Mengantar Surya ke Peraduan Lampuuk
Suasana yang paling dinanti orang di pantai adalah saat matahari kembali ke peraduan. Sayangnya tak semua pantai memiliki moment fantastis itu. Untungnya Pantai Lampuuk di Kabupaten Aceh Besar termasuk pantai yang bukan saja berpanorama menawan pun tempat sang surya merebahkan seluruh bandannya ke pembaringan terindah di ufuk Barat.
Selasa (8/4/2012) itu langit Banda Aceh begitu cerah, sampai enggan keluar rumah sampai sore. Bukan karena takut panas, kebetulan memang ingin istirahat setelah kemarin, seharian lebih menyusuri obyek-obyek wisata di sepanjang Lhoknga hingga Lamno.
Tapi buat penyuka fotografi, cuaca cerah itu anugerah. Dan sayang kalau terlewatkan tanpa memotret apa-apa. Pemikiran itulah yang membuat Yuzar Alamsyah diperkuat Irwandi, dua rekanku di Banda Aceh yang gemar memotret pemandangan (landscape) dan kehidupan manusia sekitarnya (human interest) memiliki ide ke Lampuuk untuk mengabadikan pesona matahari tenggelamnya yang sudah tersohor di kalangan para pemburu pemandangan cantik.
Ajakan keduanya tak kuasa ku tolak. Bukan semata mau memotret sunset Lampuuk melainkan ingin merasakan perjuangan mengejar fenomena alam memikat itu, mengingat waktunya sangat mepet. Bayangkan, ide Yuzar itu terungkap pukul 5 sore. Sementara letak Lampuuk dari kediamannya di Lampineung, Banda Aceh dekat asrama Haji sekitar 20 Km. Apa mungkin terkejar?
Pertanyaan sekaligus keraguan itu terus menghinggap di benakku sampai di pom bensin di tengah perjalanan menuju Lampuuk. Cahaya matahari saat itu timbul tenggelam, kadang nampak, kadang menghilang terhalang perbukitan. Yuzar dan Irwandi terlihat santai-santai saja, mereka tak memacu sepeda motornya dengan kecepatan tinggi. Aku semakin heran, dan kembali bertanya apa mungkin rona senja itu tergapai.
Tigapuluh menit kemudian, kami tiba di gapura putih bertuliskan selamat datang di kawasan wisata pantai. Tak jauh dari gapura tinggi itu ada dua orang bertugas yang menjaga tiket masuk. Harganya Rp 3.000 per orang. Dari gapura itu, pantai belum nampak. Kami masih harus menyusuri jalan beraspal yang kanan-kirinya lahan hijau penuh pepohonan dan semak belukar.
Tak lama berselang, kami tiba di Pantai Lampuuk. Belum saja parkir motor, beberapa penjaga warung memanggil-manggil kami untuk mampir ke warungnya. Setibanya di tempat parkir yang berpasir lembut, tiba-tiba seorang pria datang menghampiri dan meminta uang parkir sebesar Rp 2.000 per motor.
Sayangnya cara memintanya rada kurang ramah. Ini membuktikan Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola obyek ini belum sepenuhnya memahami satu unsur penting dalam Sapta Pesona yakni keramahan yang menjadi modal dasar dalam pelayanan di bidang pariwisata.
Selain deretan warung yang menyajikan aneka minuman seperi kelapa hijau, jus, dan air mineral serta makanan seperti sea food, nasi goreng, dan tentu saja Mie Aceh, juga terdapat deretan gazebo beratap rumbai untuk duduk-duduk santai menikmati pemandangan sambil makan dan minum.
Arah jarum pendek jam di tangannku menunjuk ke angka 6. Anehnya bulatan matahari senja masih nampak bahkan sejajar dengan puncak perbukitan di sebelah kanannya.
Sinarnya menerangi semua yang ada pantai ini sehingga masih terlihat jelas sekalipun dari kejauhan. Ada bukit yang bertebing karang di ujung Timur yang tebingnya kerap dipanjati para pemanjat tebing, dan di bawahnya ada penginapan berikut café yang kadang diinapi wisatawan Nusantara dan mancanegara.
Pantainya yang berpasir lembut berwarna putih krem, melengkung sepanjang 3 Km, termasuk deretan pohon cemara laut yang merubah wajah Lampuuk setelah diterjang tsunami tahun 2004 lalu. Sebelumnya, pantai ini diteduhi deretan pohon kelapa. Setelah tsunami, daratan di tepi pantainya ditumbuhi cemara laut yang kini mempercantik wajah dan meneduhkan Pantai Lampuuk.
Beberapa pengunjung pun terlihat asyik bercanda dengan deburan ombaknya yang tidak terlalu besar. Sebagian lagi bermain pasir, berlari-larian, berfoto bersama, dan tentunya para pemancing yang terlihat begitu serius menunggu kailnya disambar ikan.
Posisi matahari lama-lama semakin ke bawah mendekati batas laut. Gerakannya lamban sehingga kami punya waktu cukup untuk mengabadikannya. Yuzar memilih tempat memotret di sebelah kiri. Sementara aku di tengah dan irwandi di sebelah kanan.
Pukul 6.45 matahari benar-benar kembali ke peraduannya. Aku tersenyum mengantar kepergiannya. Begitu menawan pesona yang tampilkan. Pantas saja pantai ini menjadi favorit liburan warga Banda Aceh dan sekitarnya, bukan semata letaknya tak terlalu jauh melainkan ada pemandangan yang menakjubkan yakni matahari tenggelam.
Kendati matahari sudah tak nampak, 4 pemancing, di antaranya Said (57) masih asyik dengan kailnya. Mereka lupa kalau senja sudah berakhir. Sejak pukul 5 sore, Said yang tinggal di Lambaro, Banda Aceh mancing di pantai ini sepulang bekerja di pabrik roti.
Sore itu dia mengajak anaknya yang bernama Andiansyah dan dua orang keponakannya yang semuanya sudah dewasa. “Kami keluarga hobi mancing di laut. Hampir setiap hari, kami mancing di sini,” jelas pria campuran Jawa dan Medan namun sudah lama menetap di Banda Aceh.
Selama 1 jam sudah ada 10 belasan ekor ikan yang diperoleh mereka. Terakhir ikan Rambe yang mirip ikan Bawal berukuran cukup besar yang didapat Said. “Ikan-ikan ini buat dimakan, bukan untuk dijual. Kami mancing di sini sekalian refreshing karena pemandangannya juga sangat indah,” ungkapnya.
Masjid Raya Lhampuuk
Usai mengantar surya ke pembaringannya, kami bergegas ke Masjid Rahmatullah atau lebih dikenal dengan nama Masjad Raya Lampuuk. Masjid berkubah hitam ini menjadi saksi bisu kedasyatan tsunami ketika itu. Masjid berdinding cat putih yang berada 400 meter dari pantai ini menjadi satu-satunya bangunan yang bertahan dari terjangan tsunami. Sementara ratusan rumah penduduk di sekitarnya, rata dengan tanah.
Kini, di dalam masjid ini ada beberapa potongan pilar dan dinding sisa reruntuhan akibat diterjang tsunami yang sengaja disimpan dalam ruang berkaca lengkap dengan beberapa lembar foto yang menggambarkan keperkasaan masjid ini.
Kami sempat melihat foto-foto tersebut usai Magriban. Tiba-tiba hadir rasa haru, seram, dan bangga dengan ketangguhan masjid ini. Aku yakin ada kekuatan Maha Besar yang menjaga masjid ini dari guncangan gempa dan amukan tsunami dasyat ketika itu. Dan itu kian membuka mata hatiku untuk senantiasa bersyukur dan berada di jalanNya.
Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar