Malela Menakjubkan Kala Berhias Ribuan Kunang-Kunang
Dari atas bongkahan batu besar tempat di depan tenda dome yang kami dirikan, kira-kira 50 meter dari tumpahan Curug Malela, aku dan enam serdadu Kembara Tropis yakni Marno, Lestari, Iwoe, Ratna, Tuti, dan Ana terpaku menyaksikan ribuan kunang-kunang hilir-mudik usai keluar dari sarangnya satu persatu di kegelapan malam. Mereka seakan menyambut kehadiran kami, sekaligus ingin mempertontonkan pesona cahaya keemasannya yang berkilauan.
Puas menikmati pemandangan berbeda itu, Marno masuk ke dalam tenda. Kepalanya masih sakit akibat diantub lebah berukuran jempol orang dewasa jelang sore tadi. “Kepalaku rasanya seperti di-palu berkali-kali,” katanya. Ratna, yang tak lain istrinya Marno menemani sang suami ke pembaringan.
Tak lama kemudian Lestari dan Ana juga masuk ke dalam tenda berukuran besar yang mampu menampung 7 orang berikut ransel. Padahal jarum pendek di jam tanganku belum mengarah ke angka 8 malam.
Rupanya perjalanan dari Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur dengan bis AC ke terminal Leuwi Panjang, Bandung, dilanjutkan dengan naik angkot dari perempatan lampu merah dekat Lewi Panjang ke Batu Jajar, Cimarema lalu naik mobil elf ke Gunung Halu, dan kemudian naik ojek sepeda motor menuju parkiran terakhir Curug Malela di jalan yang rusak parah, ditambah berjalan kaki sekitar 1 Km menuruni perbukitan di setapak berundak yang jumlahnya sekitar 400 undakan, dan melewati persawahan penduduk sebelum tiba di Malela, cukup melelahkan dan bikin kantuk.
Tinggal aku, Iwoe, dan Tuti yang masih bertahan. Hampir sejam lebih kami menikmati tarian cahaya yang dihadirkan ribuan kunang-kunang. Aku kembali menyanyikan lagu-lagu karyaku sejak dalam tenda tadi, usai shalat Isya berjamaah.
Gemuruh tumpahan Curug Malela terdengar jelas, seolah mengiringi nyanyianku. Iwoe pun ikut bernyanyi. Beberapa tembang lawas pun kami nyanyikan secara duet. Sementara Tuti, asyik menjadi pendengar yang baik, sambil senyum-senyum, kadang tertawa.
Kantuk pun menghampiri Iwoe dan Tuti. Keduanya menyusul keempat rekanku masuk tenda. Tinggal aku sendiri yang asyik berteman hening. Ketika diam, suara Malela kian riuh seperti tengah memainkan sebuah instrument alam, mengiringi ribuan kunang-kunang yang menari, terbang kesana-kemari.
Untuk menghalau sepi, aku membuat lagu tentang pesona curug yang melebar sekitar 60 meter dan berundak-undak setinggi sekitar 70 meter ini. Tak ada lima menit, lagu bertajuk Gemuruh Malela pun tercipta. (Liriknya dapat Anda simak di http://pujanggapengembara.blogspot.com).
Saat asyik menyanyikannya, Atib (52), penduduk lokal yang menemani kami malam itu muncul dari belakangku. Aku sempat kaget. Melihat ribuan kunang-kunang yang masih berkeliaran malam itu membuat bapak tiga anak ini heran. “Baru kali saya lihat kunang-kunang sebanyak ini, biasanya hanya puluhan ekor,” jelasnya.
Sambil merokok kretek, Atib yang sejak kecil sudah bermain di Curug Malela pun bercerita. Menurutnya Curug Malela merupakan aliran dari Sungai Cidadap yang mata airnya berada di Gunung Wayag. Di sepanjang aliran sungai yang airnya bening dan keputihan saat musim kemarau dan keruh saat penghujan ini ada enam curug (air terjun).
“Curug Malela berada paling atas. Setelah itu Curug Katumiri, Sumpel, Ngebul, Palisir, dan terkahir Curug Pameungpek,” katanya seraya menjelasnya lebih rinci bahwa Curug Ngebul atau Berasap merupakan curug tertinggi kelima curug lainnya, tingginya sekitar 100 meter namun tumpahan airnya tidak sebesar Malela.
Menurut Atib lagi, masih ada satu curug lagi yang jauh lebih tinggi dibanding Curug Ngebul. Tapi tidak berada di aliran Sungai Cidadap. “Namanya Manglid, sesuai nama kampung tempat curug itu berada. Tingginya sekitar 200 meter,” ungkapnya.
Sebelum kunang-kunang menghibur kami dengan keemasan cahayanya, beberapa monyet ekor panjang (macaca pasciscularis) menarik perhatian kami jelang malam tadi. Mereka melompat dari pohon besar satu ke pohon besar lainnya yang berada di tebing, sebelah kanan Malela.
Selain mereka, masih ada dua primata lainnya yakni owa-owa dan lutung yang nasibnya juga kian terusik oleh keserakahan manusia karena hutannya kian menipis, dirampas penduduk setempat untuk ladang dan rumah.
Atib yang juga biasa disapa Pak Kumis karena memiliki kumis yang cukup lebat, melanjutkan ceritanya. Katanya, nama Malela berasal dari nama tokoh masyarakat setempat, yaitu Prabu Taji Malela. Makamnya berada di puncak tebing sebelah kanan Malela. “Kalau mau ke makam Malela, harus izin ke kuncen-nya, namanya Eman,” terangnya.
Pukul 1, aku baru masuk ke tenda usai puas ngobrol dengan Atib dan juga putra pertamanya serta salah seorang rekannya, ditemani ribuan kunang-kunang.
Keesokan paginya, kami kembali menyaksikan pesona Malela sebenarnya. Debit air tumpahannya tetap tak berubah seperti kemarin, tidak terlalu besar dan warnanya keputihan. Maklum sudah hampir beberapa pekan, kawasan ini tak diguyur hujan.
Melipir Tebing
Tak puas hanya menikmati Malela dari bawah, aku mengajak ke-6 rekanku treking menuju atap Malela. Atib, bersedia memandu kami. Rute awal yang dipilihnya melewati aliran air Malela di sebelah kiri, hampir mendekati tumpahan air Malela. Kami sempat foto bersama di sana, dan Atib yang memotret kami.
Setelah itu kami menapaki medan menanjak berlumpur dan berumput. Kemudian melipir ke kanan memasuki hutan yang tanahnya agak kering. Baru saja mendapat medan ‘bonus’, kemudian medan sulit menghadang di depan kami. Ya medan melipir tebing yang tipis dan tanahnya mudah longsor serta ber-jurang di kanannya.
Dengan ekstra hati-hati, satu per satu kami melewatinya. Marno, rekanku yang bekerja di pengeboran minyak salah satu perusahan minyak swasta ini, sempat meragu. “Bagaimana nanti pulangnya, apa ada jalur lain,” tanyanya. Rupanya tak ada pilihan lain, nanti kami harus kembali melewatinya.
Untunglah kami semua berhasil melewati medan melipir yang rawan longsor itu. Dan kemudian menuruni jembatan kayu sebelum sampai di aliran sungai, tepat di atas Curug Malela.
Dari atap Malela, kami menemukan sudut pemandangan berbeda. Dari kejauhan tenda domme milik Ana yang berwarna merah berlapis flysheet biru jelas terlihat. Aliran dari tumpahan Curug Malela yang melimpah pun jelas terekam hingga jauh.
Puas mengabadikan gambar, kami kembali ke tenda. Dan aku sengaja mengambil alih paling depan. Aku khawatir dengan medan tipis yang tadi kami lewati, mengingat sekarang menuruninya yang jauh lebih sulit lantaran tanahnya labil.
Tanpa sepengetahuan keenam rekanku termasuk Atib, aku mencoba mencari jalan pintas tepat di bawah jalur melipir tipis itu, berharap dapat jalur baru dengan berpegangan akar. Ternyata medannya amat curam dan sulit menemukan akar sebagai pijakan dan pegangan. Akhirnya dengan susah payah, aku kembali ke jalur semula.
Untunglah, semua rekanku kembali berhasil melewati medan tipis yang riskan terjatuh ke jurang itu. Selepas itu kami tiba di jalur rumput berlumpur. Namun kami memilih jalur lain ke kanan, tidak langsung ke curug.
Lestari kembali menggunakan teknik menurun khas gayanya, yakni menggunakan bokongnya. Meski celananya kotor, toh rekanku yang berprofesi dosen di salah satu universitas swasta di Jakarta ini berhasil melewati semua rintangan itu.
“PR” Kebersihan
Curug Malela terletak di Kampung Manglid, Desa Cicadas, Kecamatan Rongga, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Lokasinya dapat dicapai dari Cianjur dengan ojek sepeda atau sekitar tiga jam perjalanan menggunakan mobil dari Kota Cimahi lewat jalur Cililin.
Kendati aksesnya cukup sulit, keindahan Curug Malela menghipnotis banyak orang. Buktinya pemujanya bukan hanya wisatawan lokal dari Bandung dan sekitarnya termasuk dari Jabodetabek, pun dari mancanegara. “Tahun lalu ada tiga orang asing dari Amerika Serikat yang datang ke sini,” jelas Atib.
Letaknya yang cukup jauh dan jalan menuju ke lokasi masih rusak, tidak mengendurkan minat orang untuk menikmati pesona Malela. Namun yang disayangkan, seperti yang sudah dikabarkan oleh beberapa penuls di media online, termasuk para blogger yang pernah ke sini, masalah kebersihan belum juga teratasi.
Sampah plastik bekas kemasan makanan kecil, kantung kresek, dan botol air mineral masih berserakan di jalur menuju Curug Malela bahkan di aliran sungainya. Sampah-sampah tersebut menyangkut di antara bebatuan bertumpuk dengan tumpukan bambu dan kayu. Hmmm.., jadi kurang sedap dipandang mata.
Ketidakjelasan pengurus curug sampai saat ini menjadi salah satu penyebabnya. Hingga kini curug yang menurut Atib dikelola Pemkab dan Perhutani ini belum memiliki harga tanda masuk (HTM). Pengunjung hanya dikenakan biaya parkir motor Rp 2.000 per motor dan uang keamanan sukarela yang tidak ditentukan besarnnya. Dan bukti pembayarannya pun tidak ada. Begitupun biaya bermalam dengan tenda di sekitar curug.
Petugas yang ada dipercayakan kepada penduduk lokal, antara lain Atib dan beberapa rekan lainnya. Mereka juga merangkap pemandu dan petugas keamanan.
Ditambah perilaku pengunjung yang jauh dari ramah lingkungan. Banyak yang seenaknya membuang sampah plastik bekas makanannya di jalur menuju Malela dan di aliran Curug Malela.
Melihat kondisi itu, jelas Pekerjaan Rumah (PR) pengelola Malela soal kebersihan belum terjawab, belum terselesaikan.
Agar keindahan Malela tak terusik oleh sampah lagi, semestinya pengelolanya menyediakan tempat sampah lebih banyak lagi di sekitar curug dan di beberapa titik di sepanjang jalur menuju Malela.
Disamping itu, harus tersedia plang-plang konservasi bertuliskan: “Bawa Kembali Sampah yang Anda Bawa!”, “Buanglah Sampah di Tempatnya!”, dan tulisan-tulisan lain yang mengingatkan pengunjung untuk menjaga kebersihan dan keasrian Malela. Tanpa upaya semua itu, lambat laun, nasib Malela akan kian merana.
Naskah & foto: Adji Tropis IG (@adjitropis
0 komentar:
Posting Komentar