. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 17 Februari 2016

Program SLP di Sumut Bakal Jadi Model Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Upaya pelestarian alam dengan model pendekatan bentang alamSustainable Landscapes Partnership (SLP) atau Kemitraan Bentang Alam Berkelanjutan di Provinsi Sumatera Utara (Sumut), diharapkan dapat menjadi sebuah model pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia, yakni dengan pendekatan pengelolaan konservasi yang terintegrasi antara laut-darat. 

Vice President Conservation International (CI) Indonesia Ketut Sarjana Putra mengatakan CI Indonesia sudah bekerja di Sumut sejak tahun 2001, dimulai dengan program Critical Ecosytem Partnership Fund (CEPF).

Saat ini, lanjut Ketut, CI Indonesia bekerja di Sumut melalui dua program yakni SLP dan Sustainable Agriculture Landscapes Partnership(SALP). “Program SLP bekerjasama dengan sejumlah mitra di Kabupaten Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Utara untuk mengembangkan dan menguji solusi inovatif dalam skala bentang alam untuk mengatasi tantangan lingkungan dalam upaya mendorong pembangunan berkelanjutan,” jelas Ketut usai jumpa pers acara “Pendekatan Bentang Alam di Indonesia: Pembelajaran dari Program SLP” di Ballroom Hotel Century Park, Jakarta, belum lama ini.

Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) di Kabupaten Mandailing Natal yang didirikan tahun 2014 memiliki banyak tantangan seperti masalah perbatasan dengan masyarakat setempat dan pemda serta SDM pengelolanya. Setelah program SLP masuk, berhasil membangun hubungan dengan dinas-dinas di pemerintah kabupaten serta masyarakat setempat. “Program SLP ini juga memfasilitasi dan mengkoordinasi dialog antara kelompok-kelompok tersebut dengan manajemen taman nasional,” tambah Ketut seraya menambahkan program SLP juga bekerjasama dengan petani kecil untuk meningkatkan produksi komoditas inti seperti kopi dan karet untuk mengurangi kebutuhan masyarakat memperluas kebun ke dalam area hutan taman nasional.

Ketut menambahkan penerapan program SLP yang awalnya di Indonesia, khususnya di Sumut dan kemudian diikuti oleh Peru merupakan sebuah model yang kuat untuk mensukseskan ketercapaian tata kelola sumber daya alam berkelanjutan dan produksi hasil pertanian berkelanjutan.

Program SLP di Sumut bertujuan mempromosikan dan mendukung program ini melalui empat bidang intervensi utama yakni konservasi sumber daya alam, pembangunan produksi berkelanjutan, peningkatan tata kelola dan partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan, dan pendanaan berkelanjutan yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kehidupan masyarakat.

Di Indonesia, bentang alam termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS), kawasan lindung, hutan produksi, taman nasional, lahan pertanian, dan desa serta kota di mana kawasan tersebut adalah jalur pembangunan berkelanjutan yang melindungi makanan, air bersih dan mata pencaharian dengan memperhitungkan modal alam dalam kesejahteraan manusia jangka panjang.

Pada tahap awal program SLP dilaksanakan dengan pendanaan dari dua donor kunci, yaituUSAID dan Walton Family Foundation dengan area pelaksanaannya di Sumut dengan fokus di 3 kabupaten tersebut di atas.

Mitra pelaksana utamanya termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemprov Sumut, Kabupaten Mandailing Natal, Selatan dan Tapanuli Utara serta berbagai sektor swasta dan mitra masyarakat sipil dan para pemangku kepentingan.

Tahap kedua, didanai oleh WFF, akan berlanjut di Sumut dengan keterlibatan yang lebih luas dan penambahan ekspansi ke Provinsi Papua Barat untuk mendukung implantasi kebijakan Provinsi Konservasi pada tingkat strategis.

USAID Environmental Office Director untuk Indonesia, John Hansen mengatakan lima tahun yang lalu USAID dan Walton Family Foundation sedang mencari pendekatan baru untuk menyelaraskan pembangunan ekonomi dan pengelolaan hutan berkelanjutan di Indonesia. “Melalui SLP kami mampu bergerak lebih dekat ke tujuan ini. SLP menunjukkan kepada kita bahwa ketika masyarakat, bisnis dan pemerintah bekerja bersama-sama, solusi untuk tantangan yang sulit menjadi lebih dapat dicapai,” terang John.

Acara yang berfokus pada pengalaman dan kajian hasil dari program SLP selama beberapa tahun terakhir ini dibuka oleh Direktur Inventaris dan Pemantauan Sumberdaya Alam Hutan, Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Dr.Ir. Ruandha Agung Sugardiman, M.Sc. 

Ruandha menyoroti pengalaman, pendekatan, tantangan, dan pembelajaran dari fase pertama SLP, yang akan menyediakan model untuk langkah berikutnya dan program lain yang ingin menerapkan program bentang alam terpadu secara lebih luas di dunia. “Pendekatan bentang alam merupakan pendekatan terbaik untuk sebuah pembangunan berkelanjutan karena lingkungan yang sehat merupakan komponen dasarnya. Melalui sejumlah kegiatan yang dilakukan program SLP, untuk menjaga bentang alam yang sehat, mendukung tata kelola efektif, dan sistem produksi berkelanjutan, saya optimis pendekatan ini dapat menjadi model untuk dapat diterapkan di Sumut dan wilayah Indonesia,” kata Ruandha. 

Ketua Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang membidangi Sumber daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, Parlindungan Purba menyambut baik gagasan acara ini sebagai salah satu media penyebaran model pembangunan berkelanjutan, dan menjadi perangkat penting dalam pembuatan kebijakan pembangunan berkesinambungan yang bertumpu pada tiga pilar yaitu ekonomi, Sosial dan ekologi secara sekaligus. 

Program berkelanjutan SPL yang telah diperkrasai secara progresif oleh CI Indonesia menurutnya patut diapresiasi yang tinggi terhadap upaya dan komitmennya, salah satunya dengan pendekatan yang melibatkan staheholders pembangunan berkelanjutan melalui kerjasama dengan pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. “Saya juga mengapresiasi upaya yang terus dilakukan di daerah dengan keanekaragaman hayatai seperti Kabupaten Tapanulis Selatan, Mandailing Natal, dan Kabupaten Tapanuli Utara,” ujarnya. 

Sebagai anggota DPD RI asal Sumut, Parlindungan Purba berjanji akan memperjuangkan secara terus-menerus inisiasi RUU pembangunan berkelanjutan. “Pasalnya saat ini Indonesia belum memiliki suatu kebijakan, baik dalam bentuk UU Pertumbuhan Hijau maupun peraturan perundangan lainnya seperti Mmodel Strategi Nasional untuk Pertumbuhan Hijau,” jelasnya. 

Sebagai informasi, Sumut memiliki luas daratan sekitar 71.680,68 Km persegi atau sekitar 3,73 % dari luas daratan Indonesia. Berdasarkan Surat keputusan Menteri Kehutanan No.44/Menhut-/2005 tanggal 16 Februari 2005, tentang penunjukan kawasan hutan di Sumut terbagi atas hutan konservasi seluas 477.070 Ha, hutan lindung (1.297.330 Ha), hutan produksi terbatas (879.270 Ha), hutan produksi tetap (1.035.690), dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 52.760 Hektare. 

Dari luasan kawasan hutan di Sumut tersebut, lanjut Parlindungan Purba menunjukkan betapa pentingnya pendekatan perlindungan kawasan hutan dalam konteks bentang alam. “Dengan tetap menjaga fungsi hutan secara berkelanjutan tentunya akan bermanfaat bagi Sumut dan generasi bangsa di masa yang akan datang,” pungkasnya.

Potensi Wisata TNBG 
Dalam laman dephut.go.id diterangkan nama taman nasional seluas 108 ribu Ha ini diambil dari nama sungai utama yang mengalir dan membelah Kabupaten Madia, yaitu Batang gadis. 

Berdasarkan hasil survei singkat keanekaragaman hayati yangdilakukan CI Indonesia selama sekitar sebulan ditemukan beragam jenis flora dan fauna. Dalam petak penelitian selias 200 meter persegi ditemukan 242 jenis tumbuhan berpembeluh (vascular plant) atau sekitar 1% dari flora yanag ada di Indonesia (ada sekitar 25 ribu jenis tumbuhan berpembeluh di Indonesia). Selain itu ada Bunga Padma (raflesia sp).

Sedangkan fauna yang ditemukan ada Harimau Sumatera, kambing hutan, kucing hutan, beruang madu, tapir, kijang, landak, dan rusa serta amfibi tak berkaki jenis satwa purba dan katak bertanduk tiga. Jumlah burungnya saat ini ada 242 jenis, 45 di antaranya merupakan jenis burung yang dilindungi di indonesia. 

TNBG dapat dicapai dengan kendaraan roda empat melalui jalur darat dari dari Sumut maupun Sumbar. Kalau dari Medan, Sumut lanjutkan ke Panyabungan lalu ke TNBG dengan waktu tempu sekitar 12 jam. Sedangkan dari Padang-Panyabungan-TNBG sekitar 6 jam. 

Potensi wisata yang taman nasional ini antara lain puncak Gunung Sorik Marapi dengan kaldera atau kawah besarnya ditambah keindahan alamnya yang khas. Selain itu ada Goa Borolla dengan keindahan stalaktit dan stalagmitnya, panorama alam dari Bukit Sopotinjak, dan air panas alami yang dapat dimanfkan untuk mandi terapi kesehatan. 

Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com) 
Foto: adji & dok.dephut.go.id 

Captions: 
1. Panorama TNBG dari Bukit Sopotinjak
2. Jumpa pers acara “Pendekatan Bentang Alam di Indonesia: Pembelajaran dari Program Sustainable Landscapes Partnership (SLP)” di Jakarta.
2. Goa Jepang di TNBG

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP