Destinasi Digital, Cara Jitu Jaring Wisatawan Milenial
Di era milenial yang serba digital dan akrab dengan media sosial, wisatawan baik di dalam maupun di luar negeri pun sudah terbiasa menggunakan sarana tersebut untuk berbagai keperluan, termasuk mencari transportasi, akomodasi, dan destinasi.
Nah untuk meraup wisatawan generasi milenial, tak ada pilihan lain selain membuat transportasi, akomodasi, dan juga destinasi yang berkonsep digital.
Kalau transportasi, belakangan sudah muncul yang namanya transportasi online yang sudah memasyarakat di sejumlah kota di Indonesia.
Kehadiran transportasi online tersebut ternyata mampu menggeliatkan sektor pariwisata termasuk kuliner.
Berkat transportasi online, wisatawan milenial jadi lebih mudah berpergian ke objek-objek wisata termasuk ke bandara, stasiun, terminal, pelabuhan serta ke pusat perbelanjaan, sentra kuliner dan sebagainya.
Tentu masih ada peluang untuk membuat tranportasi online lain, khusus wisatawan milenial agar mereka jadi lebih terpikat untuk berwisata.
Bagaimana dengan destinasinya? Apakah sudah ada yang berkonsep digital tourism?
Pastinya sudah, contohnya selfie spot di sejumlah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, Semarang (Jawa Tengah), dan beberapa tempat di Jawa Barat, yang ngehits kemudian menjadi destinasi yang Instagramable lantaran kerap muncul di media sosial (medsos) terutama Instagram.
Belakangan ini juga muncul pasar-pasar tradisional yang juga berkonsep digital tourism.
Wujudnya setengah pasar nyata, setengah pasar maya. Contoh destinasi digital yang ada di Sunatera ada Pasar Lambung di Banda Aceh, Pasar 1000 Batoe di Lampung, Pasar Rantu Melayu di Pekanbaru, dan Pasar Rimba Raya di Belitung.
Di Makassar, Sulawesi Selatan ada ada Pasar Lontara; di Ambon, Maluku ada Pasar Pasir Putih. Sedangkan di Banten, tepatnya Pandeglang ada Pasar Kaulinan Memes; dan di Banyuwangi (Jawa Timur) ada Pasar Kampoeng Expresi.
Di Jawa Barat ada Pasar Cikundul (Sukabumi), Pasar Mayaasih di Kuningan, Pasar Cijaringao dan Pasar Pagerwangi di Bandung serta Pasar Geulis di Depok.
Di Yogyakarta ada Pasar Laguna Depok dan Pasar Muntuk di Bantul, Pasar Ningrong dan Pasar Telaga Jonge di Gunung Kidul, serta Pasar Pampangan dan Pasar Banyunibo di Sleman.
Di Jawa Tengah ada Pasar Semarangan di Semarang dan Pasar Banjarnegara di Banjarnegara.
Selain itu ada Pasar Gampong Lubok Sukon di Aceh; Pasar Jumpa Tegah di Medan, Sumut; Pasar Sago di Payakumbu, Sumbar; Pasar Tuan Kadi di Pekanbaru; Pasar Pantai Panjang di Bengkulu; Pasar Muaro Jambi di Jambi, Pasar Teluk baku di Bintan; Pasar Urban Lampung di Lampung, Pasar Labuan kita di Labuan Bajo, Flores-NTT; dan Pasar Benteng Oranje di Ternate.
Kemudian Pasar Pramuka di Kepulauan Seribu, Jakarta; Pasar Terapung di Banjarmasin, Kalsel; Pasar Bekantan di Tarakan; dan Pasar Tanah Lot di Tababan, Bali.
Sebelumnya sudah ada Pasar Pancingan di Lombok (NTB); Pasar Mangrove di Batam (Kepri); Pasar Karetan Kendal (Jateng); Pasar Siti Nurbaya Padang (Sumbar), Pasar Tahura di Tahura Wan Abduracham, Pesawaran (Lampung); Pasar Kakilangit di Bantul (Yogyakarta), dan Pasar Baba Boen Tjit di Palembang (Sumsel).
Salah satu ciri atau karakter digital tourism destination itu, ya destinasinya harus punya selfie spot yang unik, tak biasa tapi menarik, pokoknya yang penting indah atau bagus difoto dan layak dipromosikan via medsos sehingga menjadi destinasi yang instagrambale.
Selfie spot yang instagramabble itu tidak perlu indah secara fisik, cukup secara instagram. Tapi kalau memenuhi keindahan baik fisik maupun Instagram itu lebih menarik lagi.
Semakin banyak selfie spot di destinasi digital tersebut, ya semakin menarik dan cepat menjadi destinasi yang instagramable.
Contohnya di Pasar Karetan yang berlokasi di Dusun Segrumung, Desa Meteseh, Kecamatan Boja, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah yang diselenggarakan oleh Generasi Pesona Indonesia (Genpi) Jateng dengan warga lokal ini menyediakan 1.001 sudut selfie spot beragam tema.
Alhasil pasar yang hanya buka setiap Minggu pagi ini, tumbuh menjadi destinasi baru bagi pariwisata Kendal khususnya.
Wisatawan selain bisa ber-selfie ria di sana, juga bisa melakukan trekking menyusuri hutan, cross country melewati pematang sawah yang menghijau, atau sekadar menikmati suguhan live music serta mencicipi aneka kuliner tradisonal.
Pengunjung juga bisa memainkan bermacam permainan tradisional anak-anak seperti main egrang, dakon, jalan di atas batok, dan lomba melukis layang-layang ‘darat’ atau yang biasa dimainkan di sawah, panahan, dan lainnya.
Menurut Project Officer Pasar Karetan Mei Kristianti isu yang terus dibangun di Pasar karetan adalah ramah lingkungan, go green, dan environment sustainability.
“Tidak boleh menggunakan bahan-bahan plastik, mika, steroform, bahkan gelas, piring pun tidak boleh keramik,” terangnya.
Pengamatan TravelPlus Indonesia, banyak keuntungan destinasi yang menerapkan digital tourism.
Pertama, cepat dikenal karena mudah dan praktis dipromosikan lewat beragam medsos sehingga cepat jadi perbincangan warganet, dan kedua cepat pula memikat wisatawan milenial untuk berkunjung.
Lalu bagaimana dengan akomodasi yang menerapkan digital tourism atau disebut mobile accommodation?
Sebenarnya juga sudah ada, misalnya Glamour Camping atau Glamping yang muncul diberbagai tempat di Jawa dan Bali.
Glamping itu dibuat tentu melihat sifat wisatawan yang cenderung mobile, bukan statis. Sementara beragam akomodasi yang ada, selama ini hampir semua bersifat statis.
Namun Glamping saja sebenarnya tidak cukup. Masih ada peluang untuk menciptakan jenis akomodasi mobile lainnya, seperti Caravan dan Home Part.
Melihat masih banyak peluang dalam membuat digital tourism destination, tak heran kalau pemerintah lewat Kementerian Pariwisata (Kemenpar) akan mengembangkan destinasi digital secara lebih serius. Menurut Arief Yahya destinasi digital itu sesuai dengan ekonomi model baru yaitu Esteem Economy.
“Di mana model dari tindakan ekonomis seseorang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan, likes, comment, repost, dan interaksi positif di beragam medsos,” terangnya.
Pengamatan TravelPlus Indonesia, destinasi digital adalah destinasi berbentuk pasar yang tumbuh di era milineal dan dipasarkan/dipromosikan lewat beragam media sosial (medsos) terutama Instagram.
Cirinya, pasar era milenial tersebut buka pada waktu-waktu tertentu dan menjual aneka kuliner tradisional dan produk lokal dengan sejumlah selfie spot buatan yang menarik.
Biasanya berada di alam atau outdoor, mengusung konsep ramah/cinta lingkungan, ada juga yang dibumbui dengan aktivitas olahraga/permainan tradisional, dan tak sedikit yang mengangkat akar budaya setempat atau berbasis local culture yang dikemas secara kekinian.
Hampir semua destinasi digital viral di medsos, instagramable, dan berhasil menjaring wisatawan terutama kaum milenial yang melek digital dalam jumlah yang cukup signifikan.
Melihat potensi itu, wajar kalau Kemenpar menjadikan destinasi digital sebagai masa kini sekaligus masa depan pariwisata nusantara. Buktinya Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pariwisata I 2018 yang bertema 'Digital Destination & Nomadic Tourism' di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) Maret lalu, mentargetkan tahun 2018 ini harus terbentuk 100 destinasi Digital di 34 provinsi.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. Spot selfie wajib ada di destinasi digital.
2. Ketersediaan sinyal apalagi WiFi jadi pendukung kuat destinasi digital.
0 komentar:
Posting Komentar