. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Minggu, 11 Desember 2011

Kedai Kupi Aceh Bertranfromasi Jadi Kampus dan Kantor



Berkunjung ke Tanah Rencong kurang komplit kalau belum menyeruput kupi (kopi) di kedai-kedai kopinya yang tersebar di sejumlah kota, mulai dari Banda Aceh sampai kota-kota kabupaten. Tujuh tahun pascatsunami, sejumlah kedai kopinya berubah fungsi, bukan sekadar tempat santai sambil ngobrol bermacam topik hangat, pun bertransformasi menjadi ruang kelas kampus bagi sejumlah mahasiswa, bahkan tempat menyelesaikan pekerjaan dan bisnis bagi sebagian wiraswatawan.

Di Kota Banda Aceh, terdapat puluhan kedai kopi mulai dari kelas kaki lima sampai kelas restoran. Solong Coffee yang berdiri sejak tahun 1974, salah satun kedai yang ramai peminatnya dari dulu hingga kini di daerah yang di sebut Ulee Kareng. Kendati muncul kedai kopi baru dengan tampilan yang lebih modern, gaya, dan trendy, tetap saja kedai kopi ini tak pernah sepi pengunjungnya.

Di Ulee Kareng, harga secangkir kopi biasa Rp 3.500 dan kopi susu Rp 6.000. Ssetiap hari ada perputaran uang sekitar Rp 10 juta di daerah ini. Belum di daerah lain. Bayangkan. Mungkin karena keuntungan yang menggiurkan itulah yang membuat kedai-kedai kopi baru bermunculan.

Persaingan bisnis kedai kopi pun tak terelakkan. Masing-masing kedai kopi berlomba menawarkan pelayanan berbeda untuk menjaring tamu. Kedai-kedai kopi terutama di Kota Banda Aceh misalnya dilengkapi dengan fasilitas WiFi. Ada juga yang memasang layar. Pengunjung bisa sambil nonton film ataupun pertandingan sepak bola.

Salah satu kedai kopi bergaya modern yang digandrungi warga Banda Aceh dan sekitarnya adalah Dhapu Kupi. Kelebihan kedai kopi modern ini dirancang dengan konsep terbuka. Pengunjungnya dapat menikmati suasana Jalan Simpang Surabaya dari lantai dua selama 24 jam. Pemiliknya, Tarmizi asal Pidie mengaku meraup omset sampai Rp 2 miliar setiap bulan.

Masih ada sejumlah kedai kopi lain yang juga selalu ramai peminatnya seperti kedai Ayah-Solong dan Warkop Chek Yukee di Jalan Pinggir Kali, Banda Aceh. Begitu pun di kota-kita kabupaten di seluruh Aceh. Melihat realita itu, wajar rasanya bila Aceh disebut Provinsi Sejuta Kedai Kopi.

Keberadaan kedai kopi di Bumi Sultan Iskandar Muda ini sempat menimbulkan imej kurang sedap. Konon, dulu ada tudingan bahwa pria Aceh cuma bisanya nongkrong di kedai-kedai kopi berjam-jam untuk membicarakan masalah keluarga, politik lokal, nasional, dan isu yang sedang hangat dan menjadi headline di surat kabar termasuk skandal pejabat dan gosip panas artis. Namun kalau Anda telusuri lebih jauh lagi dengan mengamati prilaku pengunjung kedai kopi era kini, citra itu bakal sirna seketika.

Lihat saja di sejumlah kedai kopinya, pengunjungnya yang didominasi kaum lelaki tak sekadar melampiaskan kegemarannya menyeruput kopi spesial Aceh yang diracik khusus dengan proses pembuatannya yang juga beda, pun sekaligus melakukan kegiatan lain sesuai profesinya.

Mahasiswa sejumlah universitas swasta dan negeri di Banda Aceh misalnya, menjadikan kedai kopi juga sebagai tempat untuk merampungkan tugas-tugas kuliah. Jadi semacam ruang kelas kampus. Dengan membawa notebook, laptop, dan kini tablet PC yang ringkas, mereka betah berlama-lama di kedai kopi favoritnya untuk browsing mencari data secara online, mengetik tugas da lainnya. Biasanya mahasiswa datang bersama rekannya, minimal 2-3 orang. Tak sedikit yang datang dalam kelompok yang agak besar 4-6 orang.

Ridwan (24) misalnya salah seorang mahasiswa swasta di Banda Aceh mengaku hampir tiap hari singgah di kedai kopi untuk merampungkan tugas kuliah yang diberikan dosen. “Di kedai kopi bikin tugas kuliah bareng teman jadi lebih santai dan asyik dibanding di rumah,” akunya yang diamini Fadli (23) teman kuliahnya.

Kondisi serupa pun dilakoni Arman (40), pemilik salah satu rental car di Banda Aceh. Bedanya dia menyelsaikkan tugas dan mengatur penyewaan mobilnya di kedai kopi. “Mesti ada kantor, saya lebih suka mengatur jadual kerja sopir saya termasuk pembayaran sewa mobil di kedai kopi, ya sambil ngupi,” ungkapnya.

Kata Arman lagi, sejumlah rekannya juga kerap melakukan transaksi bisnis dari kedai kopi. “Bisa dibilang kedai kopi sekarang jadi kantor kedua bagi sejumlah wiraswastawan,” terangnya.

Rumah Kedua
Yang menarik lagi, tak semua orang yang gemar ke kedai kopi di Banda Aceh untuk minum kopi. Ada juga yang justru untuk meminum jenis minuman lain seperti teh manis hangat. Ini diakui Yuzar yang pernah bekerja di sebuah NGO (LSM). “Aku tidak suka ngupi, jadi kalau ke kedai kopi pesannya teh manis,” akunya.

Yuzar juga mengaku tidak suka kedai kopi yang terlalu crawded. Dia memilih kedai kopi yang sepi pengunjungnya. Yuzar tak heran kalau ada perubahan kedai kopi menjadi kampus dan kantor. Bahkan menurutnya banyak orang Aceh yang menjadikan warung kopi sebagai rumah kedua.

Apa yang dikatakan Yuzar dibuktikan dengan pernyataan Tarmizi. Menurutnya banyak kedai kopi yang dijadikan tempat pelarian masalah keluarga. “Saat ada masalah dengan istrinya, banyak suami yang memilih sarapan di kedai kopi. Sarapan istrinya pun tak disentuh,” akunya.

Persoalan lain, kedai kopi pun kerap dijadikan sebagai lokasi pelarian sejumlah PNS yang mangkir kerja atau korupsi jam kerja. Masalah ini sempat membuat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf gusar hingga menggelar "sweeping" ke kedai kopi favorit pejabat di Banda Aceh. Konon, sejak itu pegawai berseragam negeri itu banyak yang gerah duduk di kedai kopi.

Di Kedai kopi di Banda Aceh, Anda bukan hanya bertemu dengan mahasiswa dan wiraswasta, pun mermacam rupa orang dengan beragam profesinya seperti gubernur, bupati, wali kota, anggota DPRD, pengusaha, kontraktor, guru, ulama, sampai pengangguran. Termasuk tamu dari luar Aceh yang sedang beriwisata dan lainnya.

Keberadaan kedai kopi tak dipungkiri menjadi magnit tersendiri bagi orang luar Aceh. Buktinya banyak wisatawan yang datang ke Serambi Mekkah ini bukan semata ingin melihat Masjid Raya Baiturrahman nan cantik dan mengunjungi obyek-obyek pascatsunami-nya seperti museum tsunami, kuburan massal korban tsunami, Kapal PLTD Apung, dan Perahu di atas Rumah, pun mendatangi kedai kopi untuk menikmati racikan kopi Robusta maupun Arabica dari Gayo.

Kondisi itu pun dilirik oleh Disbudpar Kota Banda Aceh dengan menggelar Festival Kopi Aceh atau Aceh Coffee Festival 2011 baru-baru ini 25 - 27 Nopember 2011. Festival ini rencananya bakal digelar tiap tahun untuk memperkenalkan Kopi Aceh ke dunia.

Jika Aceh pantas berjuluk Provinsi Sejuta Kedai Kopi, lain halnya dengan Manggar di Pulau Belitung yang juga memiliki sejumlah warung kopi sehingga berjuluk Kota Seribu Warung Kopi. Meski kota yang pernah menjadi salah satu lokasi syuting film fenomenal Laskar Pelangi ini memiliki banyak kedai kopi, tetap saja atmosfirnya beda dengan di Aceh.

Kalau tak percaya, datang saja ke kedua tempat itu lalu bandingkan perbedaan suasananya. Di Aceh, Anda bakal menemukan atmosfir baru kedai kopi yang bukan melulu tempat bersantai sambil ngobrol ngolor-ngidul, pun meeting point untuk urusan bisnis, tugas kampus, sosialisasi maupun komunitas, dan lainnya.


Naskah & Foto: Adji Kurniawan
(adji_travelplus@yahoo.com)

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP