Selamatkan Ekosistem Sanggabuana, Solusi Terbaiknya Jadikan Taman Nasional
Untuk menyelamatkan ekosistem di Sanggabuana termasuk hutan beserta aneka fauna dan flora yang menghuninya, salah satu solusi terbaiknya adalah menjadikannya sebagai kawasan konservasi berstatus Taman Nasional.
Keinginan besar itu kembali menguat setelah Dedi Mulyadi, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI yang membidangi Pertanian, Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Kelautan, mengajukan gunung yang berada di perbatasan empat kabupaten di Jawa Barat yaitu Kabupaten Karawang, Purwakarta, Cianjur, dan Kabupaten Bogor tersebut menjadi kawasan konservasi berstatus Taman Nasional.
“Saya akan ajukan Gunung Sanggabuana jadi Taman Nasional!," begitu kata Kang Dedi, sapaan akrabnya sebagaimana dikutip konservasisanggabuana.blogspot.com (3/9/2021).
Dalam tulisan berjudul "Blusukan Bareng Tim Ekspedisi Di Sanggabuana, Dedi Mulyadi Bawa Puluhan Kamera Trap" yang di-posting atau 3 Minggu lalu oleh admin pegiat konservasi Gunung Sanggabuana di weblog tersebut, Kang Dedi mengharapkan setelah data dari tim ekspedisi Sanggabuana Wildlife Expedition (SWE) terkumpul dan dilaporkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bisa segera dibentuk Tim Terpadu untuk diterjunkan ke Sanggabuana untuk membuat kajian supaya status jajaran pegunungan Sanggabuana bisa ditingkatkan menjadi Taman Nasional.
Sesuai amatannya usai berkeliling Sanggabuana dari Parang Gombong di Purwakarta sampai di Desa Sukasari yang berbatasan dengan Cianjur, kemudian masuk hutan bersama tim di hutan di lereng Dinding Ari yang masuk Kabupaten Karawang, Kang Dedi menilai keanekaragaman hayati kawasan Gunung Sanggabuana masih lengkap.
"Sanggabuana ini juga merupakan penyuplai air ke Jatiluhur dan Sungai Citarum. Ini harus dikelola sebagai kawasan konservasi,” ungkap Kang Dedi.
Sebelumnya, Tim SWE juga sudah mengusulkan harapan agar status Gunung Sanggabuana menjadi kawasan konservasi.
Asa itu tertuang dalam siaran pers SWE yang di-posting admin pegiat konservasi Gunung Sanggabuana masih di weblog yang sama, (26/4/2021) usai melakukan ekspedisi.
Dalam press release tersebut diterangkan Tim SWE yang terdiri atas Komunitas Pendaki Gunung (KPG) regional Depok didukung KPG regional Karawang, KPG regional Bekasi, The Wildlife Photographers Community (WPC), dan tim dari Bara Rimba Karawang berhasil menemukan berbagai satwa endemik yang masih menghuni kawasan pegunungan Sanggabuana dalam ekspedisi yang berlangsung selama 8 hari (15-22 juli 2020).
Ekspedisi yang bertujuan mendata dan memetakan persebaran flora-fauna yang ada di kawasan jajaran pegunungan Sanggabuana tersebut, kemudian berlanjut pada 5 - 10 Agustus 2020 dan 26 Maret - 2 April 2021.
Ekspedisi yang dimulai dari Kampung Tipar di ujung Timur jajaran pegunungan Sanggabuana dan menyusuri sepanjang kawasan hutan sampai ke Puncak Sanggabuana yang berketinggian 1.291 meter diatas permukaan laut (Mdpl) sampai ke sekitar kawasan Gunung Rungking, berhasil mendata, melakukan perjumpaan langsung, menemukan jejak dan merekam serta mendokumentasikan secara visual beberapa satwa langka yang terdiri atas karnivora besar primata, burung, dan beberapa mamalia serta serangga.
Temuan yang cukup mengejutkan untuk jenis karnivora besar adalah Macan Tutul/Macan Kumbang (Panthera pardus melas).
Untuk jenis primatanya yang tercatat ada Owa Jawa (Hylobates moloch), Surili (Presbytis comata), Lutung Jawa (Trachypitecus auratus), dan Kera Ekor Panjang (Macaca fascicularis).
Jenis burungnya ada Rangkong Julang Emas (Rhyticeros undulatus), Elang Jawa (Nisaetus bartelsi), Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus), Puyuh Gonggong Jawa (Arborophila javanica), Ayam Hutan Hijau (Gallus varius), Raja Udang (Alcedinidae), Takur Tohtor (Psilopogon armilaris), Takur Bututut (Psilopogon corvinus), Kipasan Bukit (Rhipidura euryura), dan Wergan Jawa (Alcippe pyrrhoptera).
Terdata pula Tepus Pipi Perak (Cyanoderma melanothorax), Burung Ayam-Ayam/Ruak-Ruak (Gallicrex cinerea), Kutilang Jawa (Pycnonotus aurigaster),.Prenjak Jawa (Prinia familiaris), Alap Alap Capung (Microhierax fringillairus), Srigunting Abu (Dicrurus leuchopaeaus), Pelatuk ulam (Dendrocopos macei), Bubut Jawa (Centropus nigrorufus), Kadalan Birah (Phaenicophaeus curvirostris), Punai Gading (Treron vernans), dan Kirik Kirik Senja (Merops leschenaulti).
Jenis serangganya ada Kupu-Kupu Raja (Troides amphrysus), Tonggeret (Cicadiae), dan Laba Laba Bercangkang (Gasteracantha cancriformis). Sedangkan mamalia dan binatang lain terdata ada Babi Hutan (Sus scrofa), Kelinci Jawa (Lepus nigricollis), Sigung (Mydaus javanensis), Rusa (Cervus timorensis), Tupai/Bajing (Tupaia javanica), Ular Pyton (Malayophyton reticultus), Ular Kobra (Naja sputatrix), Ular Beludak/Ular Tanah (Calloselasma rhodostoma, Bunglon (Bronchocela jubata), Kadal (Lacertillia), Kunang Kunang (Lampyridae), dan Kodok Belentung (Kaloula baleata).
Dibeberkan pula Tim SWE menemukan potensi bencana longsor di beberapa titik lalu dipetakan, dicatat koordinatnya, juga skala kerawanan bencananya.
Tim juga berhasil menghitung hulu mata air yang ada di sepanjang jajaran pegunungan Sanggabuana.
Amatan citra satelit sebelum ekspedisi, tim mendata ada sekitar 157 titik hulu sungai atau mata air, yang hampir 60%-nya berada di sisi Selatan dan bermuara atau menjadi penyuplai debit air di Waduk Jatiluhur. Sisanya merupakan sumber mata air Citarum.
Namun selama ekspedisi, hampir 50% lebih hulu mata air ini mengalami kekeringan, hanya menyisakan bekas aliran sungai kering.
Menurut tim, matinya hulu sungai atau mata air ini merupakan indikasi bahwa hutan di kawasan pegunungan Sanggabuana sudah mengalami perubahan dan harus segera dibenahi.
Tak cuma itu. Beberapa kali, tim juga mendapati alih-fungsi hutan menjadi perkebunan kopi, sengon, dan hutan rakyat, berikut banyaknya bekas pohon besar yang ditebang oleh oknum masyarakat. Bahkan beberapa pemburu juga masih didapati masuk hutan untuk memburu satwa langka yang ada di Sanggabuana.
Berdasarkan hasil temuan tersebut, tim berharap peran pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lain seperti PT Perhutani untuk mulai merubah pola pengelolaan kawasan pegunungan Sanggabuana.
Salah satunya adalah dengan mengikutsertakan warga dalam pengelolaan berbasis konservasi. Atau merubah status kawasan Gunung Sanggabuana menjadi kawasan konservasi.
***
Dalam unggahan di akun Instagram (IG) pegiat konservasi Gunung Sanggabuana @gunungsanggabuana berjudul "Satwa Langka Endemik Jawa di Sanggabuana Terancam Perburuan Liar", yang di-posting 6 hari lalu, dipertegas lagi keinginan agar Sanggabuana berstatus Taman Nasional.
Kata adminnya, ditemukannya banyak satwa langka endemik jawa di Sanggabuana merupakan kabar menggembirakan. Diluar itu, jajaran pegunungan Sanggabuana yang bukan merupakan kawasan konservasi menjadikan satwa-satwa langka endemik jawa itu tidak mendapat perlindungan.
Macan Tutul Jawa, Owa Jawa, Surili, Lutung Jawa, dan Elang Jawa yang banyak menghuni kawasan hutan Sanggabuana merupakan satwa langka endemik jawa yang berada di hutan diluar kawasan konservasi. Ini menyebabkan mereka banyak diburu oleh pemburu liar.
"Salah satu cara untuk melindungi mereka adalah dengan merubah status kawasan hutan gunung Sanggabuana menjadi Taman Nasional," pungkas adminnya.
TravelPlus Indonesia @adjitropis sebagai jurnalis/blogger & pegiat medsos yang sejak dulu amat pro konservasi dan kebetulan pernah mendaki gunung tersebut via Kabupaten Karawang tahun 2013 silam sehingga melihat dengan mata kepala sendiri ekosistemnya, termasuk keanekaragaman hayati dan sejumlah fauna dan floranya, lewat tulisan ini sangat mendukung ajuan/usulan Sanggabuana menjadi Taman Nasional.
Seperti judul dan isi headline tulisan yang TravelPlus buat ini, salah satu cara atau solusi terbaik untuk menyelamatkan ekosistem Sanggabuana adalah menjadikannya sebagai Taman Nasional.
Sebaiknya kapan? Ya sesegera mungkin, sebelum hutannya semakin terkikis karena berubah fungsi dan sebelum ragam satwa penghuninya lambat laun habis diburu.
Teks: Adji TravelPlus
Foto: @adjitropis & @gunungsanggabuana
0 komentar:
Posting Komentar