Memahami Indonesia Lewat Ragam Seni Ikat Kepala
Mengenal lebih dekat suku-suku yang ada di Indonesia sekaligus budayanya bukan cuma lewat bahasa, kuliner tradisional, rumah adat, kesenian, dan adat istiadatnya. Pun bisa lewat seni ikat kepalanya yang beragam. Sejak dulu ikat kepala bukan sekadar penghias kepala biar lebih rapih dan atau terlindung dari terik matahari, pun dianggap sebagai simbol kewibawaan seorang pria.
“Om dari Bali ya. Udeng-nya bagus?” tanya seorang supir mini bis bluebird di salah satu Rest Area Tol Cipali beberapa waktu lalu. “Oh bukan pak, Saya dari Lampung. Ikat kepala yang saya pakai ini khas Sunda tepatnya dari Cirebon,” balasku.
“Oh saya kira Om dari Bali. Soalnya kemarin saya ketemu rombongan dari Bali juga pakai ikat kepala,” kata pria itu lagi. “Ia memang sepintas rada mirip. Tapi kalau dilihat secara detil beda bentuknya. Nah yang saya pakai ini motifnya Mega Mendung, motif khas Batik Cirebonan,” jawabku lagi.
Entah sudah berapakali orang mengatakan saya ini orang Bali setiap kali mengenakan ikat kepala praktis. Padahal yang saya kenakan bukan Udeng atau ikat kepala khas Bali. Atau jangan-jangan kulitku yang gelap ini memang mirip dengan kebanyakan pria Bali. Entahlah.
Ini membuktikan ikat kepala khas Bali yang disebut Udeng lebih tersohor dan me-Nasional dibanding ikat kepala dari daerah lain. Salah satu faktornya sampai sekarang lelaki Bali kerap mengenakan Udeng.
Para lelaki Bali memakai udeng baik dalam pertemuan informal, acara-acara resmi, hingga ritual peribadahan dan upacara keagamaan.
Ketika beribadah di pura, udeng digunakan untuk mencegah adanya rambut yang rontok dan dapat melanggar kesucian pura.
Udeng yang digunakan saat beribadah umumnya berwarna putih polos.
Udeng terbuat dari kain dengan ukuran panjang kurang lebih sekitar setengah meter.
Di Bali, perajin udeng dan kerajinan-kerajinan berbahan kain lainnya banyak diproduksi di daerah Karangasem. Salah satu desa yang terkenal karena kerajinan kain adalah Desa Sidemen. Di desa ini, dapat ditemukan udeng dalam berbagai motif, mulai dari polos, ornamen metalik, corak batik, dan corak lain yang lebih modern.
Udeng memiliki bentuk asimetris bilateral dengan sisi sebelah kanan lebih tinggi dari sisi kirinya. Bentuk asimetris ini memiliki makna filosofis setiap orang harus berusaha melakukan kebajikan.
Lekukan udeng memiliki makna.
Lekuk dikanan lebih tinggi daripada dikiri berarti hendaknya kita lebih banyak melakukan hal yang baik (dharma) dari pada berbuat buruk (adharma). Ikatan ditengah - tengah kening bermakna memusatkan pikiran kita, da ujung ke atas melambangkan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan menggunakan udeng secara garis besarnya disebutkan hendaknyalah pemakainya selalu berbuat yang baik sehingga pemakainya nanti dapat bersatu dengan beliau (moksa).
Udeng yang tertutup dan ikatan di belakang, yang boleh memakai udeng ini pinandita (sulinggih) yaitu orang yang sudah mewinten atau atau Samkara Eka Jati. Udeng seperti ini sering disebut dengan ''mebongkos nangka''.
Udeng dalam makna pakaian adat ke pura secara umum dibagi tiga. Pertama, Udeng Jejateran (udeng untuk persembahyangan) menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata, sebagai lambang cundamani atau mata ketiga, juga sebagai lambang pemusatan pikiran, dengan ujung menghadap keatas sebagai symbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa.
Udeng jejateran yang memiliki dua bebidakan yakni Sebelah kanan lebih tinggi, dan sebelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan dharma. Bebidakan yang kiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa siwa dan simpul hidup melambangkan Dewa wisnu, bagian atas kepala atau rambut masih tidak tertutupi yang berarti masih brahmacari.
Kedua, Udeng Dara Kepak, masih ada bebidakan tetapi ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatankecerdasan. Ketiga, Udeng Beblatukan (dipakai oleh pemangku) tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di belakang dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi.
Ikat kepala Indonesia bukan cuma Udeng. Di Sunda, ikat kepala-nya dikenal dengan nama Totopong, Di Baduy disebut Lomar, Di Yogya dan Solo lebih dikenal dengan Blangkon. Di Jawa Timur seperti daerah Banyuwangi namanya sama dengan Bali yakni Udeng.
Di Sumatera Selatan dikenal dengan nama Tanjak. Di Sumatera Utara khususnya suku Batak Simalungun disebut Gotong. Sedangkan di Buton, Sulawesi Tenggara ikat kepala pria yang simpel dinamakan Kampurui.
Totopong populer setelah dikenakan Kabayan. Bentuknya tertutup seperti Balngkon. Pada 2012 lalu, totopong secara resmi diperkenalkan oleh Pemerintahan Kota Bogor kepada turis mancanegara sebagai salah satu ciri khas baru bagi masyarakat Sunda Bogor.
Totopong terbuat dari kain batik bermotif Sunda berbentuk persegi dengan ukuran 50x50 cm. Kain ini kemudian diikatkan pada kepala dan dibentuk sesuai dengan variasi yang diinginkan. Secara umum, terdapat tujuh variasi bentuk dalam totopong, yaitu bentuk barambang semplak, parekos nangka, parekos jengkol, tutup liwet, lohen, porten, dan kole nyangsang. Semua variasi totopong tersebut mempunyai keunikan masing-masing.
Totopong biasa dijual dengan harga Rp20.000/potong atau bisa lebih mahal atau lebih murah tergantung pada kerumitan motif batik yang ditawarkannya.
Khusus ikat kepala Barangbang Semplak khas Sunda, biasanya dikenakan para jawara silat. Oleh karena itu, ikatannya praktis dan bikin yang memakainya terlihat gagah. Sedangkan blangkon Jawa tertutup, pemakainya tak tersengat matahari. Biasanya warna dan motif kainnya menjadi simbol yang menjelakan kedudukan pemakainya.
Ikat kepala pria khas Sumatra Selatan Tanjak memiliki unsur Melayu yang sangat kuat. Biasanya Tanjak dikenakan dengan pakaian adat mulai dari jas tutup bersulam emas, dipadukan dengan kain songket, dan celana panjang.
Muhar Omtatok, salah seorang Budayawan Simalungun berpendapat penutup kepala pria Simalungun yakni Gotong awalnya berbentuk destar dari bahan kain gelap (berwarna putih untuk upacara kemalangan, disebut Gotong Porsa). Tapi kemudian orang Simalungun dewasa ini juga suka memakai Gotong berbentuk Tengkuluk Batik.
Sementara ulos penutup kepala pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan sebutan Sorotali. Sortali itu sendiri adalah ikat kepala yang fungsinya seperti mahkota. Biasanya dibuat dari bahan tembaga yang disepuh dengan emas, lalu dibungkus dengan kani merah. Sortali ini digunakan pada pesta-pesta besar. Sortali biasa digunakan laki-laki juga perempuan. Akan tetapi sama seperti ulos, penggunaan sortali tidak sembarangan dan memiliki aturan sendiri.
Pengikat kepala khas orang Buton yang disebut Kampurui biasanya melengkapai pakaian adatnya yang dinamakan Pakaian Balahadada dapat diartikan sebagai pakaian belah dada. Dikatakan demikian karena pakaian tersebut tidak memiliki kancing sehingga sipemakai dapat terlihat dadanya. Pakaian ini dilengkapi “destar” yang dalam bahasa Wolio (Buton) adalah Kampurui.
Ada beberapa jenis Kampurai yakni Kampurui Bewe Patawala, Kampurui Bewe Palangi, Kampurui Tumpa, dan Kampurui Bewe Poporoki berdasarkan bentuk dan warnanya. Keempat Kampuruiini pada bahagian sekelilingnya dijahitkan benang emas atau perak yang disebut ”Jai” atau ”Pasamani”.
Untuk membudayakan Kampurai, Bupati Buton Umar Samiun sampai mengeluarkan regulasi yang mengatur jajaran birokrasi wajib mengenakannya lengkap dengan pakaian adat. Pakaian adat kebesaran dikenakan hari Kamis dengan jenis pakaian adat Balahadhadha sesuai dengan kepangkatan masing-masing. Selanjutnya pada hari Jumat, jajaran pemerintah wajib mengenakan pakaian adat dengan sentuhan yang lebih ringan, ditandai dengan penggunaan Kampurai dengan model “padamalala” dan wajib menggunakan sarung sentuhan khas Buton.
Itulah beberapa ragam seni ikat kepala Nusantara. Dengan mengenalnya lebih jauh, kita akan mengenal lebih dekat suku-suku yang mengenakan ikat kepala tradisionalnya masing-masing. Dengan begitu secara tidak langsung kita akan lebih memahami Indonesia yang begitu beraneka budayanya.
Naskah & foto: Adji Kurniawan (kembaratropsi@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar