Film Gadih Basanai Bakal Dipasarkan Tahun Depan, Begini Proses Produksinya
Film Indonesia berbahasa Minang bertambah lagi dengan hadirnya Gadih Basanai.
Film yang garap Jay Abidin ini merupakan hasil adaptasi dari tradisi tutur lisan yaitu dari cerita Kaba Gagih Basanai.
"Kaba Gadih Basanai biasanya dituturkan dalam pertunjukan kesenian Barabab atau Babiola," terang Jay Abidin, sang sutradara kepada TravelPlus Indonesia, Kamis (17/12/2020).
Film berdurasi 90 menit ini diadaptasi dari 4 versi cerita Gadih Basanai yang populer di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
Gadih Basanai versi layar lebar ini belum premiere atau belum diputar untuk kalangan umum. "Tapi Insha Allah tahun depan akan kita publish atau kita pasarkan," jelas Jay.
Film yang ber-setting tahun cerita sekitar era tahun 1950-an ini, lokasi syutingnya 100℅ di Pasisir Selatan.
Pemain utamanya, Wulan dan Hanif (alumni teater ISI Padangpanjang) ditambah Wendy dan Lisda Hendra Joni (istri Bupati Pesisir Selatan yang sekarang menjadi anggota DPR-RI).
"Para pemainnya menggunakan Bahasa Minang namun ada subtitle-nya dalam Bahasa Indonesia," ungkap Jay.
Film Gadih Basanai, lanjut Jay, merupakan salah satu luaran hasil penelitian yang dimulai pada tahun 2018 dan berakhir tahun 2020.
Penelitian tersebut merupakan hibah dalam skim penelitian P3S (Penelitian, Penciptaan, dan Penyajian Seni) yang dibiayai oleh Kemenristekdikti.
Tahun pertama salah satu luaran penelitiannya adalah naskah. Lalu tahun kedua, salah satu luarannya adalah produksi film. Sedangkan tahun ketiga salah satu luaran penelitiannya adalah uji publik film atau publikasi film.
"Pada penelitian tahun pertama dan kedua bermitra dengan Pemda Kabupaten Pesisir Selatan," ungkap Jay.
Film Gadih Basanai baru sekali tayang di XXI Transmart Padang baru-baru ini, dan itu baru dalam rangka uji publik dengan penonton terbatas sesuai aturan protokol Covid-19. "Ini dilakukan untuk memenuhi syarat luaran penelitian yaitu film layar lebar yag bisa tayang di bioskop dan dihadiri para tamu undangan terutama tim reviewer penelitian," jelas Jay.
Dalam menggarap film ber-genre tragedi dan cerita mistik ini, Jay mengaku tidak mendapatkan kendala yang berarti.
Menurutnya setiap karya film itu punya takdirnya sendiri, tim produksi, pemain maupun sutradara itu tidak bisa merubah takdir. Sementara itu karya, naskah, disain produksi, pasti berubah di lapangan menyesuaikan realitas saat produksi, demikian juga saat pasca-produksi.
Jadi pada sisi penyutradaraan film adaptasi itu, sambungnya, tidak ada yang istimewa atau spesifik.
"Persoalan yang menarik di dalamnya ada proses adaptasi dari tradisi tutur lisan menjadi naskah. Lalu proses yang lebih rumit dari proses adaptasi novel ke naskah/skenario film," ungkap Jay yang pernah menyutradarai film fiksi dan dokumenter bermuatan budaya Minang seperti film fiksi "A Dog's Life" tahun 2003 tentang budaya buru babi di Minang dan film "Abu Di Ateh Tunggua" 2011 tentang budaya materilinear di Minang.
Wendy, salah satu pemain dalam Gadih Basanai mengaku senang terlibat dalam film ini.
"Gadih Basanai Ini film layar lebar dengan spirit produksi lokal, baik pemain dan crew produksinya," ujar Wendy yang pernah diajak Slamet Rahardjo syuting film Marsinah dan selama di Jogja tahun 2000 - 2005 sering terlibat film indie dengan banyak komunitas film di Jogja.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Foto: dok.@film,gadih_basanai, jay abidin & wendy
0 komentar:
Posting Komentar