. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Kamis, 12 Januari 2012

Mengoptimalkan Obyek Wisata Religius Kepulauan Riau



Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang berjuluk Bumi Hang Tuah ini memiliki 2.405 pulau. Di sejumlah pulaunya terdapat beragam obyek wisata religius yang potensial menjaring wisatawan. Sayangnya, obyek wisata tersebut belum tergarap secara maksimal. Bagaimana mengoptimalkan potensi obyek-obyek wisata religius di Kepri?

Obyek wisata religius yang ada di provinsi yang terbentuk pada 1 Juli 2004 ini antara lain tersebara di Kabupaten Karimun, Kota Tanjung Pinang, dan Kota Batam.

Di Kabupaten Karimun misalnya ada Prasasti Pasir Panjang di Desa Meral, Makam Sibadang di Desa Buru, Masjid Jami’ dan Kelenteng Sampong Teng Pulau Buru. Di Kabupaten Lingga ada Makam Sultan Abdullah Muiyat Syah di Kecamatan Tambelan, Situs Midai di Kecamatan Midai, dan beberapa keramat di Kecamatan Bunguran Barat.

Di Kota Tanjung Pinang ada Komplek Makam Daeng Celak dan Tun Abbas di Kelurahan Melayu Kota Piring, Komplek Makam Sultan Sulaiman Badrul Alam di Kelurahan Kampung Bulang, Makam Daeng Kamboja di Kelurahan Kampung Bugis, Makam Raja Ali di Kelurahan Tanjung Unggat, serta Masjid Raya Sultan Riuan, dan beberapa makam di Pulau Penyengat.

Di Kota Batam juga ada beberapa tempat bersejarah yang dikelola dan menjadi obyek wisata religius, antara lain Pura Agung Amertha Buana, Patung Dewi Kwan Im, Gereja Pulau Galang, dan Masjid Raya Batam.

Di samping itu, di Batam juga ada beberapa kegiatan keagamaan yang dijual ke wisatawan seperti Cap Go Meh, Pesta Mengusir Hantu, Halloween, Pawai Takbir, dan peringatan hari besar agama lain. Target pasar wisata religi di Kota Batam adalah warga muslim Singapura, Malaysia, dan Filipina.

Obyek wisata religus Kepri memiliki peluang utuk dikembangkan lebih jauh. Selain ketersediaan obyek tersebut yang beragam dan relatif masih terpelihara dengan baik, lokasi Kepri yang strategis turut mendukung.

Kepri berada di jalur pelayaran internasional, tepat di mulut Setal Malaka yang banyak dilalui kapal-kapal dagang. Posisinya berdekatan langsung dengan Singapura dan Malaysia serta berdampingan dengan pusat pertumbuhan industri Batam dan Bintan yang membuat Kepri terus berbenah diri mengembangkan berbagai sektor, termasuk upaya menjadi destinasi wisata religius.

Mantan menteri pariwisata I Gede Ardika dalam sebuah lokakarya di Batam, pernah mengatakan dalam pengembangan wisata religi dimanapun termasuk di Kepri sebaiknya tidak mencampurkan yang sakral dengan yang profan. “Ada kegiatan religi yang tidak bisa diikuti disentuh oleh wisatawan. Jadi wisatawan hanya boleh melihat saja,” jelasnya.

Dalam pengembangannya, lanjut Ardika juga harus melibatkan partisipasi masyarakat. “Dengan kata lain punya manfaat buat masyarakat setempat. Dan yang tak kalah penting ketersediaan aksebilitas dan informasi yang memadai,” paparnya.

Ada dua hal yang menonjol dan harus diperhatikan dalam pengembangan pariwisata budaya termasuk religi, yakni budaya dan keindahan alam. Pemanfaatan wisata budaya berarti mengemas sebuah produk budaya yang aman, bersih, nyaman, dan dilengkapi dengan pelayanan, fasilitas, dan manajemen yang baik.

Pengemasan wisata budaya harus semenarik mungkin agar wisatawan tertarik untuk datang kembali. Begitu juga dengan alamnya harus dijaga kebersihan dan keindahannya.

Pengembangan wisata religi di Kepri masih menghadapi berbagai kendala. Selain promosi yang masih minim, informasi kegiatan keagamaannya pun terbatas. Seharusnya kegiatan keagamaan tahun ini sudah dipasarkan oleh travel agent pada tahun sebelumnya agar wisatawan tahu dan dapat merancang waktu.

Penjualan paket wisata religi pun belum menjadi jualan utama travel agent di Kepri. Sebagian besar anggota ASITA DPD KEPRI berkonsentrasi pada penjualan tiket pesawat dan kapal laut serta voucher hotel. Banyak juga yang menjual paket wisata tapi yang terbanyak justru menjual paket wisata luar negeri (outbound).

Yang menjual paket inbound Batam dan Kepri hanya segelincir. Paket wisata religi yang masih dijual antara lain paket untuk pemeluk agama Budha yaitu acara pelepasan ikan lele di Batam, paket wisata qurban, dan paket persembanghyangan di Pura Amerta Buana untuk orang-orang India yang beragama Hindu.

Ardika menghimbau untuk tidak berkecil hati meskipun dana promosi Kepri masih minim apalagi membandingkan dengan promosi negara tetangga. Jangan hanya mengejar jumlah wisatawan yang datang padahal cuma sekali saja datang, lalu kapok. “Seharusnya wisatawan yang datang ke Kepri harus berulangkali. Caranya, selain kemasan paket wisatanya menarik, para pemandu wisata pun harus memberi penjelasan tentang obyek wisata religi ini dengan baik dan meyakinkan,” jelasnya.

Festival Pulau Penyengat
Dalam lawatan ke Pulau Penyengat beberapa waktu lalu, saat penyelenggaraan Festival Pulau Penyengat pertama yang digelar Kementerian Pariwista dan Ekomomi Kreatif (Kemenparekraf) bekerjasama Dinas Kebudayaan Provinsi (Disbudprov) Kepri, penulis melihat masih banyak yang harus dibenahi di Pualau Penyengat.

Obyek wisata yang ada, cuma itu-itu saja. Salah satunya Masjid Raya Sultan Riau atau yang lebih dikenal dengan Masjid Jami Penyengat yang menjadi ikon wisata religius di Pulau Penyengat. Padahal sebenarnya masih banyak yang dapat digarap lewat obyek yang ada termasuk kesenian dan permainan tradisional masyarakat setempat.

Begitupun dengan fasilitas keamanan transportasi laut menuju Penyengat. Perahu sampan bermotor yang disebut pompong tidak difasilitasi life jacket. Dan ini sering dipertanyakan wisatawan yang tak terbiasa dengan perjalanan laut terlebih dengan perahu kecil.

Selain itu tempat-tempat wisata religiusnya, pantai dan pelabuhannya termasuk pelabuhan di Tanjung Pinang kurang bersih. Tempat sampah sulit didapat sehingga masyarakat dan pengunjung banyak yang membuang sampah seenaknya ke pantai dan laut.

Sejumlah rumah makan, kedai, dan pedagang kaki lima di tepi laut juga berkontribusi mengotori pantai dan lautnya dengan sisa makanan pengunjungnya. Tak kalah penting, para pemilik bemor atau becak bermotor masih ada yang kurang tertib. Ada yang seenaknya memasang tarif angkut sehingga beberapa wisatawan kecewa.

Penulis menilai, penyelenggaraan Festival Pulau Penyengat yang akan diadakan setahun sekali setiap akhir Desember ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Pemprov Kepri dan masyarakat Pulau Penyengat untuk terus membenahi wisata budaya temasuk religinya lebih baik lagi, termasuk soal kebersihan, keramahan, dan kenyamanannya.

Festival ini pun dapat dijadikan sarana untuk menghidupkan kembali bermacam permainan tradisional Melayu khas Pulau Penyengat seperti perahu layar, gangsing, dan layang-layang yang kini justru lebih berkembang di luar Pulau Penyengat.

Bahkan bukan cuma itu, festival ini juga menjadi peluang untuk menggerakkan dan meningkatkan ekonomi kreatif masyarakat Pulau Penyengat, mulai dari kuliner Melayu, panganan khas, kerajinan tangan, dan tentu saja atraksi keseniannya.

Bila keberadaan Fetsival Pulau Penyengat ini benar-benar dimanfaatkan secara maksimal, tak mustahil Pulau Penyengat kelak bakal menjadi obyek wisata budaya dan religius terutama di Kepri.

Tak sulit menjangkau Pulau Penyengat. Dari Pelabungan Punggur, Batam naik kapal ferry ke Pelabuhan Tanjung Pinang, Bintan. Waktu tempuhnya sekitar 1 jam. Kalau dari Pelabuhan Tanjung Pinang, tinggal naik pompong ke Pulau Penyengat sekitar 15 menit.

Akomodasi di Penyengat cuma beberapa homestay yang dikelola penduduk, antara lain homestay milik Ibrahim. Pilihan lain, bermalam di Kota Tanjung Pinang, ibukota Kepri yang akomodasinya jauh lebih lengkap, mulai dari hotel melati sampai bintang 4. Begitupun dengan rumah makannya, tersedia banyak resto yang menyajikan aneka chinesse food dan makanan khas Melayu.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP