. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Jumat, 04 Mei 2012

Sepuluh Jam Membelai Seulawah Agam



Lima kali ke Aceh, baru kali ini kesampaian mendaki Gunung Seulawah Agam. Meski ketinggiannya cuma 1.800 meter di atas permukaan laut (mdpl), namun jalur pendakian ke puncaknya tak bisa dibilang mudah. Ketahanan fisik dan mental diuji saat merayapi punggungan dan medan menanjaknya. Yang sabar dan bermetal kuatlah yang bakal menggapainya.

Alhamdulillah, itulah kata pertama yang keluar dari mulutku ketika sampai di triangulasi puncak Gunung Seulawah Agam setelah 7 jam mendaki dari Kampung Suka Makmur, Desa Suka Damai, Kecamatan Saree, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh.

Senang, bangga, puas, dan lelah bercampur satu saat itu. Meski dari puncaknya tak nampak pemandangan terbuka sebagaimana puncak Gunung Salak di Jawa Barat, bagiku itu bukan soal. Yang terpenting pukul 3 sore, Jum’at (3/5/2012) itu, aku sudah berhasil menginjakkan kaki di puncak Seulawah Agam yang sudah kudamba-damba sejak 5 tahun belakangan.

Empat rekanku dari Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Jabal Everest, Universitas Jabal Ghafur, Sigli yang terdiri atas Diswan, Wardhan, Ismu, dan Rahmad serta Ammar ketua pramuka Jabal Ghafur sudah 5 menit lebih awal tiba di puncak.

“Wardhan cepat kau adzan,” kata Diswan, ketua Jabal Everest yang berambut gondrong sebahu. Wardhan pun segera mengindahkannya. Wardhan yang tak lain sepupu Diswan yang juga berambut sebahu ini segera meloncat ke atap triangulasi yang dibuat oleh seluruh pecinta alam se-Aceh pada 17 Agustus 1995, bertepatan dengan HUT RI ke 50 tahun.

Di atap triangulasi itu, Wardhan berdiri lalu mengumandangkan adzan. Suaranya menggelegar, mampu membuat bulu kudukku berdiri.

Mumpung cahaya masih terang benderang, aku abadikan gambar Diswan, Wardhan, Ismu, dan Rahmad satu per satu di atas dan samping trianggulasi. Ada yang bergaya sambil berdiri, duduk, jongkong, dan tentunya foto bersama. Ini sebagai tanda terimakasihku kepada mereka yang mau menemaniku ke puncak Seulawah Agam.

Wajah senang dan ceria terpancar dari aura mereka. Begitupun aku yang sempat ragu mendaki bersama mereka, mengingat usia mereka rata-rata masih 20 tahunan, yang tertua saja belum genap berusia 23 tahun.

Aku memprediksi fisik seusia mereka sedang prima-primanya, apalagi mereka sudah beberapa kali naik gunung ini.

Berkat pengalaman mendaki sejumlah gunung selama ini, serta semangat yang selalu muda, alhamdulillah aku masih sanggup mengimbangi tenaga dan gejolak jiwa muda mereka hingga puncak dengan membawa ranselku sendiri ditambah kamera DSLR. Tapi harus kuakui, aku sempat tertatih-tatih menjelang puncak.

Keberhasilanku menapakkan kaki di puncak Seulawah Agam, bukan perkara singkat. Pada kunjunganku kedua ke Aceh tahun 2009, aku sudah terpesona dengan gunung berhutan lebat ini saat melintasi Jalan Raya Saree. Baru pada kunjungan kelima tahun 2012 inilah aku kesampaian mendakinya.

Nama besar Seulawah itulah alasan utama mengapa aku begitu menggebu-gembu ingin mendaki gunung aktif satu ini. Padahal masih banyak gunung aktif lain di Aceh yang jauh lebih tinggi dan lebih sulit medan pendakiannya.

Nilai sejarah gunung ini yang membuatku jatuh hati. Namanya dijadikan nama pesawat dakota RI pertama yakni Seulawah RI 001 yang kini terpampang di depan Museum Tsunami, Blang Padang, Banda Aceh, dan replikanya ada di halaman Anjungan Provinsi Nangro Aceh Darusalam, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.

Lepas tugas menjadi juri lomba rally foto bertema Gayo Cultural Heritage yang diselenggarakan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional (BPSNT) Banda Aceh di 2 kabupaten yakni Aceh Tengah dan Bener Meriah, aku segera menghubungi Muhajir (23) yang biasa disapa Ajeer, salah satu dari 8 pendiri Mapala Jabal Everest untuk buat janji ketemu dan mendaki Seulawah Agam. Selama ini aku memang berkomunikasi dengan Ajeer yang kini aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Generasi Bercahaya (Genber) Aceh di Sigli.

Lewatnyalah, aku dipertemukan dengan 4 yuniornya di Mapala tersebut yakni Diswan, Wardhan, Ismu, dan Rahmad serta Ammar yang kemudian menemaniku ke puncak Seulawah Agam. Ajeer sendiri tak bisa ikut karena ada kesibukan di LSM-nya.

Selasa (1/5/2012) pukul 10.30, usai mengantar rekanku ke Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh untuk kembali ke Jakarta, aku menuju pangkalan mobil L300 bersama kepala BPSNT Banda Aceh, Djuniat. Pukul 11 lewat, L300 yang kutumpangi bergerak ke Sigli. Ongkosnya Rp 25.000 setelah ditawar Djuniat.

Aku baru paham kenapa Djuniat menyarankanku naik L300 daripada bus. Ternyata kalau naik bus, lama jalannya karena menunggu penumpang penuh dan larinya pun tak secepat L300.

Mobil L300 yang kutumpangi meluncur cepat di jalan beraspal mulus melewati kaki Seulawah di Kecamatan Saree. Lajunya membuat jantungku berdetak cepat. Jalan ini berada di lembah antara Gunung Seulawah Agam (pria) dengan Seulawah Inong (wanita).

Di Saree, sebelah kiri jalan ada Masjid Jami Saree dan di seberangnya deretan kios pedagang aneka keripik ubi dan kedai kopi yang merangkap rumah makan, pedagang mie Aceh, dan martabak Aceh.

Kehadiran deretan kios pedagang keripik ubi ini menjadikan Saree berbeda sehingga mudah dikenali. Aku jadi ingat cerita Djuniat yang mengatakan aneka keripik ubi itu produksi orang Jawa yang sudah lama bermukim di Saree. Ini membuktikan ada kehidupan harmonis yang terjalin sejak lama di sana antara masyarakat pendatang dan pribumi bahkan sudah terjadi perkawinan campur.

Mereka juga bercocok tanam ubi di lahan dekat kaki Gunung Seulawah. “Justru para pedagang keripiknya di kios-kios tepi jalan, kebanyakan orang Aceh. Sebagian lagi orang Jawa,” kata Djuniat ketika itu.

Sumaryono adalah salah satu petani ubi di kaki Seulawah yang rumahnya menjadi base camp para pendaki sebelum mendaki Gunung Seulawah Agam. Petani asal Magelang ini beristrikan perempuan Aceh dan kini sudah dikaruniai 2 anak.

Selain ubi merah, ungu, dan ubi putih, Sumaryono juga menanam cabe dan sayur mayur lain di lahan kebun dan perkarangan di samping rumahnya.

Di halaman depan rumahnya, pada Kamis malam (2/5/2012) Wardhan dan Ismu mendirikan tenda buat kami beristirahat. Esok paginya, pukul 8 usai sarapan dengan roti coklat dan susu kental putih, kami berenam memulai pendakian menuju puncak Seulawah Agam.

Jalur pertama yang kami lalui setapak di tepi ladang ubi. Lalu selepas ladang ada pertigaan, ambil setapak ke kiri hingga bertemu pertigaan lagi dan kami ambil setapak ke kanan. Tak lama kemudian ada pertigaan, kami melangkah di setapak ke arah kiri memasuki hutan lindung.

Tak lama berjalan di bawah kerindangan pepohonan hutan, kami tiba di Pos Saluran Air Beton. Inilah pos tempat mengambil persediaan air bersih untuk minum dan masak selama pendakian.

Kami istirahat sejenak. Beberapa rekan ada yang buang hajat. Yang lainnya mengisi 3 dirijen putih yang masing-masing berkapasitas 3 liter.

Pos ini juga dinamakan Pintu Rimba. Dinamakan begitu, karena disinilah gerbang awal memasuki rimba belantara Seulawah Agam yang sebenarnya, yang masih rapat oleh bermacam jenis pohon besar seperti beringin dan lainnya.

Selanjutnya jalur pendakian menanjak terus hingga punggungan. Meski diteduhi pepohonan rindang dan udaranya berhawa sejuk, tetap saja keringatku mengucur deras dari kepala, leher, dan seluruh tubuh saat berjuang menapaki medan menanjaknya.

Lebih kurang 1,5 jam berjalan, kami tiba di Pos Pintu Angin yang berada di punggungan. Dinamakan demikian, karena di punggungan berhutan lebat dan agak tertutup itu ada semacam pintu alam terbuka hingga angin mudah menerobos masuk. Dari pintu alam itu terpampang salah satu puncak punggungan Seulawah Agam.

Di pos itu, Rahmad mulai menunjukkan kebolehannya dalam memasak hingga diberi julukan oleh teman-temannya sebagai “Koki Thailand” alias enak tidak enak ya ditelan.

Wardhan dan Ismu membantu Rahmad tapi keduanya boleh dibilang hanya penggembira. Terlebih Ismu yang rajin mengocok perut sehingga dijuluki bangong alias banyak omong.

Diswan hanya memantau kerja ketiga rekannya itu, sementara Ammar yang suka bernyanyi dan pandai memainkan rapai (alat musik tabuh tradisional Aceh yang mirip rebana) sesekali mengibur dengan menyanyikan lagu favoritnya berjudul Do'a Keu Wali milik penyanyi ternama Aceh, Imum Jon yang berirama syahdu dan menyentuh. Sedangkan aku asyik mengabadikan aktivitas mereka semua.

Tak sampai 30 menit, menu masakan si Koki Thailand yang berbadan agak gempal ini rampung semua. Ada nasi putih hangat, mie rebus campur daun bayam, wortel, daun bawang serta tumis ikan asin yang diberi potongan cabe rawit, irisan bawang, dan tomat merah.

Rahmad pun yang membagikan semua menu itu menjadi 6 piring sama rata. Dia begitu enjoy melakukannya. Saat lidahkku mencicipi hasil racikan dasyatnya itu, rasanya... hmmmmm alamak makyosssss. Semua menu buatannya, tak tersisa sedikitpun.

Lepas santap siang, kami bergerak lagi. Jalur yang kami tempuh kembali punggungan menanjak sampai di Pos Beringin Tujuh. Dinamakan begitu, karena dulu di pos ini ada 7 Pohon Beringan berukuran raksasa yang berumur ratusan tahun. Tapi kini tinggal 4 pohon saja, sisanya sudah tumbang dengan sendirinya karena termakan usia.

Tak jauh dari pos ini ada jalur yang disebut areal Halusinasi. Menurut Wardhan yang kebagian tugas mengorientasi medan, di jalur inilah banyak pendaki yang tersesat. “Jalurnya tak begitu kentara karena tertutup semak dan juga daun,” jelasnya.

Kami pun sempat mencari-cari jalur pendakian sebenarnya. Untunglah ketemu dan kemudian menapaki medan terberat di pendakian ini, yakni jalur Tangga Batu. Namun sebelum sampai di medan itu, kami singgal di Pos Batu Gajah. Disebut begitu karena ada sebongkah batu besar yang ditumbuhi pohon dengan akar-akar besar membentuk fisik seekor gajah lengkap dengan belalainya.

Saat menapaki jalur Tangga Batu yang terjal itulah fisikku mulai meredup. Jalanku tertatih-tatih, melangkah satu demi satu, lambat dan penuh perjuangan.

Wardhan yang diawal pendakian sempat kedodoran fisiknya, kini beralih menyemangatiku. “Ayo bang tinggal 10 menit lagi kita sampai puncak,” katanya mencoba menyalakan semangatku.

Semakin mendekati kawasan puncak, vegetasi sekitarnya sudah berganti dengan jenis pepohonan yang lebih pendek dan bebatuan berlumut hijau tebal.

Rumah Pohon
Akhirnya pukul 3 sore waktu setempat. Aku berhasil membelai triangulasi yang tertanam kokoh di puncak Seulawah Agam.

Di dekat triangulasi itu ada sebidang tanah lapang yang mampu menampung tenda dome berkapasitas 6 orang. Di situlah kami mendirikan tenda.

Di depan tenda ada setumpuk batu yang kami jadikan tungku masak sekaligus tempat berapi unggun. Di belakang tumpukan batu ada lubang dengan panjang 1 meter untuk menampung air hujan. Lubang beralas plastik biru itu sudah terisi genangan air yang di dalamnya dihuni belasan anak katak atau kecebong.

Yang berbeda dari puncak gunung lain, di puncak Seulawah Agam ini sejak beberapa bulan lalu ada satu rumah pohon di salah satu pohon di tepi puncak. Rumah pohon yang dibuat oleh Mapala Pandayana, Universitas Abulyatama, Banda Aceh ini menjadi alternatif menginap bagi pendaki yang tidak membawa tenda. Atau tidak mendapat tempat, lantaran terbatasnya tanah lapang di puncak. Selama ini, pilihan lain mendirikan tenda di lembah sebelum mencapai puncak atau setelah puncak saat ramai musim pendakian.

Malam itu, kami memilih mendirikan tenda daripada menginap di rumah pohon. Dengan alasan di rumah pohon angin di puncak akan terasa lebih kencang menerpa dibanding berteduh di dalam tenda.

Kehadiran bulan purnama yang dikelilingi pelangi di lingkarannya, tepat di atas tenda kami, menjadikan malam di puncak Seulawah Agam itu begitu sempurna.

Ismu kemudian membuka hola, makanan kecil berasa gurih yang terbuat dari terigu dan bahan lainnya seharga Rp 15.000 per bungkus yang dimintanya sejak awal pendakian di Saree. Kami pun menyantap panganan ringan itu bersama dalam suka cita, karenanya kami sepakat menamakan pendakian itu dengan sebutan Pendakian Seulawah Agam Hola.

Jika waktu tempuh mendaki ke puncak kami tempuh selama 7 jam. Lain halnya dengan waktu menuruninya. Waktu yang kami tempuh cukup mencengangkan. Tak sampai 3 jam. Jadi total kami membelai Seulawah Agam tak sampai 10 jam. Jalur menurun dengan tanah empuk serta pepohonan yang mudah menjadi pegangan membuat Wardhan, Ammar, dan aku turun dengan langkah cepat bahkan sesekali berlari.

Pukul 13.30 kami sudah sampai di desa terakhir. Setelah bersih-bersih di aliran air depan halaman base camp, kami beranjak pulang dengan mengendari 3 sepeda motor. Di Saree, di kedai kopi merangkap rumah makan, tempat semula kami bersantap kemarin, kembali kami singgahi.

Saat itulah kami makan besar dengan aneka lauk pilihan seperti ikan goreng, telur mata sapi, telur asin, ayam goren, kerupuk kulit, aneka sayur, lalapan daun pepaya serta sambal. Setelah makan, kami tutup dengan menyeruput minum kopi hitam khas kopi Aceh. Selanjutnya kembali ke Sigli.

Sebelum keluar Saree, kami singgah di deretan kios pedagang keripik untuk membeli oleh-oleh keripik ubi khas Saree. Harganya Rp 10.000 per bungkus. Kalau beli 3 bungkus dapat korting jadi Rp 25.000. Aku beli 6 bungkus untuk dibagi-bagi ke Sekretariat Mapala Jabal Everest dan Sekretariat Genber Aceh.

Sewaktu motor yang kami tumpangi melewati batas Saree, kami sempat mengabadikan lembah Seulawah. Dari kejauhan Gunung Seulawah Inong yang berketinggian lebih rendah dari jantannya nampak tersenyum manis. Sementara Seulawah Agam di sisi kanannya yang sore itu puncaknya tertutup kabut, seolah melambaikan tangan, mengucapkan krue semangat (selamat tinggal) dan berharap kami belai lagi dikemudian hari.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

Cat.:
Terimakasih buat: Ajeer, Diswan, Wardhan, Rahmad, Ismu, dan Ammar. Dengan kalian aku merasa seperti anak muda 20-tahunan. Insya Allah tahun depan, kita mendaki gunung-gunung aktif lain di Bumi Iskandar Muda seperti Gunung Burni Telong, Halimun, dan Gunung Leuser dengan puncak tertingginya Puncak Tak Bernama yang menjadi atapnya Aceh.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP