. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 06 Januari 2016

Tren Wisata 2016, Jalan-Jalan ke Obyek Wisata Tak Berlistrik

Seperti fashion, tren wisata pun berganti-ganti bahkan berubah. Ada yang baru, ada pula yang mengulang tren lama. Tren berwisata di masing-masing negara pun tak sama. Perbedaan ini menyangkut banyak hal, antara lain berkaitan dengan latarbelakang budaya, sosial, profesi, minat, dan tingkat ekonomi masyarakatnya. Bagaimana tren wisata masyarakat di Indonesia tahun 2016 ini?

Berdasarkan pengamatan penulis, ada beberapa jenis wisata yang bakal menjadi tren wisata Indonesia tahun ini. Salah satunya berwisata ke obyek-obyek wisata yang tidak berlistrik atau belum dialiri aliran listrik karena terpencil atau karena memang adat istiadatnya MELARANG daerahnya diterangi penerangan dari aliran listrik. 

Lalu apa yang mereka cari di obyek wisata tak berlistrik? Jelas untuk merasakan atmosfir berbeda, terutama pada malam hari. Peminatnya, pastinya orang-orang kota yang sudah terbiasa hidup tergantung dan dimanjakan dengan listrik dari pagi ketemu pagi untuk urusan kerja, rumah tangga, hiburan dan sebagainya. Oleh karena itu, kunci untuk dapat menikmati suasana yang berbeda itu, tak ada pilihan selain dengan cara bermalam di obyek wisata tersebut. Kalau siang hari, ya sama saja dengan obyek lain yang sudah ada listriknya.

Cuma itu? Tentu saja tidak. Ada daya tarik lain yang membuat obyek wisata tak berlistrik tersebut berdaya tarik kuat dengan kata lain punya pesona yang tak sama dengan obyek lain, maupun daerah yang tak berlistrik tapi bukan obyek wisata, apalagi dengan obyek wisata maupun daerah biasa yang berlistrik. Misalnya dari sisi budaya masyarakatnya, kehidupan keseharian, panorama alamnya, tantangan menuju lokasinya, dan hal lainnya.

Obyek wisata tak berlistrik di Indonesia yang bakal diminati wisatawan tahun ini, jenisnya cukup beragam. Ada komunitas/masyarakat adat, camping ground di gunung, dan camping ground di pantai, dan camping ground di kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, dan lainnya.

Baduy, merupakan contoh obyek wisata tak berlistrik dari tipe komunitas/masyarakat adat yang bakal ramai peminatnya. Suku Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten merupakan obyek wisata ekologi (ecotourism) yang sudah mulai ramai peminatnya sebelum era sosial media (sosmed) berbasis android hadir. 

Wilayah yang mereka diami merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut (Mdpl) dengan topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45 derajat serta suhu rata-rata 20 °C, dan tentunya hutan yang tetap terjaga dengan baik termasuk hutan bambunya. 

Tata cara hidup mereka yang beda dengan suku lain, berikut ketentuan adat yang mereka terapkan, membuat banyak eco traveler berbondong-bondong datang untuk menyibak misteri tentangnya sekaligus menikmati keunikannya itu. 

Jumlah wisatawan yang berkunjung ke Baduy tahun 2010 mencapai 6.460 orang dari dalam negeri dan dan 122 orang dari mancanegara, termasuk di dalamnya eco traveler. Jumlah itu diperkirakan bertambah di tahun-tahun berikutnya. 

Jauh sebelum itu tersohor, Urang Kanekes begitu mereka lebih senang disebut, telah menyadari wilayahnya bakal dikunjungi banyak wisatawan. Mereka pun sadar pengunjung yang datang pada akhirnya juga berdampak negatif, mencemari bukan hanya lingkungannya, pun prilaku warganya oleh kebiasan buruk yang dibawa pengunjung. 

Untuk mengantisipasinya, mereka pun menerapkan cara tersendiri. Cara itu sudah dilakukan mereka sejak lama. Ketentuan adat tak tertulis mereka ini WAJIB dipatuhi setiap pengunjung. Mereka tidak mengijinkan pengunjung bermalam lebih dari satu malam.

Tempat bermalamnya pun di Baduy Luar atau disebut Panamping, khususnya di rumah yang sudah biasa menerima tamu atau ditunjuk oleh pimpinan tertingginya yang di sebut Puun. Tugas Puun sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat, dalam menjalankan tugasnya, dia dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya. Sedangkan Baduy Dalam atau disebut Tangtu yang terdiri dari tiga desa inti yakni Cikartawarna, Cibeo, dan Cikeusik, semula pengunjung dilarang sama sekali bermalam. Hanya boleh singgah sejenak. Namun beberapa tahun belakangan, pengunjung diperbolehkan menginap di wilayah dalam namun tak lebih dari satu malam. 

Kelebihan bermalam di rumah orang Baduy, atmosfirnya amat berbeda. Seluruh kawasan Baduy, baik di luar maupun di dalam pantang berlistrik. Penerang satu-satunya obor yang minyaknya diolah sendiri. Karena tak berlistrik jangan harap menemukan peralatan elektronik seperti TV, Radio, Kulkas, Kompor Gas dan lainnya. Semua itu dilarang masuk. 

Di dalam rumah orang Baduy Dalam, hanya ada tungku masak dari kayu. Amat minim perabotan, hanya ada gelas dari bambu dan piring juga dari batok kelapa. Rumahnya berbentuk panggung yang ditopang beberapa balok kayu dan berbilik serta beralas bambu. 

Setibanya di salah satu warga Baduy Dalam, setelah menempuh perjalanan sekitar 3-5 jam tergantung fisik dari wilayah Baduy Luar, pengunjung bisa bercengkerama dengan sang penghuni rumah, biasanya kepala rumah tangga (bapak). Pengunjung bisa bertanya apa saja seputar kehidupan kesaharian mereka. Sementara ibu dan anak-anaknya memasak nasi, dan lauk pauk ala kadarnya. 

Biasanya pengunjung yang datang membawa lauk pauk dari kota seperti mie instan, ikan kaleng, kopi, gula, mentega, roti, abon, dan makanan kecil serta obat-obatan pribadi karena di dalam perkampungan Baduy tidak ada puskesmas atau apotek. Lauk-pauk yang dibawa kemudian diolah si Ibu di tungku kayu. Setelah masak, disantap bersama. Dengan penerangan lampu teplok buatan orang Baduy sendiri. Setelah itu, beristrihat di penerangan seadanya, dalam balutan udara dingin. 

Paginya, pengunjung yang hendak menunaikan Shalat Subuh harus pergi ke sungai dengan membawa lampu senter untuk berwudhu. Setelah sarapan pagi bersama dengan, pengunjung dipersilahkan kembali turun ke Baduy Luar dan kembali ke daerah masing-masing.
Selain merasakan bermalam di rumah orang Baduy Dalam, kelebihan lainnya pengunjung bisa menikmati trek perjalanan yang cukup panjang, naik turun perbukitan dengam pemandangan menawan berupa deretan pegunungan berbalut hutan rimbun, melewati danau kecil, dan beberapa perkampungan, serta sungai berjembatan yang terbuat dari bambu tanpa paku. 

Namun yang perlu diingat. Tidak semua bangsa boleh masuk ke Tangtu. Ras keturunan Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid katanya dilarang masuk ke wilayah Tangtu. Dengan kata lain turis asing hanya diperbolehkan memasuki daerah Panamping. 

Saat upacara Kawalu yang merupakan bulan suci bagi masyarakat Baduy selama tiga bulan, semua pengunjung termasuk dari dalam negeri mutlak dilarang masuk Tangtu. Orang Baduy yang tinggal di Tangtu juga dilarang saba kota atau bepergian ke luar desa. Mereka berkonsentrasi penuh pada penyucian diri dan desanya. Jika ketentuan adat leluhur mereka dilanggar, maka yang kena kuwalat atau pamali adalah orang Baduy sendiri. 

Suku ini pun melarang setiap tamu nyabun (memakai sabun) dan bermacam produk mandi dan bersih-bersih/mencuci lain seperti shampoo, tapal gigi, dan deterjen jika mandi di sungainya. Bahkan dibeberapa tempat, pengunjung dilarang mandi langsung di sungainya. Aneka produk tersebut mereka nilai dapat mencemarkan sungai. 

Aturan itu pula membuat keberadaan sungai di wilayah mereka yang hanya berjarak sekitar 172 Km sebelah barat ibukota Jakarta atau sekitar 65 Km sebelah selatan Serang, ibukota Provinsi Banten ini, terlihat bersih dan berair jernih kehijauan, terlebih di musim panas. 

Pengunjung juga diharamkan sembarang menebang pohon apalagi merusak hutan. Jika warga ingin melakukan penebangan harus seizin lembaga adat. Bahkan, kawasan Baduy hingga kini sengaja tidak memiliki jalan aspal untuk menghindari mudahnya orang luar keluar masuk hutan mereka. Andai ada warga luar yang ingin masuk hutan hak ulayat Baduy, tidak diperkenankan membawa angkutan, seperti motor, mobil, dan truk sebab kendaraan-kendaraan tersebut bisa merusak hutan kawasan Baduy. 

Satu lagi yang harus diindahkan, jika di wilayah Baduy Luar pengunjung masih bisa memotret maka di wilayah Baduy Dalam memotret tidak diperbolehkan. Jadi di Baduy Dalam pengunjung dilarang menggunakan handphone, camera, atau radio. Ada beberapa pintu masuk ke Baduy, namun yang paling sering dilewati pengunjung lewat Ciboleger.

Obyek wsiata tak berlistrik jenis komunitas/masyarakat adat lain yang bakal diminati wisatawan tahun ini adalah Kampung Adat Wae Rebo di pedalaman Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tepatnya di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat. 

Sama seperti Baduy, perkampungan masyarakat adat Wae Rebo juga tak berlistrik. Bedanya bentuk rumahnya berbentuk kerucut. Untuk menjangkaunya dengan berjalan kaki atau trekking sekitar 8 Km melewati 3 pos pemberhentian untuk beristirahat sejenak. Pemandangan yang ditawarkan amat memesona, berupa deratan perbukitan, hutan rimba yang lebat, sungai, dan tentu saja perkampungannya. 

Sampai di Wae Rebo pengunjung bisa berinteraksi dengan penduduk dan berjalan keliling kampung melihat arsitektur rumah adatnya sambil dipandu pemandu ataupun tokoh setempat yang akan menjelaskan tentang Wae Rebo dalam konteks adat, budaya dan kehidupan sosialnya.

Obyek wisata tak berlistrik jenis camping ground di gunung yang bakal ramai peminatnya tahun ini, masih tetap didominasi lokasi camp di gunung-gunung populer seperti di Jawa Barat ada Alun-Alun Surya Kencana di Gunung Gede (Cianjur), dan Pondok Salada di Gunung Papandayan (Garut). 

Selain itu di beberapa gunung dan bukit tak populer namun belakangan ini mulai diminati seperti tempat berkemah di lereng Gunung Batu (Jonggol dan Stone Garden di Padalarang, Jawa Barat serta puncak Gunung Prau, di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah. 

Untuk camping ground di pantai/pulau antara lain di beberapa pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta dan sejumlah pulau lain baik perairan Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Bali. Sedangkan di kawasan taman nasional antara lain di semenajung Taman Nasional Ujung Kulon(Banten), lokasi kemah Kawah Ijen (Jawa Timur), dan di Taman Nasional Bromo Semeru (Jawa Timur), terutama di jalur pendakian ke Semeru yakni di Ranu Kumbolo. 

Lantaran camping ground tak berlistrik, tentu yang harus dibawa tenda domme yang nyaman dan anti rembes hujan, matras, sleeping bag, pakaian ganti untuk tidur, lampu penerang, serta perlengkapan masak dan makan untuk memasak logistik yang dibawa. 

Itulah obyek-obyek wisata tak berlistrik yang bakal menjadi tren wisata tahun 2016 ini. Buat Anda yang ingin mencobanya, siapkan segala sesuatunya baik itu fisik, mental, perlengkapan perjalanan, logistik, dan obat-obatan serta tak lupa mentaati peraturan setempat baik yang tertulis maupun tidak. Selamat jalan-jalan ke obyek wisata tanpa listrik di Indonesia. 

Naskah & foto: Adji Kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP