. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Selasa, 08 Mei 2012

Tiga Cinta Antara Lhoknga dan Lamno



Usai rally foto Gayo Cultural Heritage di sejumlah lokasi di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, dilanjutkan dengan mendaki Gunung Seulawah Agam di Kabupaten Aceh Besar serta memahami Rapai, alat musik tabuh tradisional Aceh di Kota Sigli, Kabupaten Pidie. Perjalananku di Tanah Rencong, Aceh berlanjut menyusuri Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar hingga Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Di sepanjang perjalanan itulah hadir tiga cinta yang membuat hidupku kian berwarna.

Bukit-bukit berimba di sebelah kiriku menyapaku sejak di Lhoknga. Kehadirannya begitu memikat. Dan jujur aku terpikat oleh konturnya yang naik turun dan juga kerapatan hutannya yang berselimut aneka pohon berukuran kecil hingga tinggi menjulang. Hijau mendominasi daratannya. Bikin teduh mata, buat tenang hati. Belum lagi hembusan anginnya yang sejuk saat menerpa wajah dan leherku. Aku merasa melayang dalam ruang kedamaian alami.

Bentangan pantai di sebelah kananku pun tak mau kalah. Deretan nyiur dan cemara lautnya serta desiran anginnya memanggil-manggilku. Wujudnya begitu memesona. Dan jujur aku pun terpesona oleh bentuk pantainya yang memanjang dan melengkung, tebing-tebing karangnya, dan pulau-pulau kecilnya. Biru memenuhi perairannya. Bikin jernih mata, buat riuh hati. Belum lagi gemuruh ombaknya yang terdengar di telingaku seperti rangkaian nada penuh gairah pun amarah. Aku merasa terbang dalam ruang keceriaan abadi.

Sementara jalan berliku yang kulalui tak kalah menggodanya. Penampilannya begitu menarik. Dan jujur aku tertarik oleh lekuk badannya yang meliuk-liuk di tepi jurang dan pastinya kemulusannya yang nyaris sempurna. Teguh mencitrakan fisiknya. Bikin lapang mata, buat tenang hati. Aku merasa melesat dalam ruang tak bersekat.

Perbukitan dengan puncak-puncaknya dan bentangan pantai dengan ornamen alamnya adalah cinta pertama yang kurasakan saat melintasi Lhoknga hingga Lamno. Belum termasuk persawahan di beberapa desa yang menghampar bak permadani hijau raksasa, kian memikat mata dan menawan hati.

Jalan aspal yang mulus dilengkapi marka jalan adalah cinta kedua yang kudapatkan sepanjang Lhoknga dan Lamno. Belum termasuk beberapa jembatan baja yang nampak begitu kokoh dan meyakinkan penampilannya.

Dan cinta ketiga yang ku temui sepanjang rute yang pernah porak-poranda diguncang gempa lalu disapu tsunami 2004 lalu itu adalah manusianya. Ya beberapa warga setempat yang kutemui cukup hangat bahkan tulus sesuai karakternya yang jelas berbeda dengan karakter orang Jawa, Bali, dan masyarakat lain.

Ketiga cinta itulah yang membungkusku sepanjang jalan itu. Aku tak bisa menampiknya. Padahal ini bukan kali pertama aku melewatinya. Dulu, pada tahun 2008, aku pernah melintasi jalan ini mulai dari Meulaboh hingga Banda Aceh.

Ketika itu nyaris tak ada satu cintapun yang melekat. Jalannya masih tanah, becek saat hujan, dan berdebu ketika kemarau karena sedang dibuat. Bahkan untuk menyeberang sungai harus naik rakit.

Pesona alamnya pun tak mencuat. Maklum ketika itu, aku melintasinya sore hingga malam. Jadi tak nampak lagi pesona cinta yang ditebarkan oleh perbukitan dan bentangan pantainya. Dan ketika itu pun tak ada satu warga pun yang kutemui. Selepas diterjang tsunami, masih sangat jarang warga yang berani kembali menetap di sepanjang jalan itu hingga seperti kawasan mati tak berpenghuni.

Untuk mendapatkan tiga cinta itu, bukan bukan kebetulan. Keinginan untuk mengabadikan potensi alam dan aktivitas masyarakatnya pascatsunami sudah lama tersimpan. Dan baru tahun ini terwujud.

Saat Yuzar Alamsyah, salah seorang rekanku di Banda Aceh yang gemar memotret, mengajakku menyusuri Lhoknga hingga Lamno untuk mengabadikan kehidupan masyarakatnya dan keindahan alamnya, aku langsung bersedia. Kendati aku harus rela bangun tidur dini hari.

Lepas shalat Subuh, Senin (7/5/2012) aku beranjak dari Lampineung, Banda Aceh berbonceng sepeda motor yang kendarai Irwandi, fotografer yang baru-baru ini menjadi pemenang kedua Lomba Rally Foto Gayo Cultural Heritage yang diadakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh, dan Yuzar serta Mahdi yang mengendarai sepeda motornya masing-masing.

28 Kilometer kemudian, tepat pukul 17.15 kami tiba Gampong (kampung) Layeun, Desa Lhok Seudu, Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar yang menjadi salah satu sentra pembuatan ikan asin. Di sini ada pantai dan beberapa rumah nelayan.

Ketika kami sampai, tidak tampak aktivitas nelayan di sana. “Biasanya ada nelayan yang mendarat usai melaut sambil membawa hasil tangkapannya. Ada juga warga yang sedang menjemur bermacam ikan untuk diasinkan,” kata Yuzar yang sudah beberapakali hunting motret di lokasi ini.

Karena tak ada aktivitas, kami hanya mengabadikan landscape-nya lalu ke warung makan untuk sarapan dengan Nasi Gurih, nasi khas Melayu serupa dengan Nasi Uduk Betawi namun santannya lebih terasa.

Di sanalah aku sempat bertanya dengan Nasrudin (47) pemilik warung yang juga nelayan setempat mengapa tidak ada kegiatan melaut hari itu. “Sekarang lagi angin kencang dan terang bulan, jadi tidak ada nelayan yang berani melaut. Ini biasanya terjadi seminggu dalam sebulan,” jelas ayah 4 anak ini.

Saat cuaca bersahabat, setiap hari Nasrudin berangkat ke laut sore dan kembali mendarat esok pagi. Kalau lagi beruntung dia berhasil membawa hasil tangkapannya seperti gurita, ikan sebelah, ikan tongkol, dan lainnya sampai 100 keranjang. Satu keranjang berisi 25 Kg ikan. Harga jualnya Rp 30.000 per 1 bambu, kalau 1 Kg Rp 100.000.

Dengan perahu yang terbuat dari kayu meranti berkapasitas 8 orang, dia pergi ke laut menuju Palung, yakni perahu bercadik yang di tambatkan di tengah laut, tempat dimana ikan tertangkap. "Sekarang hanya ada 19 palung. Sebelum tsunami ada 80 palung namun hancur terseret tsunami," ungkapnya.

Setiap kali melaut, Nasrudin dan ke-7 rekannya mengeluarkan modal sekurangnya Rp 500.000 untuk bahan bakar, makan, minum dan lainnya. Hasil tangkapannya dibagi hasil dengan pemilik perahu setelah dipotong dengan biaya modal tadi.

Keterbukaan Nasrudin menceritakan kegiatannya makin membuat saya tidak percaya akan anggapan banyak orang bahwa orang Aceh itu selalu menutup diri dan curiga dengan pendatang, terimbas konflik yang terjadi beberapa tahun lalu.

Pantai Saney menjadi lokasi berikutnya yang kami datangi. Pantai di Kecamaan Lhoong, Aceh Besar ini berada agak jauh dari jalan utama. Setibanya di pantai berbatu koral aneka bentuk ini, langit mendung lalu gerimis turun. Untungnya tak lama kemudian, langit kembali cerah.

Yuzar langsung menuju puncak tebing batu karang yang mirip batuan granit di pantai sepi itu untuk mengambil gambar pemandangan. Fotografer satu ini memang menyukai foto landscape terutama pantai. Irwandi justru asyik mencari batuan koral. Aku menyusul yYzar diikuti Mahdi lalu Irwan untuk jeptret sana-sini, termasuk berfoto narsis.

Sewaktu ingin pulang, ada seorang bapak dengan anaknya menikmati pemandangan sekitarnya dari karang itu. Ini membuktikan bahwa masih ada wisatawan lokal yang bertandang ke pantai ini selain para pemancing. Sayangnya sejak diterjang tsunami, hampir tak ada geliat ekonomi di pantai ini. Jangankan warung kecil, rumah penduduk pun tak ada.

Hari semakin siang. Kami bergerak ke Kabupaten Aceh Jaya melewati jalan yang kembali berkelok-kelok di tepi jurang. Biar cuaca terik namun ketika melintasi jalan yang berhutan rindang di kawasan perbukitannya, terasa sejuk.

Cintaku Ternoda
Di salah satu warung di tepi kanan jalan tepat di bawah puncak Gunung Geureute, kami beristirahat. Kami minum air kelapa muda ijo dan keripik pisang yang menjadi favorit santapan pengunjung yang mampir di deretan warung berbentuk rumah panggung dari kayu ini.

Pemandangan di tempat ini luar biasa indah. Dari warung, kami melihat dua pulau kecil bersemayam di perairan berwarna biru kehijauan. “Dulu, kedua pulau itu menyambung, tapi setelah tsunami terpisah seperti yang kita lihat sekarang ini,” kata Yuzar yang diamini Irwandi.

Sayangnya, cintaku di tempat ini ternoda oleh kehadiran aneka sampah di jurang tepat di bawah deretan warung, menyangkut di dasar jurang dan aneka pepohonan. Ada botol dan gelas plastik air mineral, kemasan makanan kecil, kantung kresek plastik, dan sampah lain yang tak sedap dipandang mata.

Begitu pun dengan toilet umumnya, jauh dari kata layak apalagi bersih. Cuma tertutup seng, tidak ada air bersih. Yang ada botol air mineral berserakan dan bau pesing yang bikin pusing.

Beberapa monyet abu-abu berebut mengais sampah di bawah jurang. “Di sini tidak ada tempat sampah. Jadi pengunjung dan pedagang di sini membuang sampahnya ke jurang,” terang Zulkarnaen, pemilik warung yang kami singgahi.

Menurut Zul, begitu panggilan akrab Zulkarnaen kondisi sampah di jurang, sering dikomplain pengunjung. Tapi sampai sekarang tidak ada solusinya. Kata dia, pedagang disini tidak dimintai uang baik untuk keamanan maupun kebersihan. “Sebenarnya kalau dipungut bayaran untuk kebersihan oleh pihak terkait, kami mau saja. Asal ada tempat sampah dan ada yang mengangkut sampah itu," ungkapnya.

Disamping berpanorama indah, di puncak Geureute ini juga ada pemandangan berbeda dengan kehadiran Siamang. Monyet berbulu hitam dan berukuran lebih besar dari monyet abu-abu ini turun dari hutan di gunung ke sekitar warung setiap pagi pukul 9-10, siang pukul 12-1, dan sore pukul 3-5. “Siamang yang biasa ke sini sudah jinak dan terbiasa dengan pengunjung,” jelas Zul yang juga terbuka saat aku wawancarai.

Rasanya kami ingin berlama-lama di tempat ini tapi karena masih ada beberapa obyek lagi, kami lanjutkan perjalanan ke Lamno. Selepas KM 69, sudah tak nampak pantai dan panorama laut dari bukit. Kini pemandangan berganti dengan perbukitan berhutan lebat namun kondisi jalan tetap beraspal mulus. Bahkan ketika memasuki kawasan yang agak rata, badan jalannya semakin lebar sampai memasuki daerah persawahan luas.

Waktu Zuhur sudah masuk. Kami menuju Masjid Baiturrahman Lamno yang berada di Desa Pante Keutapang, Kecamatan Jaya, persis di belakang pasar. Aku sempat mengabadikan masjid berkubah hitam dan memiliki sekitar 20 pilar bercat putih ini sebelum shalat Zuhur.

Usai shalat, Yuzar, Irwandi, dan Mahdi rupanya tak tahan kantuk dan sempat rebahan sejenak. Lalu kami pergi santap siang di rumah makan di dekat pasar, dilanjutkan dengan menyeruput kopi hitam khas Aceh untuk meredakan kantuk.

Di rumah makan itulah kami sempat ngobrol dengan Ita, pemilik rumah makan yang ramah. “Di sini ada Pantai Cermin dan juga Makan Po Teumeureuhom Daya, letaknya sekitar 7 km dari pasar,’ jelasnya.

Berdasarkan informasi tersebut, kami memilih ke makam yang berada di Gampong Gle (bukit) Jong, Kecamatan Jaya. Kebetulan salah seorang pengunjung yang makan siang di rumah makan itu bersedia mengantar kami. Anwar nama anak muda itu yang mengaku aktivis Partai Aceh cabang Lamno.

Akses menuju makam yang berada di bukit itu tidak sulit. Walau agak jauh dari jalan utama, namun sudah ada jalan mulus hingga mendekati pantai. Setibanya bangunan parkir di kaki bukit, kami segera menapaki undakan dengan 2 pos untuk istirahat sebelum sampai di makam. Sesekali aku, Mahdi, dan Irwandi mengambil gambar ke arah pantai.

Di makam, kami bertemu dengan Abidin (65), juru kunci makam. “Makam ini adalah Makam Sulthan Alladin Riayat, raja dari Kerajaan Negeri Daya di Lamno dulu," jelasnya seraya memberikan 2 jilid buku tentang kisah Sultan Alladin dengan kerajaannya yang ditulis oleh Teuku Sayifullah selaku pewaris tahta ke-12 Kerajaan Negeri Daya.

Menurut Abidin, pengunjung yang datang ke makam ini juga dari luar Aceh. ”Pernah ada teuku-teuku dari Bandung yang ke sini. Mungkin juga masih turunan dari raja di sini dulu," jelasnya seraya menambahkan musim ramai peziarah di sini terjadi pada bulan haji.

Kendati tak bisa berbahasa Indonesia, Abidin yang kini hidup sebatang kara, karena ketiga anaknya menjadi korban keganasan tsunami dan istrinya pergi meninggalkannya lalu kawin dengan pria lain, menerima kami dengan ramah dan bersahaja.

Selanjutnya Anwar mengantarkan kami ke salah satu pantai yang dulu terdapat jembatan kokoh yang menjadi satu-satunya jalan menuju Meulaboh. Kini jembatan itu tinggal tersisa 3 pondasinya saja karena dihantam tsunami.

Dari pantai itu, kami kembali ke jalan utama, lalu berpisah dengan Anwar yang membuatku kagum dengan keramahan dan ketulusannya mengantar kami.

Matahari kian condong ke Barat. Kami segera bergegas kembali ke arah pulang. Di tengah perjalanan, Irwandi melihat beberapa petani sedang menggiling padi di pematang sawah yang berada di Gampong Gle Putoh, Kecamatan Jaya.

Di sana kami mengabadikan Muhammad Syufi (57) dan petani lainnya yang sedang menggiling padi usai panen. Ada 5 ibu-ibu dan 4 laki-laki. Mereka mendapat tugas masing-masing. Ada yang mengambil padi lalu memasukkan ke mesin giling. Ada yang bertugas menggiling, membuang ampas, dan mengumpulkan gabah serta ada yang mengangkut gabah yang sudah dimasukkan dalam karung.

“Ini padi jenis ir64. Dari sawah seluas 1,5 hektar dapat menghasilkan 60 sampai 150 karung gabah. Harga jualnya 1 Kg gabah 4.000 rupiah,” kata Syufi ayah beranak 5 ini.

Puas mengabadikan kegiatan Syufi dan teman-temannya, kami lanjutkan perjalanan lalu singgah ke Air Tejun Suhom. Disana aku sempat mandi dan bersih-bersih. Air terjunnya tidak begitu tinggi sekitar 7 meter namun curahan airnya cukup besar dan membentuk kolam alami yang kedalamannya mencapai 3 meter.

Ketiga rekanku, hanya asyik mengambil gambar. Setelah itu kembali ke jalan utama dan bergerak pulang. Waktu Magrib sudah masuk. Yuzar menyarankan berhenti dulu untuk Magriban di sebuah musholah. Selepas itu, Yuzar mendatangi seorang ibu pedagang ikan asin di tepi jalan. Kata ibu itu, harga ikan yang dijual bervariasi. “Ikan sebelah dijual Rp 45.000 sedangkan gurita yang sudah diasinkan antara Rp 50.000 sampai Rp 75.000 tergantung ukurannya,” ujarnya.

Hari kian gelap. Kami lanjutkan perjalanan hingga Banda Aceh. Di Prada, salah satu kawasan kuliner di Banda Aceh, kami santap malam. Aku, Yuzar, dan Irwandi memilih makan Sate Matang dari daging sapi yang berbumbu kacang ditambah sepiring kuah kuning. Sedangkan Mahdi memilih Mie Aceh goreng.

Santap malam itu menutup perjalanan kami yang telah memberiku 3 cinta. Ketiga cinta itu aku simpan hingga kini dengan harapan kelak tak ternoda lagi oleh apapun termasuk sampah di kawasan puncak Geureute.

Di sepanjang jalan, banyak sekali yang dapat kita lakukan. Bagi penghobi fotografi, beragam obyek foto yang menarik untuk diabadikan, mulai dari kegiatan nelayan, petani, pemandangan, dan lainnya. Bagi penyuka kegiatan alam bebas, bisa mendaki gunung dan menjelajahi hutan di sepanjang perbukitannya.

Bahkan kalau mau, bisa bersampan (canoeing) menyusuri sungai yang berair tenang ke pedalaman. Buat yang senang pantai dan laut bisa berwisata bahari. Dan bagi yang senang bersepeda, jalur berkelok-kelok dan naik turun merupakan rute yang menantang dan mengasyikkan.

Aku yakin, apapun pilihan Anda beraktivitas di sepanjang jalur ini, pasti akan menemukan 3 cinta seperti yang aku temukan antara Lhoknga dan Lamno.

Naskah & Foto: Aji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Cat.: Terimakasih buat Yuzar, Irwandi, dan Mahdi yang sudah menemaniku menyusuri Lhoknga-Lamno, hingga ku temukan 3 cinta yang sebenarnya dan apa adanya. Mudah-mudahan ada kesempatan lagi untuk kita menjelajahi Bumi Iskandar Muda agar pesona dan kekhasannnya terpublikasikan lewat foto dan tulisan.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP