Rahasia Sukses Festival Musik Bambu Nusantara 2011
Kendati tak segegap gempita Java Jazz Festival (JJF), namun Festival Musik Bambu Nusantara (FMBN) Kelima yang berlangsung di Sabuga, Bandung, 1-2 Oktober 2011 cukup menyita perhatian bukan cuma kaula muda pun beberapa turis asing. Paduan musik berbeda, kuliner plus fashion, aksesoris dan kerajinan tangan dari bambu serta atraksi pendukung nyeleneh, jadi rahasia kesuksesannya.
Catatan lain dari FMBN 2011 yang dibuka oleh Wagub Jawa Dede Jusuf bersama Direktur Promosi Pariwisata Dalam Negeri, Kemenbudpar M. Faried dan ketua panitia Dadang Jauhari dengan memukul Celempung alat musik sunda yang terbuat dari bambu ini, acara yang ditampilkan terutama atraksi permaian tradisional anak, baik dengan menggunakan peralatan yang semuanya dari bambu maupun tanpa peralatan, juga melibatkan partisipasi pengunjung.
Cara ini, membuat festival ini tak berjarak dengan pengunjungnya. Ada kedekatan di sana antra pengunjung dengan peserta. Bahkan pengunjung baik anak-anak maupun orang dewasa boleh menjajal permainan tradisional yang semakin terlupakan tersebut seperti engrang, slorotan, memukul lodong, angklung, dan lainnya.
Keikutsertaan kaula muda mulai dari tingkat SMA hingga mahasiswa bukan saja menjadikan festival ini terasa lebih fresh, baik dari segi ide maupun performanya, pun keputusan tepat untuk memberi kesempatan kepada anak muda yang haus tampil dan ekspresif, selain maksud mulia yakni upaya pelestarian musik bambu itu sendiri agar lahir seniman-seniman bambu muda sebagai penerus.
Paduan performa musik yang pesertanya sudah diseleksi panitia meski belum maksimal dan belum banyak, tapi cukup menghibur. Dua panggung gratis di sayap kiri dan kanan gedung utama ternyata ramai dikunjungi pengunjung.
Kehadiran musisi ternama seperti Rafli Wa Saja, Ozenk Percussion yang berkolaborasi dengan Dwiki Dharmawan, Belawan denagn Gamelan Maestro Project-nya dan Saung Jabo ternyata mampu menarik orang untuk datang menyaksikan sajian berbeda mereka memainkan alat musik bambu atau berkoloborasi dengan musisi-musisi yang memainkan alat musik dari bambu, kendati mereka harus membayar tiket masuk sebesar Rp 50 ribu per hari atau tiket terusan untuk dua hari sebesar Rp 75.000.
Mungkin yang perlu diperhatikan, jumlah pengisi acara utamanya perlu ditambah, agar acaranya benar-benar padat. Tentu penampilnya yang benar-benar punya nilai jual.
Suguhan kuliner yang dijajakan di sayap kiri dan kanan turut menarik perhatian pengunjung. Terlebih kuliner yang dijual masih bernuansa bambu, seperti Nasi Bambu lengkap dengan menu seharga Rp 25.000, Sate Padang Rp 16.000, Lemang plus sambal dabu-dabu, dan aneka permen yang tangkainya menggunakan bambu.
Begitu juga dengan souvenir berupa aneka aksesoris yang dijajakan seperti gelang, kopiah, karinding, angklung mini, kursi serta meja yang semuanya dari bambu.
Kehadiran ‘perusuh’ acara yang berpenampilan nyeleneh dari komunitas GANIATI alias garing mania sampay mati pun member warna berbeda festival ini.
Pakaian, aksesoris, dan tata rias yang dikenakan mahasiswa-mahasiswi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) ini benar-benar bikin garing. Sampai ada pengunjung yang sempat berseloroh penampilan mereka itu najis banget.
Fashion Garing
BERBEDA. Itulah kekuatan mereka. Fashion yang mereka usung bukan fashion harajuku Jepang ataupun fashion street. Mereka mengenakan fashion garing tepatnya dengan beberpa aksesori yang juga dari bambu seperti keranjang dan tampah kecil.
Ajang kreativitas dari bambu juga menjadi nilai lebih festival ini. Seperti diperlihatkan anak muda dari Bengkel Kostum STSI Bandung dengan sejumlah karya busana bernuansa bambu dan bermacam desain produk antara lain instalasi dari karya mahasiswa-mahasiswi Itenas.
Jika tahun depan FMBN keenam diboyong ke Jakarta, seperti rencana Kemenbudpar yang disampaikan Dirjen Pemasaran Pariwisata, Sapta Nirwandar yang menutup festival ini apa yang menjadi kekuatan kelebihan dan kesuksesan FMBN kelima di Bandung ini, tetap dipertahankan dan ditingkatkan.
Jika semua itu hilang, hilang sudah karakter FMBN ini yang sudah dibangun sejak pertama kali digelar.
Ketidakinginan Dede Jusuf akan rencana pemindahan lokasi FMBN tahun ke depan di Jakarta, bisa jadi karena ada ketakutan akan kehilangan karakter itu tadi. Atau bisa juga karena takut Bandung kehilangan limpahan rezeki atas perhelatan festival ini. Pasalnya, festival ini pun mampu menarik wisatawan baik lokal terutama dari Jakarta bahkan wisman ke Bandung.
Dimanapun festival ini bakal digelar tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, rasanya bukan masalah. Yang terpenting kemasan festival ini termasuk pengisi acaranya yang perlu ditingkatkan tanpa meninggalkan karakter festival ini yang mulai terbentuk.
Dan tentunya dibarengi dengan promosi pra pelaksaaan yang gencar, agar festival ini lebih bergaung sesuai keinginan Kemenbudpar yang berharap festival ini bisa menyamai ketenaran JJF. SEMOGA.
Naskah & foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar