Nge-SAR antara Ta’awun dan Gengsi
Pencarian seluruh korban pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak berikut pengevakuasiannya sepekan lebih ini nyaris jadi perhatian masyarakat Indonesia bahkan dunia, mengingat pemberitaannya tersebar luas di sejumlah media secara terus-menerus bahkan terkesan berlebihan. Kinerja tim SAR yang terdiri dari masyarakat lokal, pecinta alam, Basarnas, TNI, Polri, dan lainnya pun terekspose. Aksi kemanusiaan yang semula didasari Ta’awun (tolong-menolong), diwarnai pula unsur adu gengsi.
Anggapan adanya adu gengsi itu bisa jadi karena kegiatan nge-SAR kali ini boleh dibilang kegiatan pencarian korban manusia terbesar di Gunung Salak, Bogor, Jawa Barat selama ini, yang diliput sejumlah media secara besar-besaran.
Puluhan manusia yang menjadi korban bukan karena tersesat dan kekurangan logistik saat mendaki gunung, melainkan penumpang pesawat yang menabrak tebing gunung tersebut hingga hancur berkeping-keping.
Berita peristiwa memilukan itu oleh sejumlah media dinilai lebih komersil dan lebih sexy dibanding misalnya karena bis jatuh ke jurang atau tabrakan. Terlebih pesawat yang naas itu buatan Rusia, eks negara adi daya.
Nilai komersil dan sexy itulah yang dimanfaatkan sejumlah pihak untuk menunjukkan keikutsertaannya dalam pencarian korban jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak baru-baru ini.
Seolah gengsi ikut terangkat jika terlibat di dalamnya. Apalagi bisa menjadi pihak pertama yang berhasil menemukan titik dimana lokasi pesawat tersebut jatuh, atau menjadi pihak pertama yang berhasil menemukan mayat yang menjadi korban pesawat itu sekalipun itu hanya potongan anggota badannya. Terlebih menjadi pihak pertama yang berhasil menemukan Black Box berisi rekaman suara percakapan terakhir antara pilot dengan petugas di bandara terdekat, yang biasa digunakan untuk menyelidiki penyebab jatuhnya pesawat tersebut.
Nge-SAR seolah menjadi ajang pembuktian dan eksistensi diri. Pasalnya, siapa saja pihak yang pertama menemukan semua itu jelas tersiarkan oleh sejumlah media yang meliputnya. Dengan begitu pamor pun terangkat dan gengsi ikut naik.
Terlepas dari penilaian adanya unsur adu gengsi itu, yang pasti kehadiran mereka yang berpartisipasi melakukan pencarian korban jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 di Gunung Salak ini, patut diberi acungan jempol.
Niat mereka untuk Ta’awun itu saja sudah baik. Apalagi benar-benar mereka buktikan di lapangan. Ini membuktikan bahwa jiwa mereka tidak mati, selalu tersentuh oleh peristiwa kemanusian yang menyayat hati lalu tergerak melakukan sesuatu, semampu mereka.
Bayangkan, di saat orang-orang asyik uncang-uncang kaki di depan TV nonton acara kesayangan seperti Opera Van Java, Indonesian Idol Spektaculer Show, pertandingan sepak bola atau pemberitaan terkait jatuhnya pesawat Shukhoi Superjet 100 di Gunung Salak ini, sambil ngemil dan ngopi, mereka yang nge-SAR rela berdingin-dingin oleh halimun Gunung Salak yang kerap menyelinap, berbecek-becek dan berlumpur-lumpur melewati medannya, dan bersusah-payah menuruni jurang kemudian mengangkat mayat korban.
Semua yang mereka lakukan itu jelas butuh pengorbanan, keikhlasan, pengetahuan managemen SAR, perlengkapan yang memadai sesuai kondisi alam, dan tentu saja butuh fisik-mental, pengalaman serta skill. Tanpa semua itu, cuma buang waktu dan sia-sia upayanya.
Sayangnya, masih ada segelincir orang yang belum memahami itu. Kehadirannya di lokasi malapetaka itu justru tak lebih dari penggembira SAR saja. Ada kesan asal bisa masuk TV dan dimuat koran, asal bisa foto-foto lalu narsis di jejaring sosial, dan asal bangga dibilang sudah ikutan nge-SAR. Padahal keberadaannya hanya merepotkan kinerja Tim SAR sebenarnya.
Mengapa penilaian ini bisa muncul? Beberapa hari lalu, saya mendapat BBM tentang adanya 7 photojournalist atau pewarta foto kehabisan logistik 7 jam perjalanan dari Pos Embrio Pasir Pogor, Cijeruk, Bogor ke Gunung Salak. Tak lama kemudian ada pemberitaan 2 wartawan tersesat saat meliput kegiatan SAR pencarian pesawat Sukhoi dan penumpangnya di lembah Gunung Salak.
Menyusul kabar 6 wartawan lagi dari berbagai media tersesat sejak Kamis siang 10 Mei 2012. Mereka berangkat dari Cigombong ke Gunung Salak, Bogor, bersama dengan tim dari Jakarta Rescue. Bahkan 2 wartawan Rusia dikabarkan dievakuasi dari Gunung Salak dengan menggunakan helikopter pada 14 Mei 2012, lantaran fisiknya tidak kuat naik ke gunung itu.
Benar tidaknya semua kabar itu, yang jelas itu membuktikan masih banyak orang yang tidak memahami nge-SAR itu apa. Mereka tidak bisa membedakan mana bertugas meliput kecelakaan di kota dan di desa dengan di gunung. Dan mereka tidak bisa membedakan mana mendaki gunung dan mana nge-SAR.
Beban Nge-SAR di Gunung
Nge-SAR di gunung jelas butuh semua sarat seperti tersebut di atas. Tak cukup niat baik. Tak sekadar bisa sampai lokasi karena punya duit, kesempatan, dan peluang.
Nge-SAR di gunung itu memikul dua beban. Pertama, beban diri sendiri. Pelakunya harus mampu menanggulangi kesulitan sendiri melewati medan dan cuaca yang tak biasa. Kalau tidak mampu, bagaimana dia bisa mencari benda atau orang yang dicarinya. Karena itu dibutuhkan fisik-mental dan perlengkapan perjalanan termasuk logistik yang jauh lebih komplit dari sekadar naik gunung.
Kalau tak mampu membawa barang sendiri, terlebih fotografer dan kamerawan yang sudah diberatkan dengan peralatannya itu, sebaiknya mengunakan jasa porter lokal untuk membawa perlengkapan perjalanan dan logistik selama pencarian dan peliputan.
Kedua, beban menemukan lokasi, benda, dan orang yang dicarinya. Karena itulah butuh pengetahuan managemen SAR yang baik, termasuk di dalamnya koordinasi, pembagian tugas, dan kekompakan serta perlengkapn SAR yang sesuai situasi dan kondisi alamnya.
Biar efisien waktu dan tenaga, patuhi perintah pimpinan SAR. Ketahui lebih dulu letak titik lokasi SAR dan pahami karateristik cuaca serta kondisi alamnya.
Jika kedua beban itu tak sanggup dipenuhi, sebaiknya jangan ikut nge-SAR. Jika tetap melakukannya karena gengsi, hasilnya pasti lagi-lagi mengkambinghitamkan cuaca seperti yang kerap terdengar saat nge-SAR. Cuacanya tidak bersahabat, kabut tebal, hujan badai, dan dingin ekstrim, sehingga Tim SAR kesulitan dan menghentikan pencarian. Begitu bunyi seribu alasannya.
Padahal bisa jadi itu cuma pengalihan dari ketidakmampuan lantaran ketidaksiapan fisik-mental, keterbatasan perlengkapan dan pengalaman, serta minimnya pengetahuan managemen SAR itu sendiri.
Namanya di gunung, jelas cuacanya tidak menentu dan pastinya selalu berkabut tebal. Terlebih Gunung Salak yang memang memiliki karakteristik cuaca tersendiri dengan intensitas curah hujan cukup tinggi dibanding gunung lain.
Oleh karenanya, jangan main-main kalau mau nge-SAR di gunung! Jangan sekali-kali menganggap remeh, apalagi cuma gaya-gayaan! Dan jangan samakan nge-SAR dengan mendaki gunung apalagi sekadar tuntutan tugas kerja. Nanti bukannya nge-SAR malah justru di-SAR dan dievakuasi.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar