. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Selasa, 22 Mei 2012

Memahami Keistimewaan dan Kelemahan Pariwisata Aceh



Setiap daerah punya keistimewaan tersendiri baik itu alamnya, manusianya (budayanya), dan peristiwa yang pernah terjadi, yang menarik perhatian banyak orang hingga dikunjungi dan dinikmati. Aceh misalnya, dari statusnya saja provinsi paling ujung Barat Pulau Sumatera ini sudah istimewa. Begitupun dengan ketiga unsur tersebut. Tapi kenapa pariwisatanya seakan jalan di tempat? Padahal beberapa obyeknya dulu pernah berjaya.

Keistmewaan Aceh bukan sekadar pengakuan atas statusnya sebagai Daerah Istimewa Aceh berdasarkan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pun masih banyak hal lain yang membuatnya patut menyandang predikat istimewa dalam artian yang sesungguhnya.

Pengakuan keistimewaan Daerah Istimewa Aceh berbeda dengan pengakuan keistimewaan Yogyakarta (hingga kini) dan juga Surakarta (dulu).

Keistimewaan Aceh itu didasarkan pada perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia yang menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus. Ini terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakatnya yang berdaya juang tinggi, bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam hingga melahirkan budaya Islam yang kuat, dan itu menjadi salah satu modal perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sedangkan keistimewaan Yogyakarta dan Surakarta didasarkan pada hak asal-usul kedua wilayah sebagai penerus Kerajaan Mataram dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional. Sekaligus sebagai balas jasa Presiden Soekarno atas pengakuan raja-raja tersebut yang menyatakan wilayah mereka adalah bagian dari Republik Indonesia.

UU No. 44 tahun 1999 mengenai keistimewaan Aceh inilah yang menjadi dasar awal penerapan Syariat Islam di Aceh setelah terkubur puluhan tahun. Dalam undang-undang ini ditegaskan pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupan sosial masyarakat secara kaffah (menyeluruh). Pemberlakukan hukum syariat dalam seluruh dimensi kehidupan sosial kemasyarakatan Aceh, menjadi keistimewaan Aceh lainnya.

Hukum syariat itu tentunya hukum yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, baik yang diambil dari pendapat dan penafsiran ulama Islam terdahulu, ulama Islam kontemporer maupun legal reasoning atau hasil ijtihad ulama Aceh yang ada saat ini, yang dilandasi pada konteks budaya dan masyarakat lokal Aceh.

Dengan keistimewaan itu, Aceh diberi kewenangan menyelenggarakan berbagai bidang kehidupan mulai dari kehidupan beragama, adat, pendidikan, dan peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.

Penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi pemeluknya dalam bermasyarakat, dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama. Di samping itu Aceh dapat membentuk lembaga agama dan mengakui lembaga agama yang sudah ada dengan sebutan sesuai dengan kedudukannya masing-masing dan tidak merupakan bagian perangkat Daerah.

Penyelenggaraan kehidupan adat di Aceh diterapkan dengan diperbolehkan membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Kelurahan/Desa, Kampung atau Gampong.

Penyelenggaraan pendidikan di Aceh diwujudkan dengan diizinkan dalam mengembangkan dan mengatur berbagai jenis, jalur, dan jenjang pendidikan serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan Syariat Islam.

Sedangkan penyelenggaraan dalam penetapan kebijakan daerah di Aceh diterapkan dengan membentuk sebuah badan yang anggotanya terdiri atas para ulama yang bersifat independen yang berfungsi memberikan pertimbangan terhadap kebijakan Daerah, termasuk bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

Dari letak geografisnya, Aceh pun sudah istimewa. Lihat saja, Tanah Rencong ini berposisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan dan kebudayaan yang menghubungkan belahan dunia Timur dan Barat.

Berdasarkan data Bappeda Provinsi NAD tahun 2007 dan BPS, 2009, provinsi seluas 58.375,63 km2 ini memiliki 119 pulau besar dan kecil, 35 gunung, 73 sungai besar, dan 2 buah danau. Secara administratif terbagi ke dalam 18 Kabupaten dan 5 Kota, 276 kecamatan, 731 mukim, dan 6.424 desa.

Potensi pariwisata alamnya luar biasa. Selama ini terfokus ke Sabang, dulu Gunung Leuser pun sempat berjaya, diminati pendaki asing sebelum konflik terjadi. Padahal ada ratusan obyek yang menawan dan relatif masih alami.

Contohnya Kepulauan Banyak di Kabupten Singkil, merupakan kumpulan pulau yang terdiri dari 99 Pulau besar dan kecil, ombaknya tenang, pulau-pulaunya indah dengan daya tarik taman laut dan berbagai jenis ikan hias. Di Pulau Bangkaru misalnya, kita dapat melihat kura-kura raksasa yang muncul di pantai setiap bulan Januari dan Februari dan kura-kura hijau-nya selalu ada sepanjang tahun.

Budayanya pun beragam dan khas. Selama ini orang hanya mengenal Tari Saman yang sudah mendunia dan diakui sebagai warisan dunia tak benda oleh UNESCO. Padahal masih banyak lagi budaya dan nilai tradisional yang masih hidup dan berkembang di sejumlah daerahnya. Misalnya Didong, Rapai, dan lainnya.

Kulinernya juga beraneka dengan citra rasa spesial. Yang sudah tersohor dan menasional sebut saja Mie Aceh dan tentu saja Kopi Arabika Gayo-nya yang tersebar di ratusan kedai kopi di seluruh Aceh. Masih banyak lagi jenis makanannya yang mampu menarik para pemburu kuliner untuk bertandang dan mencicipinya, sebut saja Martabak Aceh, Ayam Tangkap, dan kini ada Ayam Lepas, serta sejumlah panganan seperti dodol, kue kacang ijo Sabang, keripik Saree, dan lainnya.

Lalu apakah penerapan Syariat Islam di Tanah Rencong juga menyentuh ranah pariwisata? Sebenarnya penerapan Syariat Islam ini justru menjadi ciri khas pariwisata Aceh yang membedakannya dengan daerah lain di Indonesia.

Penerapan Syariat Islam yang baik diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang bersih, indah, aman, nyaman, ramah, tertib, dan mengesankan yang jelas erat kaitannya dengan Sapta Pesona. Dan sudah terbukti selama ini penerapan Syariat Islam di Provinsi Aceh tidak mengurangi kunjungan wisatawan ke Aceh. Jumlah kunjungan wisatawan ke Aceh justru mengalami peningkatan 15 persen dari 2010 ke 2011 yaitu 142.370 menjadi 163.703 orang. Yang menarik, dari peningkatan tersebut, kunjungan wisman malah meningkat tiga persen.

Ironis
Tapi apa yang terjadi? Justru masih banyak orang Aceh sendiri yang menilai penerapan Syariat Islam itu menghambat pengembangan pariwisata Aceh. Bahkan ada yang lebih sinis lagi menuding pengembangan pariwisata di Aceh bertentangan dengan syariat Islam maupun adat tradisi yang berlaku di Aceh. Simple-nya, ada yang menilai pariwisata itu identik dengan maksiat.

Masih banyak orang Aceh yang juga acuh tak acuh dengan pengembangan pariwisata. Dan mereka menuding pemda/pemkotnya juga tidak becus dalam upaya pengembangan sektor ini. Tuding-menuding ini kerap terdengar dalam perbincangan kedai-kedai kopi, antarmahasiswa, komunitas, dan sejumlah pegawai negeri sipil dari kementerian lain.

Sikap acuh tak acuh dan terlanjur menilai negatif terhadap pengembangan pariwisata, menjadi salah satu kelemahan sektor pariwisata Aceh.

Kelemahan lain, ternyata penerapan Syariat Islam belum diindahkan sepenuh hati. Contohnya, mulai dari hal yang kecil yakni menjaga kebersihan yang rupanya menjadi sesuatu yang amat sulit. Buktinya, sejumlah obyek wisatanya penuh dengan sampah dan coretan kata-kata tidak pantas.

Kalau Anda tak percaya, datang saja ke arena Pacu Kude di Takengon, Aceh Tengah. Padahal tempatnya indah di dataran tinggi yang dikelilingi perbukitan berhawa sejuk, namun sampah plastik kemasan, air mineral dan lainnya berserakan di lapangan rumput bahkan sampai di lintasan pacu.

Kalau belum yakin datang juga ke Puncak Geurutee, Aceh Jaya. Di sana pedagang dan pengunjungnya membuang sampah di jurang seenaknya. Tumpukan sampah yang menyangkut di dasar pohon dan jurang menjadi tempat mencari makan buat primata setempat. Sungguh tak sedap dipandang mata, padahal pemandangannya luar biasa indah.

Belum lagi di salah satu pantai di Kota Sigli, Kabupaten Pidie, sampahnya berserakan di bentangan pantainya yang landai dan panjang. Padahal tak jauh dari situ ada kantor bupati. Kondisi tak terawat juga terlihat di situs Pinto Khop Putroe Phang dan Makam Syiah Kuala.

Kalau Syariat Islam diterapkan dengan baik, rasanya tak mungkin ada sampah sedikitpun, terlebih di obyek-obyek wisatanya. Semestinya mereka sudah paham, kebersihan itu sebagian dari iman.

Pun soal keramahan. Perkara ini memang rada sensitif. Tapi harus diungkapkan agar kelak ada perubahan signifikan. Sudah bukan rahasia lagi, sifat melayani (service) yang menjadi modal dalam dunia pariwisata ternyata belum sepenuhnya dipahami masyarakat Aceh. Jangankan masyarakat awam, Sumber Daya Manusia (SDM)-nya yang berkecimpung dalam pariwisata seperti di kedai kopi, hotel, dan lainnya masih setengah hati dalam melayani tamu (wisatawan).

Melayani pengunjung dengan baik sehingga mereka kerasan dan mau datang lagi, betulkah bukan karakter orang Aceh? Penilaian ini pernah penulis dengar bukan cuma dari pendatang yang pernah bekerja atau menetap di Aceh, pun dari beberapa pengunjung termasuk dari beberapa orang Aceh sendiri (sekalipun tidak semua orang Aceh begitu, namun citra itu terlanjur melekat).

Kelemahan lain, peran polisi syariat yang disebut Wilayatul Hisbah atau biasa disingkat WH terlihat cuma menonjol saat menjelang Bulan Ramadhan saja. Dan kinerja mereka pun hanya pada jam kerja saja mulai dari pagi sampai sore.

Alhasil, mereka tidak mencium bahwa ada aroma prostisuti terselubung di salah satu sudut keramaian di daerah Peunayong, Banda Aceh. Dan ironisnya lokasinya tidak jauh dari Kantor Pusat Wilayatul Hisbah. Kehadiran prostitusi samar-samar ini jelas bertolak belakang dengan predikat Banda Aceh sebagai Serambi Mekkah dan Kota Wisata Berbasis Syariat Islam.

Dari sejumlah kelemahan yang ada, peluang Aceh menjadi primadona pariwisata Indonesia sekaligus daerah kunjungan wisata yang diminati warga dunia, amatlah besar. Faktor keistimewaannya begitu kuat. Termasuk peristiwa besar yang menderanya yakni konflik berkepanjangan dulu dan tsunami 2004 silam.

Dua peristiwa itu pun menjadi keistimewaan lain Aceh. Buktinya banyak orang tertarik menikmati wisata gerilya GAM yang sempat dikembangkan seorang Belanda yang kini menetap di Aceh dan beristrikan perempuan Aceh. Bukti lain, obyek-obyek tsunami yang ada di Banda Aceh, seperti Kapal Apung, Kapal di Atas Rumah, Museum Tsunami, dan keperkasaan sejumlah masjidnya dari gelombang dasyat itu amat diminati turis lokal, Nusantara maupun mancanegara.

Namun untuk mewujudkan mimpi besar itu, pemerintah dan masyarakat di Bumi Sultan Iskandar Muda ini kudu berpartisipasi lebih gigih dalam memajukan pembangunan pariwisatanya. Masyarakat Aceh harus kompak terlibat aktif menerapkan Sapta Pesona. Lalu diiringi dengan semangat dalam mempromosikan keistimewaan pariwisatanya ke khalayak, minimal merekomendasikan wisata di daerahnya kepada sanak keluarganya di luar Aceh, kolega, maupun teman-temannya.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP