. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Rabu, 14 Desember 2011

Menyibak Misteri Tun Sri Lanang



Nama Tun Sri Lanang perlahan naik ke permukaan, terutama di Tanah Rencong, Aceh setelah makamnya ditemukan tahun 2004 lalu. Ketokohannya pun kemudian diseminarkan dengan melibatkan nara sumber dari tiga negara yakini Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Siapakah sebenarnya dia sampai Kementerian Pariwiswata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) lewat Direktorat Jenderal Sejarah Purbakala (Ditjen Sepur) menjadikan makam dan peninggalannya di Samalanga, Bireuen, Aceh sebagai Kawasan Wisata Sejarah Melayu Nusantara, Jum’at, 9 Desember 2011 lalu?

Nama Tun Sri Lanang ada yang menulisnya Tun Seri Lanang (TSL) memang tidak setenar Sultan Malikussaleh, Sultan Iskandar Muda, apalagi bila dibandingkan dengan kesohoran Cut Nyak Dien.

Buktinya Mahdi Jamil (45thn), warga yang tinggal di Gampong (kampung) Meunasah, Desa Leung, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen tidak tahu sama sekali siapa itu TSL. Padahal rumahnya sangat dekat dengan makam TSL. “Sejak kecil saya main di sekitar makamnya. Dan masyarakat di sini pun tidak tahu kalau itu Makam Tun Sri Lanang.” Akunya.

Mahdi yang sewaktu kecil mengaji di Rumoh Kreung (rumah sungai), yakni rumah panggung di dekat makam itu yang dikelilingi kali batee iliek, baru tahu kalau makam itu adalah makam TSl setelah ada orang Malaysia yang datang dan menyatakan demikian.

Tapi ketika ditanya siapa itu TSL, Mahdi pun kembali mengaku tidak tahu. “Yang saya tahu dia (TSL-red) itu pernah berkuasa di Samalanga,” jelas ayah tiga anak ini.

Ketidaktahuan tentang siapa TSL dan sepak terjangnya di Samalanga bukan cuma dialami Mahdi. Mungkin ribuan orang Aceh lainnya pun sama sepertinya.

Karena itulah para perumus seminar bertajuk “Ketokohan Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa: Indonesia-Malaysia” yang digelar Ditjen Sepur Kemenparekraf bekerjasama dengan Pemprov Aceh, Pemkab Bireuen, dan Yayasan Tun Sri Lanang di Kantor Bupati Bireuen pada Kamis (8/12/2011) menelurkan 3 rekomendasi. Salah satu rekomendasinya jelas menyatakan bahwa sejarah ketokohan TSL perlu dimasukkan dalam kurikulum muatan lokal di sekolah-sekolah di Aceh.

Rekomendasi itu tentunya untuk memperkenalkan siapa sebenarnya TSL dan ketokohannnya di Aceh khususnya kepada generasi muda, terutama anak-anak sekolah.

Kendati belum mengetahui siapa sebenarnya TSL, bagi Mahdi itu buak soal. Yang terpenting baginya makam TSL yang kemudian dijadikan sebagai Kawasan Wisata Sejarah Melayu Nusantara (KWS-MN) di Samalanga nantinya dapat memberi dampak positif bagi penghidupannya. “Rencananya kalau kawasan ini nanti ramai didatangi wisatawan, saya akan dagang makanan di lokasi,” ungkapnya.

Dalam buku berjudul “Tun Sri Lanang Dalam Sejarah Dua bangsa Indonesia-Malaysia Terungkap Setelah 380 Tahun” karya Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar, ahli waris ke-8 TSL, menjelaskan bawah TSL benama asli Tun Muhammad yang bergelar Dato’ Bendahara Tun Muhammad dan Orang Kaya Seri Paduka Tun Seberang.

Sebelum memimpin Negeri Samalanga (letaknya kini berada di wilayah administratif Kabupaten Bireuen, Aceh) selama 1613-1659 M, dia merupakan Bendahara atau Perdana Menteri Kerajaan Pahang.

Kepindahannya ke Aceh terkait keberadaan Aceh sebagai kesultanan besar yang mampu mengadakan perlawanan secara bekesinambungan terhadap kekuatan Portugis di Malaka, kendati harus ditebus dengan jatuhnya korban jiwa sehingga populasi rakyat Aceh ketika itu merosot tajam.

Sultan Aceh yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda berinisiatif membawa rakyat termasuk petingginya dari negeri yang telah dikuasai untuk dipindahkan dan menetap di Aceh. Tokoh-tokoh yang berimigrasi tersebut di antaranya TSL.

Ketika Sultan Iskandar Muda bertekad mengembangkan ajaran Islam di kawasan pesisir Timur, maka TSL diangkat menjadi raja Samalanga pertama guna memperluas kepemimpinan sultan serta menyebarkan Islam ke Timur Aceh.

Pujangga Melayu dan Mubaligh
Pada 1615 M, TSL resmi menjadi raja perdana Negeri Samalanga. Selain ahli pemerintahan, dia juga dikenal sebagai pujangga Melayu. Karyanya yang monumental adalah Kitab Sulalatus Salatin.

Menurut Winstedt, kitab tersebut dikarang TSL mulai Februari 1614M dan selesai Januari 1615. Sulalatus Salatin atau sejarah Melayu dianggap penting karena menggambarkan adat istiadat kerajaan, silsilah taja, dan sejarah kerajaan Melayu.

Dalam buku setebal 128 halaman ini menyebutkan kalau TSL itu juga berprofesi sebagai mubaligh Islam. Buktinya selama berkuasa di Samalanga, dia telah mendirikan sekolah dan pesantren dengan cara mewakafkan sebagian tanah untuk kegiatan agama. Sampai saat ini, Samalanga dikenal sebagai salah satu basis santri di Aceh. Para santrinya datang dari pelosok Aceh, Semenanjung Melayu hingga dari Thailand Selatan.

Di bab 6 buku ini juga memuat tentang anak cucu TSL di Samalanga. TSL menurunkan garis keturunan di dua bangsa yakni Indonesia dan Malaysia.

Di Malaysia, keturunannya merupakan para sultan di Melayu seperti Sultan Pahang, Sultan Johor, Sultan Trenggani, dan Sultan Selangor. Sedangkan di Indonesia khusunya Aceh, dia menurunkan darah keberanian dan perjuangannya kepada Pocut Meuligoe, ahli waris ke-5 yang mampu memimpin perlawanan terhadap Belanda hingga terusir dari Samalanga.

Salah satu peninggalan TSL, kini dijadikan KWS-MN di Samalanga yang terdiri atas makam TSL dan bekas rumahnya. Penetapan kawasan tersebut salah satunya bertujuan untuk mempererat hubungan emosional sesama rumpun bangsa Melayu, khususnya garis keturunan TSL.

Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP