Upaya Lindungi Warisan Budaya Tak Benda
Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) atau Intangible Cultural Heritage Indonesia yang sudah diakui UNESCO ada 4 yakni Wayang, Keris, Batik, dan Angklung. Lima (5) lainnya masih dalam proses pengesahan UNESCO yakni Tari Saman dari Aceh, Tari Tradisi Bali, Noken dari Papua, dan TMII, Jakarta. Sebenarnya masih ada ribuan WBTB yang dimiliki bangsa ini. Bagaimana melindunginya dari kepunahan?
Wayang dan Keris Indonesia, ditetapkan UNESCO sebagai WBTB Indonesia tanggal 4 November 2008, Batik Indonesia 30 September 2009, dan Angklung Indonesia 16 November 2010.
Sementara 4 WBTB Indonesia yang diusulkan ke UNESCO, baru Tari Saman yang akan dinilai oleh Komite Antar-Pemerintah pada Sidang ke-6 di Bali, 22-29 November 2011. Sedangkan Tari Tradisi Bali, Noken, dan TMII baru akan diinskripsi pada Sidang ke-7 Komite Antar-Pemerintah pada bulan November 2012.
Dalam menangani perlindungan WBTB Indonesia, Ditjen Nilai Budaya, Seni dan Film (NBSF), Kemenbudpar melakukan bermacam strategi berdasarkan prinsip-prinsip dan tujuan Konvensi 2003 UNESCO antara lain mendorong berbagai kegiatan perlindungan WBTB.
”Kegiatan yang kami lakukan antara lain pengkajian, penelitian, revitalisasi, inventarisasi, workshop, seminar, pergelaran, dan pameran karya-karya budaya tradisional,” jelas Ukus Kuswara selaku Dirjen NBSF usai membuka Seminar Regional Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda dan Keanekaragaman Ekspresi Budaya di Hotel Redtop, Jakarta, Rabu (5/10/2011).
Selain itu NBSF juga melakukan sosialisasi, promosi dan upaya peningkatan kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kegiatan pelestarian WBTB.
”Kita juga menghimbau berbagai instansi terkait baik pemerintah maupun swasta di seluruh Indonesia agar mendayagunakan potensi budaya tradisional dalam berbagai kegiatan dan aktivitas yang relevan,” terangnya disamping juga mengusulkan kepada Kemendiknas dan lembaga terkait agar materi budaya tradisional dimasukkan ke dalam materi bahan ajar muatan lokal di lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal.
Beberapa program dan kegiatan yang telah dan terus dilakukan NBSF antara lain menyiapkan buku panduan mengenai pencatatan WBTB Indonesia (Practical Guidebook for Inventory of Intangible Cultural Heritage of Indonesia). “Buku ini disusun atas kerjasama Kemenbudpar dengan UNESCO Jakarta Office,” jelasnya.
Selain itu membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Bidang NBSF. “Kita bekerjasama dengan Ditjen HKI untuk membantu mempercepat adanya program pencatatan karya budaya Indonesia,” ungkapnya.
Ketua Konsentrasi Hukum Ekonomi, Program PascaSarjana Agus Sardjono mengatakan dalam menjaga WBTB yang terpenting bukanlah perlindungan. Porsi terbesar justru promosi dan pemanfaatannya. “WBTB itu harus memberi manfaat kepada masyarakat lewat pementasan dan lain,” jelas doktor Ilmu Hukum FH UI yang pernah mengajar mata kuliah Hukum Dagang dan HKI.
Perlindungan WBTB, lanjutnya berada pada bagian akhir setelah promosi dan pemanfaatan. Dan porsinya pun tak besar. “Perlindungan pun kerap disalah artikan. Bukan berarti dikerangkeng, melainkan adanya upaya menciptakan generasi penerusnya,” jelasnya.
Seminar regional yang digelar Ditjen NBSF berlangsung dua hari, 5-6 Oktober 2011 yang diikuti sekitar 30 peserta dan stakeholders serta pihak-pihak terkait dengan pelestarian budaya.
Pembicara dalam seminar ini datang dari dalam dan luar negeri. Dari Indonesia antara lain Agus Sardjono, Sri Hartanto, Aman Wirakartakusumah, dan Gaura Mancacaritadipura. Sedangan dari luar negeri antara lain Yang Zhi dari Cina, Seong Yong Park (Korea), Le Thi Minh Ly (Vietnam), Amareswar Galla (Australia), Michi Tomioka (Jepang), dan Hubert Gijzen dari Kantor UNESCO di Jakarta.
Sekditjen NBSF Mumus Muslim mengatakan tujuan seminar ini untuk mensosialisasikan Indonesia sebagai tuan rumah pelaksanaan sidang UNESCO di Bali pada November tahun ini.
“Selain itu untuk saling tukar informasi dan pengalaman dalam hal penerapan Konvensi 2003, dan mencari masukan mengenai manfaat dan kewajiban Indonesia seandainya Indonesia mengesahkan Konvensi 2005 dari para pembicara dan peserta,” terangnya.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar