. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Selasa, 19 Januari 2016

Sepotong Harapan Itu Bernama Mandalika

Di salah satu puncak bukit Tanjung Aan, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), 5 bocah lokal terlihat duduk-duduk sambil menatap ke arah bentangan pantai di bawah. Sesekali mereka menengadah, melihat langit biru bertabur mega putih yang berarak, tak bisa diam. Ada sepotong harapan menggantung di sana. 

Kelima bocah itu memang sama-sama ingin menjemput sepotong harapan di tanah kelahiran mereka yang sempat pupus lantaran proyek pengerjaan kawasan Mandalika yang mencakup wilayah mereka itu "mangkrak" atau terbengkalai selama dua dekade lebih.

Rencana pengembangan sektor pariwisata kawasan Mandalika telah dibuat sejak 25 tahun lalu. Namun pengembangan ini sempat mengalami macet saat krisis moneter dan dimulai lagi tahun 2008. Pembangunan awal (groundbreaking) kawasan itu pernah diresmikan pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya 21 Oktober 2011.

Sekarang, harapan itu datang kembali. Mandalika bakal menjadi kawasan resort bertaraf internasional yang digarap secara profesional, setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) memutuskan Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan kemudian melanjutkan pengerjaan proyek tersebut dengan menyuntikkan dana sebesar Rp 1,8 triliun.

Keberadaan lima bocah laki-laki itu Agus, Norman, Daru, Iwan, dan Amir, cukup menarik perhatian pengunjung di Tanjung Aan, jelang sore itu. Sejak pagi mereka menjaga setapak berundak menuju puncak bukit yang ada di tepi pantai bersih itu. Setiap ada pengunjung yang meniti setapak bersemen apa adanya itu, mereka meminta uang. Kata Daru, bocah paling kecil di antara 4 temannya itu, uang ini untuk biaya pembuatan setapak. “Oom bayar dulu duaribu,” rengeknya.

Bocah mungil ini memang paling cerewet dan aktif dibanding teman-temannya. Kalau ada pengunjung tidak memberikan uang, Daru terus gigih memintanya dan mengikutinya kemanapun pengunjung itu melangkah, didampingi keempat rekannya. Mereka begitu kompak dan sehati.

Norman, bocah berbadan paling tinggi dan tak banyak bicara. Sikapnya yang pendiam justru membuat keempat rekannya segan padanya. Norman pun paling mudah dikenali dari warna rambutnya yang kuning, bukan karena dicat melainkan asli terbakar terik matahari.

Amir lain lagi. Dia paling rajin dan kerap menolong teman-temannya. Kalau disuruh beli sesuatu, dia langsung beranjak dan berlari. Sedangkan Iwan dan Agus jadi ajudan Norman. Kemanapun Norman pergi, keduanya selalu mengikuti.

Kelima bocah ini sudah tidak sekolah lagi. Kata mereka, masing-masing orangtuanya sudah tak mampu membiayai mereka karena miskin. Untuk membantu orang tua, mereka menjaga setapak bukit ini. Uang yang terkumpul mereka bagi berlima. Kalau sedang ramai mereka dapat mengumpulkan uang sampai Rp100.000. Kalau lagi sepi mereka mencari pasir berbentuk merica di Pantai Kuta, sekitar 4 Km dari Tanjung Aan untuk dijual. Terkadang mereka berjualan aksesoris gelang kepada pengunjung seperti puluhan anak-anak lain di pantai ini.

Tanjung Aan bagi lima bocah ini bukan sekadar tempat bermain tapi tempat untuk menyambung hidup. Mereka berharap Tanjung Aan semakin ramai pengunjungnya. Apalagi sudah ditetapkan pemerintah sebagai KEK.

Sayangnya mereka masih begitu polos. Mereka, termasuk bocah-bocah dan pedagang dewasa lainnya masih belum memahami bagaimana memperlakukan tamunya dengan baik agar betah dan mau berlama-lama di Tanjung Aan, Pantai Kuta, Pantai Semeti, dan lainnya.

Gubernur NTB, TGH Muhammad Zainul Majdi mengakui keberadaan anak-anak penjual asongan di kawasan tersebut. Maklum Tanjung Aan dan obyek lain di KEK Mandalika menurutnya belum sepenuhnya menjadi destinasi yang siap menerima kunjungan wisatawan. Beda dengan kawasan Sengigi dan Tiga Gili yang sudah jadi sehingga tidak akan ditemukan ada anak-anak yang memaksa. Majdi yakin -2-3 tahun kedepan konsisi di Tanjung Aan dan sekitarnya akan berubah jauh lebih baik, tertib,dan tertata.

Tanjung Aan yang bersebelahan dengan Pantai Kuta, sarana akomodasi dan pendukung wisata lainnya memenga belum selengkap kawasan wisata lain di Lombok seperti Senggigi dan Tiga Gili. Kendati begitu obyek wisata bahari ini sangat digemari wisatawan karena masih alami dan jauh dari keramaian.

Dulu tanjung ini banyak dikunjungi wisatawan mancanegara (wisman), kini wisatawan nusantara (wisnus) pun mulai banyak yang datang, terlebih setelah Bandara Internasional Lombok (BIL) beroperasi.

Beragam aktivitas dapat dilakukan di tanjung berpantai menawan dan landai ini seperti berenang, berjemur di pasir putih, melihat dan mengabadikan panoramanya dari bukit, surfing ataupun sekadar duduk-duduk sambil menikmati kelapa muda. 

Tanjung Aan dapat ditempuh sekitar 1,5 jam dari Kota Mataram dengan menggunakan kendaraan roda empat melewati BIL. Kalau menyewa taksi pergi-pulang dari Senggigi ke Tanjung Aan sekitar Rp 500 ribu. 

Keistimewaan Tanjung Aan memiliki beberapa pantai berpasir putih dengan perairan tenang berair biru ditambah bukit-bukit kecil yang miskin vegetasi atau telanjang sama sekali tanpa tutupan vegetasi. Bukit-bukitnya itu didominasi batuan vukanik dengan sisipan batu gamping di beberapa tempat.

Tanjung Aan dengan pantai dan bukit-bukitnya memang bisa menjadi lokasi tepat untuk merenggut ketenangan. Sayangnya ketenangan itu kerap terusik oleh lima bocah sekawan di atas, dan juga para pedagang asongan lainnya yang tak letih menawarkan daganganya berupa aneka kain tenun, sarung, aksesoris mutiara, gelang, makanan kecil, dan kelapa muda.

Asal-usul Nama Mandalika
Masih banyak orang yang belum tahu nama Mandalika itu berasal dari mana. Sebenarnya, namanya berasal dari nama seorang putri kerajaan di legenda Sasak, suku asli yang mendiami Pulau Lombok, termasuk yang tinggal di KEK Mandalika.

Legenda Putri Mandalika terjadi pada abad ke-16. Ketika itu kerajaan kuno Tanjung Bitu diperintah oleh Raja Tonang Beru dan Seranting ratunya yang memiliki putri bernama Mandalika. Putri Mandalika berparas cantik, banyak pangeran dari berbagai kerajaan yang ingin menjadikannya sebagai permaisuri.

Putri Mandalika bingung menentukan mana pangeran yang akan menjadi suaminya. Dia pun mengadakan syarat, para pangeran harus bertempur dan siap yang menang berhak menikahinya. Namun pertempuran antarpangeran terus bertambah dan semakin sengit.

Putri Mandalika akhirnya memutuskan mengorbankan hidupnya agar tidak ada lagi pertempuran memperebutkan dirinya. Dia melemparkan dirinya ke laut agar tidak ada pangeran yang bisa memilikinya. Sebelum bunuh diri melompat ke laut, sang putri mengatakan bahwa dengan cara yang khusus, ia akan kembali setiap tahun untuk membawa nasib baik kepada orang-orang yang dicintainya. Tubuhnya menjadi ribuan cacing laut atau nyale yang muncul di perairan sekitarnya.

Sejak itu masyarakat di Lombok Tengah khususnya mengadakan tradisi Bau Nyale  atau menangkap cacing laut yang dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika di sekitar Pantai Kuta. Tradisi ini pun menjadi salah satu daya pikat mengapa wisnus dan wisman bertandang ke KEK Mandalika hingga tradisi tersebut belakangan ini dijadikan sebuah festival setiap tahun.

Naskah & foto: Adji Kurniawan (kembaratropis@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP