalaman serta pertemanan/persaudaraan pun akan menumbuhkan semangat untuk semakin mencintai budaya sendiri dan menghargai budaya orang lain dimanapun berada.

Lalu bagaimana kalau tak punya biaya, waktu, dan kesempatan untuk berwisata jelajah ragam budaya? Paling sederhana dan praktis, kita bisa bersosialisasi dengan bergabung dalam komunitas baik yang ada di daerah sendiri secara offline ataupun di berbagai komunitas secara online yang tersebar di ragam media sosial (medsos) seperti di FB, WAG, dan lainnya.

Jadi usahakan sebisa mungkin jangan hanya berteman dengan orang sekampung halaman atau satu daerah atau satu suku, atau jangan cuma dengan sesama masyarakat/komunitas/desa/kampung adat, atau sehobi/seprofesi atau se-frekuensi saja, melainkan dengan berbagai suku dan lainnya supaya tahu betapa berwarnanya kita sebagai satu bangsa, Indonesia.

Jangan lupa pula bersyukur atas anugerah dari Sang Maha Pengasih itu, lalu jaga dan kembangkan mengingat semua perbedaan dan keragaman itu merupakan aset kekayaan budaya yang tak ternilai harganya.


'Jarimu Harimaumu'
Satu lagi, selalu ingat dengan 'Mulutmu adalah Harimaumu'. Peribahasa usang itu mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga perkataan/ucapan/omongan supaya tidak menghina/melecehkan budaya orang/komunitas/masyarakat/suku bangsa lain. Mulut tak dijaga, bicara seenaknya, bisa berbalik jadi senjata makan tuan.

Bukan cuma ucapan, di era gawai dan  medsos ini pun muncul peribahasa 'Jarimu adalah Harimaumu'. Peribahasa inovasi dari peribahasa sebelumnya itu pun untuk menyadarkan kita agar tidak sembarang pencet gadget atau berkomentar yang bisa menghina budaya orang lain.

Sekali lagi, yuk jelajah budaya di negeri tercinta ini karena banyak sekali manfaatnya, atau bersosialisasi dengan santun lewat bermacam komunitas di ragam medsos. 

Ajarkan pula kepada banyak orang, minimal mulai dari anggota keluarga sendiri, anak-anak di rumah, adik, saudara, keponakan dan lainnya tentang keberagaman bangsa ini agar kelak mereka tumbuh menjadi orang yang senantiasa mencintai budaya sendiri dan menghargai budaya orang lain, di manapun.

Naskah & foto: Adji TravelPlus @adjitropis & tim @travelplusindonesia


0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP