Curug Sanghyang Taraje Pesona Lain Garut
Sampai kini Gunung Papandayan masih menjadi jualan utama wisata alam Garut, Jawa Barat. Sementara dodol jadi andalan panganan khasnya. Padahal masih ada sederet wisata alam yang tak kalah menawan seperti sejumlah gunung, air terjun, kolam air panas, pantai, panorama teras-teras sawah, dan kehidupan masyarakat Sunda pedesaan serta sejumlah kuliner tradisional lainnya.
Akhir Januari lalu saya meng-eksplore pesona lain Garut, baik alamnya maupun kulinernya. Dan ternyata Garut bukan melulu Gunung Papandayan (2.665 meter dpl) dan dodol sebagai primadonanya.
Sebenarnya saya ingin ikut pendakian itu sekalian mencari obyek wisata lain di Garut. Namun ketika seorang rekan, Indra mengatakan ingin ke air terjun (curug) di Garut yang masih jarang dikunjungi wisatawan karena letaknya cukup jauh dan terisolir. darah petualangan saya bergejolak. Tak banyak pikir panjang lagi, saya putuskan untuk ke curug bernama Sanghyang Taraje itu, baru kemudian ke Gunung Papandayan.
Dari Jakarta, saya berangkat sendiri pada tengah malam. Ongkos ke Garut dengan bis AC Rp 35.000 per orang, baik dari Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur maupun dari Terminal Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Pukul 4 saya tiba di Terminal Guntur, Garut. Saya menunggu Indra yang berangkat dengan truk sayur dari Bekasi di masjid, seberang terminal. Sempat subuhan lalu sarapan di warung kecil depan masjid dengan teh manis hangat, lontong isi oncom, dan gorengan tempe. Jam 7 pagi setelah Indra tiba, kami langsung naik angkot jurusan Bungbulang, Pakenjeng.
Berdasarkan data yang kami peroleh, Curug Sanghyang Taraje terletak di Pakenjeng, Desa Kombongan, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Garut. Berada di ketinggian 460 meter di atas permukaan laut (dpl).
Mobil L-300 yang kami tumpangi berhenti di Pakenjeng. Sopir istirahat sambil minum kopi di salah satu deretan kedai di tepi jalan. Saat itulah, kami mendengar cerita kurang sedap dari salah seorang anak muda setempat, sebut saja namanya Asep. Katanya curug tersebut masih rawan, jarang orang yang datang ke sana dan tak ada yang berani inap atau camping.
Saya berusaha menjadi pendengar yang baik. Padahal dalam hati saya menyayangkan prilaku anak muda itu. Bukan justru memberi informasi yang baik dan menarik agar orang berdatangan ke curug tersebut tapi justru menakut-nakuti.
Saat itulah saya menghubungi Dedi, teman Indra yang berjanji akan memandu kami ke curug tersebut. Dedi, pemuda asli Cisurupan yang bekerja sebagai pemandu obyek wisata di Garut dan sekitarnya bersedia menemui kami di pertigaan menuju curug.
Sewaktu mobil kami berhenti di pertigaan itu. Dedi dan rekannya Ramdan sudah ada di belakang kami dengan motor bebek masing-masing. Usai membayar ongkos mobil Rp 10.000 per orang, kami berempat langsung menuju curug dengan 2 motor.
Ternyata dari pertigaan tersebut, menuju curug masih lumayan jauh. Jalan yang kami lewati mulai jalan beraspal mulus sampai berbatu. Beberapa ratus meter dari curug jalanan semakin menyeramkan menanjak dengan jurang dalam di sebelah kanan. Sampai akhirnya kami tiba di pos jaga yang kosong.
“Terakhir saya kemari, motor tidak bisa sampai pos karena jalannya belum beraspal dan sangat sempit. Jadi harus jalan kaki,” jelasnya. Tapi kini motor sudah bisa sampai pos yang dimaksud Dedi meski harus ekstra hati-hati karena kanan jalan jurang mengaga. Kami parkir motor di dekat pos itu. Dan mulai menuruni jalan setap menuju curug.
Baru 50 meter menuruni setapak, Curug Sanghyang Taraje yang kami cari itu sudah nampak dari kejauhan. Letaknya di lembah yang masih rimbun hutannya. Masih begitu asri. Indra dan Ramdan terus saja turun. Saya ditemani Dedi berhenti sejenak untuk mengabadikan pesona panorama curug tersebut.
Di areal datar dekat curug setinggi sekitar 80 meter ini, ada selokan irigasi yang airnya bersumber dari curahan curug tersebut. Alirannya menuju persawahan yang ada jauh di bawah curug. Di tempat itu kami bertemu dengan 4 orang pengunjung.
Gerimis menyambut kami setibanya di kaki curug tersebut. Angin yang cukup kencang membawa buih-buih air terjun hingga puluhan meter. Kami yang berencana mandi, jadi urung karena sudah terlanjur basah oleh terpaan buih-buihnya dan kedinginan. Khawatir hujan deras, saya mengabadikan air terjun tersebut meski gerimis.
Puas menikmati pesonanya kami beranjak ke atas dan kembali melewati jalan setapak, kemudian dengan motor kembali melewati jalan semula menuju pertigaan.
Setibanya di pertigaan, kami berhenti di warung makan milik Bu Rohana yang menjual aneka pepes. Ada pepes ikan emas, ikan peda, ayam, lele, dan lainnya. Saya memilih makan dengan menu pepes ikan mas.
Alamak, pepes ikan mas yang saya santap begitu nikmat. Bukan karena saya sedang lapar tapi memang rasanya mantap. Bumbunya begitu terasa. Belum pernah saya nikmati pepes ikan senikmat ini. “Ini pepes ikan khas Garut lho,” kata Bu Rohana. Seporsi ikan pepes mas dengan nasi putih hangat, lalapan timun, pete sepapan, dan sambal tak lebh dari Rp 10.000.
Kolam Air Hangat
Lepas santap siang, Dedi mengajak kami ke kolam air panas di Depok. Kami pun beranjak. Rupanya dari rumah makan itu ke kolam air panas yang dimaksud Dedi lumayan jauh. Untungnya pemandangan alam yang kami lewati teramat indah.
Baru kali ini saya melihat wajah Garut yang lain. Di sebelah kanan jalan yang berliku terhampar lembah luas dengan jurang-jurang bervariasi kedalamannya. Di beberapa sudut ada tebing bebatuan yang mengingatkan saya akan Ngarai Sihanok di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Setibanya di kolam air panas, kami langsung beristirahat sejenak sambil menyeruput kopi. Indra dan Dedi sudah tak sabar ingin berenang. Mereka pun mendahului saya merasakan hangatnya air kolam itu.
Agus, pemilik kolam air tersebut menjelaskan kolam air hangat peninggalan ayahnya itu dibangun tahun 1988 namun baru dioperasikan untuk umum pada 2009 lalu. “Tiketnya per orang Rp 4.000 per orang. Parkir kendaraan Rp 2.000. Setiap bulan pemasukannnya paling sedikit Rp 400.000 sampai dengan Rp 9 juta,” jelas Agus yang juga membuka warung kecil.
Kolam air hangat ini terbagi dua. Yang berukuran agak besar khusus orang dewasa. Sedangkan kolam yang kecil untuk anak-anak. Kolam air hangat ini buka tiap hari mulai pukul 6 pagi samapi 8 malam. Khusus malam Minggu tutup pukul 22.00 WIB.
Lepas merasakan kehangatan air kolam di Depok. Kami beranjak pulang lewat rute semula. Sekali lagi saya terpesona dengan panorama lembah hijau dan jurang yang tadi saya lihat sebelumnya.
Sampai di Cikajang hampir larut. Kami mencari menu untuk santap malam. Sewaktu melintas di Jalan Raya Cikajang, saya melihat ada warung sate kambing khas Sunda. Usai mengisi bensin, kami pun bergerak ke warung itu. Disana sudah ada sejumlah pembeli yang sedang asyik menyantap sate kambing muda.
Tak lama pesanan kami tersaji di meja berupa 4 porsi sate kambing dengan dua bumbu berbeda yakni bumbu kacang dan bumbu kecap dilengkapi irisan cabe rawit dan bawang merah, ditambah 4 piring nasi putih hangat. Seporsinya Rp 17.500 isi sepuluh tusuk. Daging satenya empuk dan aromanya bikin usus saya menari-nari. Semuanya habis kami sikat, tak tersisa.
Selanjutnya kami bergerak menuju Camp David, di bibir Kawah Papandayan. Di tempat ini ada deretan warung, parkir kendaraan yang cukup luas, pos informasi wisata, dan mushola serta gardu pandang.
Kedatangan kami malam itu disambut angin kencang bak badai. Menurut Dedi, sudah beberapa hari belakangan ini cuaca di Papandayan seperti ini. Kami pun bermalam di warung milik Mamah Dewi yang tak lain ibunya Dedi.
Sama seperti warung-warung lainnya, di dalamnya sengaja dibuatkan kamar-kamar beralas bambu untuk ditempati para pengunjung yang tidak membawa tenda. Sebelum tidur, kami sempat mengisi waktu dengan bermain kartu. Hingga akhirnya kami tertidur pulas dalam balutan dingin khas Papandayan.
Warung Mamah Dewi beda dengan warung lainnya. Ibu yang ramah dan akrab dengan sejumlah pemandu dan pendaki ini menjual bandrek racikannya sendiri yang diberi label Bandrek Papandayan. Bandrek adalah minuman khas daerah pegunungan di Jawa Barat. Bandrek terbuat dari jahe, gula merah, dan bahan lainnya yang memberi efek hangat pada tubuh. Semacam wedang ronde, bajigur, dan minuman penghangat tradisional lainnya.
Segelas bandrek dijual Rp 2.000. Pengunjung juga bisa membeli satu pak Bandrek Papandayan berisi 10 bungkus Rp 20 ribu untuk oleh-oleh. Cara minumnya, setiap bungkusnya untuk segelas kecil atau secangkir ditambah air panas lalu diaduk dan diminum selagi masih hangat.
Masih banyak obyek lain yang dapat dikunjungi di Garut, seperti Gunung Sadahurip yang belakangan ini ramai dibicarakan lantaran diduga piramida. Selain itu ada Desa Cinta, salah satu desa dengan panorama persawahan teras dan juga Gunung Talagabodas yang letaknya tak jauh dari Gunung Sadahurip dan kerap dikunjungi wisatawan untuk sauna alam dan mandi belerang. Jadi terbukti bukan, Garut bukan hanya Papandayan dan dodol.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar