Sensasi Inap di Tenda Dome, Homestay hingga Rumah Gadang selama 15 Hari Jelajahi Sumbar
Berwisata ke Sumatera Barat (Sumbar) 3 atau 4 hari, lalu bermalam di hotel biasa ataupun berbintang itu menarik. Tapi kalau menjelajahinya selama 15 hari atau bahkan lebih ke berbagai tempat, tentu jauh lebih menarik kalau inapnya variatif dari homestay, rumah modern, tenda dome sampai rumah gadang.
Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena dua cara itu pernah saya lakukan pada masa yang berbeda.
Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena dua cara itu pernah saya lakukan pada masa yang berbeda.
Cara pertama bermalam di hotel-hotel berbintang di Kota Bukittinggi dan Kota Padang, pernah saya lakukan sewaktu tugas sekaligus mengunjungi beberapa objek city tour di masing-masing kota yang juga berbeda atmosfir itu.
Bukittingi merupakan kota di daerah pegunungan yang berhawa sejuk. Kata orang, kota yang ber-ikon Jam Gadang, Ngarai Sianok, Goa Jepang, dan belakangan The Great Wall yang disebut-sebut duplikatnya Tembok Raksasa China ini, enak buat makan dan enak buat tidur. Mungkin karena berhawa sejuk dan kulinernya pun serba lezat.
Kota yang memiliki Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta- sang Proklamator sekaligus Wakil Presiden pertama RI yang sudah ditetapkan sebagai Cagar Budaya ini kerap disanding-sandingkan dengan Bandung. Mungkin karena sama-sama menjadi kota tujuan wisata khas pegunungan dengan beragam oleh-oleh panganan.
Bukitinggi letaknya di antara kaki Gunung Singgalang dan Gunung Marapi sedangkan Bandung berada di cekungan yang di kelilingi sekurangnya 7 gunung di tataran Sunda.
Keduanya sama-sama ramai peminatnya terutama dari daerah/kota berhawa panas atau pesisir yang ingin merasakan kesejukan pegunungan di setiap akhir pekan, akhir tahun, dan libur panjang.
Ketika berwisata di Bukittinggi, saya bermalam di Grand Rocky Hotel yang beralamat di Jalan Yos Sudarso No. 29 dan Hotel Jogja yang berada di Jalan Kemerdekaan No. 17. Lokasi keduanya berdekatan dengan Jam Gadang namun berbeda kelas.
Grand Rocky, hotel bintang 4 ini berjarak 10 menit jalan kaki dari Jam Gadang dan Ngarai Sianok. Hotel ini menawarkan restoran dan kamar-kamar ber-AC yang menghadap ke kota.
Sementara Hotel Jogja, meskipun non bintang namun lokasinya lebih dekat lagi dengan Jam Gadang, cuma 100 meter dengan menawarkan kamar dan dengan teras berpemandangan Kota Bukittinggi. Hotel ini pun menyediakan akses Wi-Fi gratis dan tempat parkir pribadi gratis di areanya.
Lain lagi dengan Padang. Ibukota Sumbar ini merupakan kota berpantai sebagaimana Jakarta, Surabaya, Makassar, dan kebanyakan kota besar lain yang berada di pesisir.
Karena itu kota ini berhawa agak panas dengan objek wisata andalannya pantai, antara lain Taplau (Tapi Lauik) sebutan lain dari Pantai Padang.
Ketika itu ini saya bermalam di Hotel Bumi Minang dan Hotel Savali. Keduanya sama-sama berbintang namun berbeda konsep dan tipe bangunan.
Saya juga pernah merasakan bermalam di Hotel Ambacang, hotel tua di Kota Padang yang hancur oleh gempa 2009 silam.
Saya juga pernah merasakan bermalam di Hotel Ambacang, hotel tua di Kota Padang yang hancur oleh gempa 2009 silam.
Hotel Bumi Minang yang terletak di Jalan Bundo Kanduang No.20-28 dibangun tahun 1991. Hotel dengan bangunan vertikal 8 lantai ini setiap kamarnya memiliki pemandangan Kota Padang.
Kendati kesan hotel begitu kuat namun arsitektur atapnya yang berbentuk atap Rumah Gadang menawarkan pesona tersendiri, terkesan paduan moderen tradisional.
Objek wisata terdekat dari hotel bintang 3 ini antara lain Museum Adityawarman, Pantai Padang, Plaza Andalas, dan lokasi wisata kuliner.
Sementara Savali Hotel yang berada di Jalan Hayam Wuruk no.31 ini dibangun pada tahun 2010. Hotel bintang 3 berkonsep boutique ini memiliki 3 lantai, bersuasana lebih rumahan (hommy) dengan sentuhan ornamen Budha.
Objek wisata belanja terdekat dari hotel ini antara lain Plaza Andalas dan Shirely Souvenir Shop.
Baru-baru ini, ketika saya menjelajahai ranah Minang untuk kesekian kali selama setengah bulan, saya memilih menginap diberbagai jenis akomodasi.
Ketika bertandang ke Kota Pariaman untuk menyaksikan Tabuik, pesta budaya dalam kemasan wisata tahunan khas Pariaman, saya bermalam di wisma dan homestay.
Pertama datang, saya bermalam di Wisma Esra di Jalan M. Jamil.
Malam kedua dan seterusnya saya berpindah ke Homestay Bunda di Jalan SM Abidin dengan alasan lebih strategis dan lebih dengan dengan lokasi puncak acara Pesona Hoyak Tabuik Piaman 2016 yang berpusat di Pantai Gandoriah.
Malam kedua dan seterusnya saya berpindah ke Homestay Bunda di Jalan SM Abidin dengan alasan lebih strategis dan lebih dengan dengan lokasi puncak acara Pesona Hoyak Tabuik Piaman 2016 yang berpusat di Pantai Gandoriah.
Alasan lain, homestay yang belum berfasilitas Wi-Fi dan minim informasi wisata ini pun dekat dengan deretan pendagang emping di sepanjang jalan tersebut.
Kota Pariaman merupakan kota tujuan wisata yang tengah bergiat membangun prasarana wisatanya terutama terfokus di pesisir pantai, termasuk pembangunan hotel.
Di kota ini juga sudah ada hotel berbintang yang belum rampung pembangunannya namun sudah beroperasi, namanya Safari Inn Hotel yang berlokasi di Pantai Cermin, Kelurahan Karan Aur.
Pantai Cermin sendiri pada tanggal 5-6 November ini menjadi lokasi iven sport tourism berkelas dunia bertajuk Pariaman International Triathlon 2016.
Lomba olahraga wisata tingkat internasional yang digelar Pemkot Pariaman untuk kali ketiga ini diikuti 15 negara.
Lomba olahraga wisata tingkat internasional yang digelar Pemkot Pariaman untuk kali ketiga ini diikuti 15 negara.
Sesuai namanya, ada tiga olahraga yang diperlombakan yaitu berenang, balap sepeda, dan lari marathon yang dikemas dalam balutan wisata dan suguhan budaya.
Tak jauh dari Pantai Cermin terdapat Pantai Kata yang tengah dibenahi dan dibangun berbagai sarana dan prasarana, karena tahun depan akan menjadi lokasi Musabaqih Tilawatil Qur’an (MTQ) tingkat Provinsi Sumbar.
Di kota pesisir yang terkenal dengan kuliner Nasi Sek, The Telur, aneka Emping, dan keripik ini terdapat beberapa pulau yang menambah daya pesona baharinya, antara lain Pulau Angso Duo yang sudah dikembangkan menjadi pulau wisata dan juga Pulau Tengah yang segera menyusul menjadi pulau wisata.
Seusai dari Kota Pariaman, kemudian saya melanjutkan perjalanan wisata ke Kota Padang diantar dengan mobul dinas Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Kota Pariaman, Jafreki dan 2 rekannya.
Kali ini saya tidak bermalam di hotel, melainkan di rumah kediaman sahabat lama semasa kuliah dulu, Julian Bernardi namanya.
Kali ini saya tidak bermalam di hotel, melainkan di rumah kediaman sahabat lama semasa kuliah dulu, Julian Bernardi namanya.
Rumah Jul, begitu biasa saya sapa, berada di pinggiran Kota Padang sebelum Indarung, kawasan Pabrik Semen Padang. Sekitar 1 jam dari pusat Kota Padang.
Dua malam saya menginap di rumahnya yang modern simple di bilangan kompleks perumahan yang tenang dengan ukuran rumah yang terbilang cukup besar walaupun tidak tingkat.
Kamar yang saya tempati cukup besar, lengkap dengan satu tempat tidur single bad, lemari besar, satu meja, dan satu kursi kerja serta ber-AC.
Malam pertama di Kota Padang, saya dan sohib lama ini pun berkesempatan jalan-jalan dengan sepeda motor menikmati suasana malam kawasan pecinaan di Kota Padang dan tak lupa mencicipi Es Krim Durian yang tersohor di kawasan tersebut.
Tak lupa melihat Masjid Raya Sumatera Barat yang menghadap Jalan Khatib Sulaiman, Kecamatan Padang utara, Kota Padang yang megah dan unik. Masjid yang masih dalam tahap penyelesaian ini, diperkirakan akan menjadi magnet baru wisata religi Sumbar, terlebih Sumbar sudah ditetapkan menjadi salah satu destinasi halal Indonesia.
Malam kedua, giliran Radian Ghani, sahabat lama saya semasa sama-sam bekerja di Majalah Pariwisata, Budaya, dan Petualangan "KRAKATAU" di Jakarta yang menemani saya berkunjung ke Monumen Korban Gempa Padang.
Monumen yang diresmikan tanggal 30 September 2010 atau tepat setahun setelah terjadinya bencana yang memakan ratusan jiwa itu, kerap jadi tempat kongkow muda-mudi dan keluarga di Kota Padang pada sore hingga malam hari.
Monumen yang diresmikan tanggal 30 September 2010 atau tepat setahun setelah terjadinya bencana yang memakan ratusan jiwa itu, kerap jadi tempat kongkow muda-mudi dan keluarga di Kota Padang pada sore hingga malam hari.
Selanjutnya kami bergerak menuju lokasi berwisata kuliner Martabak Kubang Ayuda yang juga amat populer di sana.
Dari Kota Padang kemudian saya bertolak ke Koto Baru, bersama Bojex rekan sepetualangan, dan Ikha teman Bojex yang baru menggeluti kegiatan alam bebas ini. Kami naik mobil jenis L-300 bermerek "AYAH". Tujuan kami adalah mendaki Gunung Marapi.
Selama dua malam itulah saya merasakan sensasi lain bermalam di Tenda Dome berwarna oranye dengan pelapis anti hujan berwarna kuning terang dalam balutan udara dingin gunung yang cukup menggigit.
Malam pertama kami mendirikan Tenda Dome berukuran 4-5 orang itu di sebuah lahan datar sebelum Pos Pintu Angin.
Malam kedua tenda kembali didirikan di Cadas, sebelum Puncak Marapi. Dengan beralas tiga matras dan masing-masing mengenakan sleeping bag, cukup memberi rasa nyaman namun tetap saja tak mampu mengusir dingin.
Selepas berdingin-dingin di gunung paling popular di Sumbar dan Riau itu, saya merasakan sensasi yang tak kalau seru, yaitu bermalam di Rumah Gadang, kediaman Bojex.
Rumah Gadang tua beratap seng ini masih berdiri kokoh, di lembah antara Gunung Marapi dan Gunung Singgalang hingga menawarkan pemandangan menawan, dan tentu saja berudara dingin terlebih malam dan pagi hari.
Pesona rumah gadang ini kian kuat karena ditambah beberapa rumah tua di sekelilingnya yang dihuni oleh sejumlah warga dari Suku Pisang.
Kenapa sensasional? Ya karena berkali-kali ke Sumbar belum sekalipun saya berkesempatan merasakan bermalam di rumah tradisional orang Minangkabau ini.
Rumah Gadang tua beratap seng ini masih berdiri kokoh, di lembah antara Gunung Marapi dan Gunung Singgalang hingga menawarkan pemandangan menawan, dan tentu saja berudara dingin terlebih malam dan pagi hari.
Pesona rumah gadang ini kian kuat karena ditambah beberapa rumah tua di sekelilingnya yang dihuni oleh sejumlah warga dari Suku Pisang.
Kenapa sensasional? Ya karena berkali-kali ke Sumbar belum sekalipun saya berkesempatan merasakan bermalam di rumah tradisional orang Minangkabau ini.
Paling banter cuma bertandang ke istana yang berbentuk Rumah Gadang seperti Istana Pagaruyung di Batusangkar, Rumah Gadang di Baso-Kabupaten Agam, dan Rumah Gadang di Anjungan Sumbar, TMII-Jakarta.
Atau melihat-lihat beberapa rumah/bangunan yang atapnya bagonjong, menyerupai tanduk kerbau, yang masih berdiri di beberapa nagari atau desa.
Atau melihat-lihat beberapa rumah/bangunan yang atapnya bagonjong, menyerupai tanduk kerbau, yang masih berdiri di beberapa nagari atau desa.
Sensasi menginap selama 3 malam di Rumah Gadang Sambilan Ruang satu-satunya yang tersisa di Koto Baru itu pun saya curahkan dalam tulisan tersendiri berjudul: Tiga Malam di Rumah Gadang Sambilan Ruang Koto Baru.
Sisa 2 malam menjelajahi Sumbar, saya habiskan di bis selama perjalanan lewat darat (overland) dari Koto Baru ke Jakarta.
Bermalam di bis lewat jalur lintas tengah Sumatera dan menyeberangi Selat Sunda dari Bakauheuni-Lampung ke Pelabuhan Merak-Banten dengan kapal Roro saat tengah malam di saat hujan ini pun menawarkan sensasi lain.
Kisah seru overland perdana saya dari Sumbar ke Jakarta dengan bis umum itu pun saya tuangkan dalam tulisan terpisah termasuk tips berwisata overland dengan judul: Serunya Overland Sumbar-Jakarta dengan Bis Umum.
Intinya selama 15 hari menjelajahi Sumbar dengan menginap 5 malam di wisma dan homestay Kota Pariaman, 2 malam di rumah biasa di Kota Padang, 2 malam di Tenda Dome lereng Gunung Marapi, 3 malam di Rumah Gadang, dan 2 malam di bis umum memberikan pengamalan yang jauh lebih berkesan dan berwarna jika dibanding di satu jenis akomodasi.
Intinya selama 15 hari menjelajahi Sumbar dengan menginap 5 malam di wisma dan homestay Kota Pariaman, 2 malam di rumah biasa di Kota Padang, 2 malam di Tenda Dome lereng Gunung Marapi, 3 malam di Rumah Gadang, dan 2 malam di bis umum memberikan pengamalan yang jauh lebih berkesan dan berwarna jika dibanding di satu jenis akomodasi.
Suatu hari nanti, saya pun sudah berniat ingin menjelajahi objek wisata petulangan, bahari, budaya, sejarah, kuliner, halal, dan lainnya diberbagai lokasi lain di Sumbar.
Tentunya dengan menginap di beragam jenis akomodasi, dan kalau bisa ingin bermalam di Rumah Gadang lain lagi agar bisa mendapatkan suasana dan sensasi baru yang berbeda.
Kenapa saya ingin kembali? Ya karena pesona Sumbar tiada tara. Seperti kata orang Minang, Onde Mande.., Rancak Bana.
Kenapa saya ingin kembali? Ya karena pesona Sumbar tiada tara. Seperti kata orang Minang, Onde Mande.., Rancak Bana.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig:@adjitropis)
0 komentar:
Posting Komentar