Libur Panjang Akhir Pekan di Madura, Sederet Objek Wisata Religi Ini Harus Masuk Daftar Kunjungan
Ingin liburan di akhir pekan yang panjang ini sekaligus memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Madura? Sederet objek wisata religi bersejarah di pulau yang dulu terkenal sebagai penghasil garam ini, sepertinya harus dimasukkan dalam daftar kunjungan Anda.
Apa aja? Banyak seperti masjid, benteng, mercusuar, makam, sumur, dan juga keraton.
Khusus masjid, ada yang arsitekturnya merupakan perpaduan beragam budaya, dan ada juga yang memiliki kisah unik tersendiri.
Di Kabupaten Sampang, misalnya berdiri masjid yang konon tertua di Sampang yaitu Masjid Madegan, di Kampung Madegan, Kelurahan Pologan, Kecamatan Sampang Kota. Masjid yang berada di Kompleks Makam Ratu Ibu ini namanya kalah tenar dibanding pemakaman itu.
Berdasarkan catatan budayawan setempat, Ratu Ibu I adalah ibu dari Raden Praseseno seorang penguasa Sampang yang dinobatkan oleh Sultan agung sebagai raja Madura Barat pada tahun 1624 dengan gelar Pangeran Caraningrat I.
Raden Praseno adalah anak dari Ratu Ibu I dengan Pangeran Tengah yang gugur dalam peperangan ketika Praseno masih kecil. Pangeran Tengah adalah anak dari Panembahan Lemah Duwur, seorang raja yang berjasa meletakkan dasar-dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang. Dialah pendiri Masjid Madegan sekitar abad 15.
Arsitektur masjid ini sekarang telah berubah, terutama bagian badan masjid yang mengalami renovasi pelebaran. Bangunan aslinya tinggal pada bagian atas saja.
Bagian terunik dari masjid ini ada 4 tiang kayu jati penyangga bangunan yang semuanya miring ke kiri. Kendati sudah beberapakali pilar-pilar itu diperbaiki, tetap saja kembali ke posisi semula.
Melihat keunikan pilar-pilar itu, akirnya membuat banyak orang yang meyakini bahwa masjid tua ini dipercaya keramat. Dan uniknya lagi karena kekeramatannya itu, masjid ini sering dijadikan tempat ritual sumpang pocong.
Konon kabarnya, para pelakunya bukan cuma warga setempat tapi juga orang dari luar Sampang. Bila salah satu pihak yang melakukan sumpah pocong itu ternyata bersalah, dia akan meninggal dunia atau paling tidak mendapatkan musibah.
Tujuan berikutnya Langgar Gayam di Desa/Kecamatan Proppo, Kabupaten Pamekasan.
Langgar (mushola) tersebut berdiri di areal yang dulu diyakini sebagai Situs Kerajaan Jambaringin pada masa Pangeran Pradoto yang bergelar Pangeran Suhra.
Ada juga yang mengatakan langgar ini merupakan peninggalan dari Bujuk Gayam yang dibangun tahun 1680. Dia berjasa menyebarkan agama Islam di daerah ini oleh karena itu masyarakat setempat sangat menghormatinya. Makamnya terletak di pinggir desa dengan bentuk nisan yang sederhana, tidak berornamen rumit seperti makam keluarga raja dan para bangsawan Madura.
Arsitektur Langgar Gayam sangat sederhana. Seluruh pondasinya terbuat dari kayu, atapnya rumbia, dindingnya dari bilik. Lantainya berjarak sekitar 50 Cm dari atas tanah dan berdiri dengan ditopang beberapa tiang kayu yang belum diganti sampai kini. Ada pengeras suara atau speaker yang digantung dengan sebatang bambu di belakang langgar untuk pengeras suara azan.
Kurang dari 100 meter dari langgar ini terdapat Sumur Teratai. Dinamakan begitu karena dinding sumur bagian alam berbentuk lekuk-lekuk yang pabila dilihat dari atas nampak seperti bunga teratai.
Dulu sumur ini menjadi tepat berwudhu bagi jemaah yang akan bersembahyang di Langgar Gayam. Kini, air sumur yang diyakini masyarakat setempat dapat menyembuhkan bermacam penyakit dan juga bikin awet muda itu, masih digunakan untuk air wudhu dan keperluan sehari-hari.
Masih di Pamekasan, juga terdapat masjid tua yang kini tampilannya sudah berubah total menjadi masjid bergaya modern. Masjid Agung Asy Syuhada namanya.
Dulunya, dibangun di lokasi Masjid Rongosukowati, yang merupakan masjid pertama di Pamekasan. Warga setempat lebih sering menyebutnya Maseghit Rato.
Semula bentuk Maseghit Rato mirip dengan Masjid Sunan Giri yang terbuat dari kayu dan beratapkan rumbia. Namun setelah zaman Walisanga bentuknya disesuaikan dengan keinginan para sunan yaitu memiliki serambi untuk pengajian dan kegiatan dakwah.
Pada tahun 1939 masjid lama digusur dan diganti dengan masjid tanpa serambi yang kemudian dinamakan dengan Masjid Jamik Kota Pamekasan.
Tahun 1980 bangunannya diperlebar ke samping dan namanya diganti dengan nama Masjid Asy Syuhada sebagai kenangan saat petumpahan darah dalam serangan umum tanggal 16 Agustus 1947. Masjid ini menjadi saksi atas kepahlawanan Madura dalam mempertahankan kemerdekaan Agustus 1945.
Pada tahun 1996-2002 masjid ini dibongkar habis dari bentuk tajuk tumpang tiga diganti seluruhnya menjadi bangunan beton berkubah gaya Timur Tengah. Pada 1996-2003 masjid ini lalu direnovasi menghasilkan dua menara yang beratap peluru sebagai kenangan bahwa masjid ini menjadi saksi pada masa perjuangan kemerdekaan.
Tak sulit menjangkau masjid yang pernah dijadikan sebagai tempat penyelenggaraan peringatan Nuzulul Qur’an 1427 H tingkat Nasional yang dihadiri Presiden SBY saat itu, karena berada di jantung Kota Pamekasan. Di depan masjid ini berdiri Monumen Lancor yang berdiri tegar di tengah-tengah Taman Kota.
Berikutnya ke Masjid Agung Sumenep atau Masjid Jami yang dibangun sekitar 1779 di atas tanah seluas satu hektar. Letaknya di Jalan Trunojoyo, jantung Kota Sumenep.
Arsiteknya bernama Lauw Piango yang juga membangun Keraton Sumenep. Dia adalah cucu dari Lauh Khun Thing, satu dari enam orang China yang semula datang dan kemudian menetap di Sumenep. Diperkirakan dia lari dari Semarang karena ada Huru-hara Tionghoa.
Ada perpaduan banyak budaya yang mencuat dari arsitektur masjid ini, baik budaya lokal, Islam maupun budaya beberapa bangsa asing lain yang pernah singgah dan menetap di Sumenep.
Pengaruh Jawa bisa dilihat dari bangunan bersusun dengan puncak pada bagian atas yang menjulang tinggi menyerupai candi, ini merupakan bentuk warisan Jawa. Begitu juga kubahnya yang berbentuk tajuk.
Pengaruh Arab dan Persia terlihat dari kubah kecil di puncak bangunan yang ada di sudut kanan-kiri halaman masjid. Pengaruh China dan Gujarat (India) terlihat pada sejumlah ornamen yang dipertegas dengan warna yang mencolok. Sedangkan pengaruh Portugis juga dapat dilihat dari pintu gerbang masjid berupa gapura besar yang menghadap ke Timur.
Berdasarkan tahun berdirinya dan juga keanekaragaman perpaduan arsitekturnya, wajar bila masjid ini termasuk dari 10 masjid tertua di Indonesia yang berarsitektur khas. Sekaligus (masih) menjadi ikon pariwisata Kabupaten Sumenep selain keratonnya.
Masjid ini sudah mengalami beberapakali pemugaran. Semula bangunan masjid ini ditopang 13 pilar yang berukuran besar dengan model Doria. Pintu masuknya ada 9 yang melambangkan 9 lubang dalam tubuh manusia. Di kanan-kiri masjid terdapat pendapa. Kini bentuk asli masjid ini tinggal bagian dalam dan sedikit di halaman depan.
Saat bulan puasa, masjid yang berhadapan dengan Taman Adipura Kota Sumenep ini begitu ‘hidup’ dengan berbagai aktivitas keagamaan. Menjelang sore masjid ini mulai dikunjungi warga maupun pendatang untuk shalat ashar, tadarus, berbuka puasa bersama. Kemudian dilanjutkan dengan shalat magrib, tadarus, sholat isya, dan terawih berjamaah.
Tak sulit menjangkau masjid yang berada sebelah Barat Keraton Sumenep ini. Dari Jembatan Suramadu dengan mobil, sekitar lebih kurang 4 jam melawati jalur utama Madura.
Selepas dari masjid ini, teruskan saja ke Museum Keraton Sumenep untuk melihat Alquran raksasa sepanjang 4 meter, lebar 3 meter, dan berat 500 kilogram. Alquran tersebut kabarnya ditulis Sultan Abdurrahman.
Lokasi Museum Keraton Sumenep ini dekat dengan Masjid Agung Sumenep dan berdampingan dengan Alun-Alun Kabupaten Sumenep.
Kemudian lanjutkan lagi ke masjid tua lainnya, yakni Masjid Aermata Ebu. Lokasinya dekat dengan Kompleks Makam Aermata Ibu di Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Nama masjid ini tenggelam oleh ketenaran makam permaisuri Raja Madura Barat, Cakraningrat I, Syariah Ambami.
Berwisata religi ke sejumlah masjid dan langgar tua di Madura tersebut, TravelPlus Indonesia sarankan selain tetap menerapkan protokol kesehatan sesuai era adaptasi kebiasaan baru, minimal menerapkan 3M, pun tak lupa menunaikan shalat sunah tahiyatul masjid, shalat wajib, menyisihkan rezeki ke kotak amal masjid, berzikir serta membaca shalawat Nabi.
Buat yang ingin berwisata ziarah pilihannya bisa ke Makam Syaihona Kholil Bangkalan di kawasan Martajasah, Kabupaten Bangkalan dan Makam Asta Tinggi Sumenep di Desa Kebun Agung, Sumenep.
Raden Kyai Haji Kholil merupakan ulama yang sangat tersohor sampai ke.luar Madura. Selepas berziarah, Anda bisa membeli oleh-oleh Khas Madura dari para pedagang yang juga memadati di sekitar Masjid Syaihona Kholil.
Sementara itu Makam Asta tinggi merupakan makam raja-raja muslim yang dimakamkan di Sumenep. Anda diwajibkan melepas alas kaki jika ingin masuk. Di sekitar kawasan makam ini juga banyak pedagang aneka kuliner khas Madura.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
0 komentar:
Posting Komentar