Tips Membeli Tanah untuk Investasi Pariwisata di Raja Ampat
Mau berinvestasi membuat resort, hotel berbintang, penginapan kelas melati, restoran dan lainnya di Raja Ampat? Tenang saja masih terbuka luas. Tapi sebaiknya sebelum berinvestasi pariwisata di salah satu kabupaten di Papua Barat yang memiliki sekitar 200 dive spot ini, sebaiknya teliti dulu saat membeli tanah atau menyewa lahan di sana. Biar soal urusan kepemilikan maupun penyewaan lahan berjalan mulus, ikuti panduan berikut.
Tanah di Raja Ampat yang bisa dibeli itu, lanjut Yusdi ada di Pulau Waisai yang menjadi mainland-nya Raja Ampat. Sementara di pulau-pulaunya tidak dapat dibeli melainkan disewakan.
Sebelum membeli, pertama calon investor sebaiknya bertemu dengan pemilik tanah yang sebenarnya bukan makelar, perantara, dan semacamnya.
Kedua, datangi pula pemerintahan setempat mulai dari RT, RW Kepala Desa termasuk Kepala Adat setempat. Untuk menanyakan apakah tanah yang ingin dibeli itu milik perseorangan, keluarga atau marga.
Ketiga, kalau pemiliknya marga tanya marga apa dan berapa anggota keluarga yang memiliki tanah tersebut.
Keempat, kalau pemiliknya marga atau sejumlah keluarga, sebaiknya temui semua anggotanya dan ada persetujuan semua di atas kertas bahwa akan menjual tanah tersebut berikut saksi agar kelak tidak ada anggota keluarga yang komplain.
Kelima, kalau pemiliknya tunggal, langsung negosiasi dengan si pemilik namun tetap disertai saksi.
Keenam, menyewa lahan di pulau hanya berdurasi maksial 30 tahun, dan setiap 5 tahun ada peninjauan kontrak. “Harga sewa 1 tahun sekitar 40 juta untuk satu kawasan resort,” jelas Yusdi.
Sistem sewa lahan, lanjut Yusdi ada untung ruginya. Untungnya bagi pemiliknya, pulau tetap menjadi milik masyarakat dan tenaga kerja lokal masuk. Kerugiannya karena disewa oleh investor selama 30 tahun, biasanya ada pejanajian semua kawasan yang disewa tidak boleh digunakan oleh mayarakat dengan kata lain penduduk tidak boleh sembarang masuk. Seolah-olah seperti di blok. “Memang wajar mereka menyewa lahan tersebut untuk menjaga privacy tamu,” kata Yusdi.
Kalau sewa lahan ini, lanjut Yusdi jarang terjadi sengketa. Cuma kerap terjadi keluhan. Terutama di kawasan perairan yang biasa digunakan memancing oleh warga. Karena dalam kontrak perjanjian investor mensyaratkan semua lahan yang disewanya termasuk perairan yang ada didepan lahannya tidak boleh digunakan. Namun masyarakat karena sudah dari dulu memancing di tempat itu tak mengubrisnya.
“Keluhan pun terjadi, baik dari masyarakat maupun penyewa seperti baru-baru ini terjadi. Untungnya berakhir dengan kesepakatan. Ikan-ikan yang didapat warga dipasok untuk restoran resort yang berada di teluk tersebut,” terang Yusdi.
Sampai saat ini di Raja Ampat baru ada 7 resort, dua milik orang Indonesia, dan 5 resort milik asing yakni orang Belanda, Inggis, Honggaria, dan Swiss. “Kalau lifeboard atau kapal wisata ada 40, lebih kurang 30 % milik asing terutama Amerika Serikat,” ungkap Yusdi seraya menegaskan bahwa investasi akomodasi di Raja Ampat masih sangat terbuka lebar.
Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: dok. Ist.
0 komentar:
Posting Komentar