Bersahabat dengan Rapai, Perkusi Tradisional Aceh
Di Jakarta, khususnya dalam kesenian masyarakat Betawi ada alat musik tabuh bernama Rebana. Sementara di Aceh ada Rapai. Bentuknya mirip, bundar dan pipih dengan bingkai berbentuk lingkaran dari kayu yang dibubut dengan salah satu sisi untuk ditepuk berlapis kulit kambing atau sapi. Begitupun cara memainkannya yakni ditepuk, dipukul atau ditabuh.
Nasib serupa juga dialami Rapai yang biasa dimainkan untuk mengiringi syeikh (julukan vokalis dalam Rapai) saat bernyanyi dan juga tarian yang disebut Rapai Geleng yang beraroma religi Islami.
Kendati terus digerus musik dari luar, termasuk alat musik modern. Namun anak muda Aceh yang bersahabat dengan alat musik tabuh khasnya ini cukup banyak, di antaranya Muammar yang akrab dipanggil Ammar dan Muajir yang biasa disapa Ajeer.
Di salah satu sudut ruang ruko yang terbengkalai di Terminal Bus Sigli, Ammar (22), anak muda sigli asyik menabuh Rapai-nya. Tiga rekannya memainkan alat musik lainnya masing-masing dengan serius. Mereka kompak mengiringi Raji, koreografer pria ternama di Sigli saat latihan menari tarian kreasi bersama 5 penari perempuan muda.
Ammar, salah satu dari segelincir anak muda yang memilih menggeluti Rapai sebagai penyaluran hobi dan jiwa bermusiknya. Mahasiswa Universitas Jabal Ghafur ini kerap mengiringi rapai geleng maupun para penari tradisional maupun kreasi di sanggar kampusnya.
Begitupun dengan Ajeer (23), aktivis sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Sigli yang mulai bersahabat dengan Rapai sejak 2010. Dia pun kerap tampil mengiringi musik etnik Aceh di ajang lomba musik etnik se-Aceh.
Bagi Ammar dan Ajeer bersahabat dengan Rapai bukan sekadar melampiaskan hasrat berkeseniannya, pun ada nilai idealis di dalamnya yakni menjaga kelestarian budaya Aceh yang bernasib hampir serupa dengan budaya lokal daerah lain yang semakin tergerus oleh budaya modern dari segara arah dan termakan usia.
“Memainkan Rapai itu tak mudah, perlu kesungguhan dan dari hati,” kata Ammar yang diamini Ajeer usai latihan di salah satu ruko di Terminal Bus Kota Sigli, Sabtu 95/5/2012).
Kata Ammar, ada cara lain untuk menarik minat anak muda bersahabat dengan Rapai yakni dengan terus berekpresi mengiringi lagu-lagu baik itu lokal maupun nasional dengan arasnsemen yang menarik dan bernilai jual. “Rapai bisa juga dimainkan untuk lagu-lagu pop religi yang easy listening,” jelanya.
Darimana Rapai berasal? Dalam sebuah catatan kuno, nama Rapai itu diadopsi dari nama Syeik Ripai, yaitu orang pertama yang mengembangkan alat musik perkusi tradisonal ini.
Seperti Rebana, Rapai pun banyak jenisnya. Sekurangnya ada 5 jenis Rapai yakni Rapai Pasee yang berukuran paling besar, disebut juga Rapai Gantung. Lalu Rapai Daboih yang berukuran sedang. Kemudian ada Rapai Geurimpheng, Rapai Pulot, dan terakhir Rapai Anak yang berukuran paling kecil.
Perbedaan masing-masing Rapai dari ukuran dan suaranya. Bahan Rapai terbuat dari Baloh atau kayu nangka. Kulit hewan yang dipakai untuk Rapai biasanya kulit kambing atau ada juga yang memakai kulit Himbe (sebangsa kera). Kalau Rapai yang berukuran besar umumnya menggunakan kulit leumo atau sapi.
Selain di Sigli, ibukota Kabupaten Pidie, anak muda peminat Rapai seperti Ammar dan Ajeer juga tersebar di Banda Aceh dan ibukota kabupetan se-Aceh termasuk di sejumlah kecamatan dan desa.
Bersahabat dengan Rapai bagi mereka menjadi penguat identitas sebagai orang Aceh. Dan kebanggaan ini harus ditanamkan terus ke generasi berikutnya, jika tak mau tergerus oleh budaya urban moderen yang jauh dari nilai-nilai ke-islaman.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: dok. ajeer
0 komentar:
Posting Komentar