. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Senin, 16 November 2020

Ini Penjelasan KLHK Terkait Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate


Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk pembangunan Food Estate dilakukan pada Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK)  (Pasal 6 Ayat 1).

Hal itu dijelaskan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK,  Sigit Hardwinarto, di Jakarta, Senin (16/11/2020).

 "Tapi dengan syarat harus melewati kajian Tim Terpadu, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menyelesaikan UKL UPL dalam rangka perlindungan lingkungan," terangnya dalam siaran pers yang TravelPlus Indonesia terima dari Kepala Biro Hubungan Masyarakat, KLHK Nunu Anugrah.

Sigit menegaskan tidak dapat melakukan kegiatan di lapangan sebelum menyelesaikan Komitmen UKL-UPL.

Selain itu, juga perlu mengamankan Kawasan HPK yang dilepaskan.

Dalam hal untuk kepentingan reforma agraria, lanjutnya, areal yang telah siap untuk areal tanaman pangan dapat dilakukan redistribusi tanah kepada masyarakat sesuai dengan ketentuaan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan (KHKP) merupakan kawasan hutan yang secara khusus diperuntukkan untuk kepentingan ketahanan pangan. 

Penetapan KHKP, sambungnya, dapat dilakukan pada kawasan Hutan Lindung dan/atau Hutan Produksi. Areal KHKP tidak akan dilepaskan atau tetap menjadi kawasan hutan.

Menurut Sigit, kawasan Hutan Lindung (HL) yang akan digunakan untuk pembangunan Food Estate adalah kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung, yaitu kawasan HL yang terbuka/terdegradasi/sudah tidak ada tegakan hutan. 

Kawasan HL yang sudah tidak sepenuhnya berfungsi lindung tersebut, dengan kegiatan Food Estate juga sekaligus merupakan kegiatan pemulihan (rehabilitasi) kawasan HL dengan pola kombinasi tanaman hutan (tanaman berkayu) dengan tanaman pangan yang dikenal sebagai tanam wana tani (agroforestry), kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak yang dikenal sebagai wana ternak (sylvopasture), dan kombinasi tanaman hutan dengan perikanan yang dikenal sebagai wana mina (sylvofishery).

"Tanaman hutan pada kombinasi-kombinasi tersebut di atas akan memperbaiki fungsi HL," jelasnya.

Sigit memberi contoh, di Jawa Barat terdapat kawasan HL yang sudah menjadi areal kebun sayur, di Jawa Tengah, seperti di Dieng sebagian kawasan HL sudah menjadi areal kebun kentang. Hal ini tentu dapat membahayakan fungsi pengatur tata air, pengendali erosi dan penjaga kesuburan tanah dari kawasan HL tersebut.

Kata Sigit lagi, secara profesional dan dalam perspektif pembangunan daerah, sebenarnya Pembangunan Food Estate semestinya dilihat sebagai wilayah perencanaan untuk land use (tata guna lahan). 

Di dalam perencanaan land use secara teknis dikenal compound land utilization type (pengelolaan secara multiguna) dalam suatu wilayah, sehingga bukan hanya monokultur, namun juga polikultur.

Oleh karena itu, pembangunan Food Estate dilakukan secara terintegrasi yang mencakup tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, perternakan, dan perikanan termasuk kawasan lindung dalam bentuk mozaik. 

Didalam model pengembangan Food Estate selain untuk lahan pertanian berkelanjutan secara modern dan dengan intervensi teknologi tinggi (benih, pemupukan, tata air, sistem mekanisasi, pemasaran dll), juga mencakup pola kerja hutan sosial.

"Untuk itu kawasan HL yang akan digunakan sebagai areal Food Estate tidak harus dilakukan dengan pelepasan kawasan hutan, namun yang terpenting harus dilakukan di kawasan HL yang memenuhi syarat sebagai HL yang sudah tidak ada tegakkan pohonnya, atau fungsi HL-nya sudah tidak ada lagi,” ungkap Sigit.

Sebelum implementasi kegiatan Food Estate diperlukan penyusunan masterplan pengelolaan KHKP, yang memuat rencana pengelolaan KHKP dan menyusun Detail Enginering Design (DED) dalam hal berkaitan KHKP yang berasal dari kawasan HL, serta penyusunan UKL-UPL dan Izin Lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. "Hal ini antara lain untuk menjaga keberlanjutan Food Estate dan menjaga kelestarian lingkungan," tegasnya lagi.

Sebagai informasi, terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) nomor 24 tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate merupakan kebijakan Pemerintah memberikan pedoman regulasi penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate yang merupakan program strategis nasional dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional, yang cukup mendesak diantaranya dalam menjaga ketahanan nasional bidang pangan, sebagaimana juga tiap-tiap negera memperkuat dirinya dalam menjaga ketersediaan pangan, sehingga tidak bergantung pada negara lain. Kondisi ini sangat relevan dalam kaitan kondisi pandemi COVID-19. 

Pemerintah perlu mempersiapkan dalam hal terdapat kebutuhan berkenaan dengan program dan kegiatan penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate.

Pada konteks terdapat kebutuhan lahan dari kawasan hutan, maka dapat dilakukan dengan mekanisme sesuai peraturan perundangan seperti Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan atau penetapan KHKP (Pasal 2).

Pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan Food Estate dengan mekanisme Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan KHKP sesuai Pasal 3 ayat 2 jelas hanya dapat diajukan permohonannya oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri, Kepala Lembaga, Gubernur, Bupati/Wali Kota atau Kepala Badan Otorita yang ditugaskan khusus oleh Pemerintah. Tidak dimaksudkan untuk swasta. 

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Sumber & Foto: birohumasklhk

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP