Perang Ketupat Bikin Suasana Lebaran Beda
Bosan dengan suasana lebaran yang adem-adem saja? Coba ke Pura Lingsar, Lombok, NTB. Di sana kita bisa melampiaskan kemenangan dengan perang. Tapi perangnya dengan ketupat, makanya disebut Perang Ketupat atau orang sana menyebutnya Perang Topat.
Perang topat di Pura Lingsar dilakukan oleh para petani dan masyarakat yang tinggal di sekitar Pura tersebut pada sore hari. Mereka berkeyakinan dengan mengadakan perang ini, segala doa akan dikabulkan Tuhan YME.
Pura Lingsar yang terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, merupakan pura terbesar sekaligus tertua di Lombok yang dibangun pada tahun 1714 oleh Raja Agung Ngurah Karangasem dari Bali semasa kejayaan Kerajaan Karangasem.
Kendati bentuknya nyaris serupa dengan pura-pura lain di Lombok maupun di Bali. Namun khusus Pura Lingsar ini memiliki keistimewaan tersendiri, terutama nilai-nilai toleransi yang terpupuk sejak ratusan silam antarwarga berbeda agama yang menetap di sekitar pura ini.
Sejak lama umat Hindu dan Islam termasuk penganut Wektu Telu Suku Sasak hidup saling berdampingan. Mereka hidup akur bak saudara yang saling bantu, saat senang maupun susah. Lewat perang topat-lah mereka buktikan adanya kerukunan itu yang membuat hidup mereka tentram dan damai hingga kini. Bukti lainnya, pura ini dikelola secara bersama oleh umat Hindu, Islam, dan Wektu Telu.
Ada 4 bangunan pokok di pura ini yakni Pura Gaduh, Kemaliq, Pesiraman Pesimpangan Bhatara Bagus Balian, dan Lingsar Wulon. Selain digunakan untuk persembahyangan umat Hindu, pura ini juga dimanfaatkan Suku Sasak untuk tempat ibadah terutama di bangunan Kemaliq yang berada di bagian dalam pura.
Di samping tempat berdoa, terdapat kolam air kecil yang berisi ikan purba. Di kolam ini ada ritual melempar koin ke kolam dengan membalikkan badan seraya memanjatkan keinginan. Ada yang berharap usahanya lancar, kariernya bagus, dan harapan baik lainnya. Kalau koin yang dilepar kemudian disambar ikan purba berarti doanya terkabulkan.
Perang topat yang akan berlangsung di Pura Lingsar diawali prosesi adat setempat yakni pujawali setiap purnamaning sasih kanem, menurut hitungan penanggalan Bali. Pujawali di pura-pura lain dilaksanakan sepenuhnya oleh umat Bali.
Lain halnya di Pura Lingsar, upacara ini dirangkai dengan tradisi perang topat yang pelaksanaannnya didominasi warga Suku Sasak bersama dengan masyarakat Bali lainnya yang sudah hidup turun-temurun di Lombok.
Sehari sebelum pujawali ada upacara panaek gawe atau permulaan kerja. Dilanjutkan dengan acara mendak atau menjemput roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung Agung, dan penyembelian kerbau serta sesajian berupa 9 jajajan, buah-buahan, dan minuman.
Usai umat Hindu melakukan ngaturang bakti dan ngelungsur amertha, prosesi perang topat pun dimulai. Diawal dengan mengelilingi purwadaksina yang berada di areal Kemaliq.
Para tokoh Suku Sasak dan umat Hindu bergabung dalam prosesi ini yang dimeriahkan denga tarian batek baris dan kesenian gendang beleq. Biasanya perang topat dimulai sore, sekitar pukul lima bertepatan dengan gugurnya bunga pohon waru.
‘Peluru’ yang digunakan dalam ‘peperangan’ ini bukan peluru senapan melainkan topat atau ketupat yang sebelumnya menjadi sarana upacara lalu dilempar ke siapa saja tanpa menimbulkan cedera. Saat berperang ada iringan bunyi-bunyian kul-kul atau kentongan.
Pascaperang, ketupat yang dijadikan peluru lalu dipungut dan dibawa pulang oleh warga. Ketupat itu ada yang disebar di persawahan karena diyakini memberi kesuburan bagi padi.
Pengunjung yang ingin menyaksikan acara ini dan masuk ke areal dalam pura ini, diharuskan mengenakan pakaian adat Hindu. Minimal mengenakan selendang yang diikatkan di pinggang.
Di pura ini, memang tidak ada mushola. Tapi pengunjung muslim disediakan ruang khusus untuk shalat di saung berlantai ubin lengkap dengan sajadah, sarung, dan mukena.
Di samping kanan saung ini terdapat 5 pancuran air yang biasa digunakan pengunjung untuk berbasuh muka dan dapat digunakan untuk mengambil wudhu. Di dekat saung terdapat beberapa pohon putri anjing yang buahnya mirip jengkol.
Pura Lingsar berjarak sekaitar 15 Km dari Kota Mataram, Ibukota Provinsi NTB. Mudah menjangkaunya, dari Bandara Internasional Lombok (BIL), pengunjung yang ingin datang ke pura ini dapat menyewa mobil travel, taksi ataupun naik bus damri langsung ke lokasi.
Selama berada di pura yang dilindungi UU RI No 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya ini, pengunjung dilarang membawa minuman keras, melakukan permainan yang menjurus ke perjudian, membunyikan tape recorder, radio, dan lainnya serta dilarang membuat kegaduhan saat orang melakukan acara ritual dan istirahat.
Seperti di obyek wisata lain yang ada di Lombok, di pura ini juga banyak para pedagang asongan baik anak-anak maupun orang tua yang menjajakan aksesoris mutiara, gelang, cincin, dan minyak urut. Seperti biasa pula, mereka menawarkannya dengan ‘gigih’ mulai dari gapura hingga bagian depan pura.
Di daerah juga ada tradisi unik perang ketupat. Di Pulau Bangka perang ketupat dilakukan setiap memasuki Tahun Baru Islam (1 Muharam). Sedangkan di Desa Kapal, Badung, Bali, perang ketupat yang disebut juga acih rah pengangon ini dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Acara berlangsung sekitar 30 menit, usai berperang kemudian saling berjabattangan. Namun yang paling seru perang topat di Pura Lingsar.
Kalau Anda punya kesempatan, datangi saja daerah-daerah rawan perang topat itu, biar suasana lebaran Anda lebih berwarna. Jika belum ada waktu luang, nikmati saja ketupat lebaran di rumah bersama orang-orang tersayang.
Naskah & foto: adji kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Captions:
1. Ketupat, jadi peluru dalam perng topat di Pura Lingsar, Lombok.
2. Gerbang menuju Kompleks Pura Lingsar, Lombok.
0 komentar:
Posting Komentar