Kera dan Babi Hibur Pengunjung Kilometer Nol
Kalau Anda berkunjung ke Tugu Kilometer Nol Indonesia di Pulau Weh, Aceh, dipastikan bukan cuma melihat tugu yang berdiri tegak di antara pepohonan besar dan pemandangan hamparan laut dengan pulau-pulau kecil dari atas tebing di tepi jalan. Pun dihibur oleh sekelompok kera dan juga seekor babi hutan.
Empat tahun lalu, sewaktu kali pertama saya bertandang ke Tugu Kilometer Nol Indonesia bersama dengan Walikota Sabang Munawar Liza Zainal, hanya sekelompok kera berbulu coklat kehitaman yang bermunculan satu per satu dari kerimbunan hutan di sekitarnya.
Mereka nampak jinak dan sudah terbiasa dengan kehadiran pengunjung. Sambil menunggu pengunjung memberi makanan kecil, kera-kera tersebut duduk-duduk manis di pagar pembatas jalan dengan jurang, di bebatuan, dan juga batang pohon.
Setiap kali pengunjung melemparkan panganan berupa kacang kulit dan lainnya, mereka saling berebutan. Yang berhasil mendapatkannya, langsung lari menjauh.
Sewaktu makan kacang, kera-kera ini tidak menelan langsung dengan kulit-kulitnya. Melainkan dibuka kulitnya, baru diambil dan dimakan kacangnya. Hmmm.. cerdik seperti manusia.
Ketika itu, belum ada babi hutan. Kera-kera tersebut benar-benar menjadi penguasa. Dan ketika itu Tugu KM Nol berdinding porselin berwarna putih. Beberapa ruas jalan menuju tugu ini dari dermaga masih rusak. Namun yang menarik, sertifikat atas nama saya sebagai tanda bukti saya telah mengunjungi Tugu KM Nol ini diberikan langsung oleh Munawar Liza Zainal di dekat depan tugu.
Berbeda dengan kedatangan kali kedua saya ke Tugu KM Nol Indonesia ini, 22 September 2011 lalu bersama dengan Dirjen Pemasaran Pariwisata, Kemenbudpar Sapta Nirwandar dalam rangkaian event lomba kapal layar Sabang International Regatta (SIR) 2011 yang digelar sejak tanggal 13-25 September 2011 di tiga lokasi yakni Phuket (Thailand), Langkawi (Malaysia), dan Sabang, Pulau Weh, Aceh (Indonesia).
Saat tiba di tugu ini, seekor babi hutan mengejutkan saya dan sejumlah pengunjung lain. Semula saya mengira, babi berukuran sedang berwarna coklat gelap kehitaman itu adalah babi liar dari hutan. Ternyata dia babi jinak yang sejak kecil dipelihara oleh pemilik warung di seberang tugu.
Karena jinak, babi itu tak sungkan mendekati siapa pun yang memberikannya makanan kecil. Melihat tingkah sok akrabnya itu, beberapa pengunjung termasuk sopir membeli kacang kulit, opak sejenis kerupuk dari singkong berbentuk bulat pipih, dan keripik pisang di warung lalu memberikannya ke babi tersebut. Babi itu pun pesta besar. Sementara kera-kera hanya melihat aksi babi itu dan sesekali mencoba merebut makanan yang dilemparkan pengunjung ke arah babi. Rupanya kera-kera itu takut dengan babi itu.
Kehadiran seekor babi hutan jinak dan sekelompok kera di sekitar Tugu KM Nol tak bisa dipungkiri menghibur pengunjung yang datang. Pasalnya di tempat ini, tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan, selain foto bersama atau sendiri berlatarbelakang tugu, menikmati pemandangan hamparan laut di tepi jalan, dan santai di warung sambil menikmati kelapa muda atau menyeruput kopi Aceh dengan makanan kecil ala kadarnya.
Namun saya mencatat ada perubahan lain, terutama kondisi lingkungan sekitar tugu saat ini yang nampak lebih bersih, kendati bekas coret-coretan tangan-tangan jahil di bebatuan masih membekas.
Kondisi tugu yang dibangun dan diresmikan tahun 1987 ini juga terlihat lebih cerah dengan penambahan cat berwarna orange kecoklatan. Dan yang tak kalah asyiknya, jalan menuju tugu sekarang ini sudah benar-benar beraspal mulus, yang menurut saya dapat dimanfaatkan untuk event triatlon internasional yakni lomba sepeda, lari marathon, dan ditambah lomba renang di salah satu perairan di Pulau Weh ini.
Sewaktu kembali menuruni jalan mulus itu, saya berharap semoga kondisi alam Pulau Weh dengan perbukitan berhutan lebat yang terjaga dengan baik. Begitu pun dengan perairan teluknya yang biru jernih, jalan beraspal mulus, dan juga kebersihannya, benar-benar terpelihara seterusnya, bukan hanya sebatas untuk dan saat penyelenggaraan SIR 2011.
Karena semua itu menjadi bagian dari daya tarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk bertandang ke pulau cantik ini selain karena keindahan, kenyamanan, dan keramahan warganya, sampai kapanpun.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Empat tahun lalu, sewaktu kali pertama saya bertandang ke Tugu Kilometer Nol Indonesia bersama dengan Walikota Sabang Munawar Liza Zainal, hanya sekelompok kera berbulu coklat kehitaman yang bermunculan satu per satu dari kerimbunan hutan di sekitarnya.
Mereka nampak jinak dan sudah terbiasa dengan kehadiran pengunjung. Sambil menunggu pengunjung memberi makanan kecil, kera-kera tersebut duduk-duduk manis di pagar pembatas jalan dengan jurang, di bebatuan, dan juga batang pohon.
Setiap kali pengunjung melemparkan panganan berupa kacang kulit dan lainnya, mereka saling berebutan. Yang berhasil mendapatkannya, langsung lari menjauh.
Sewaktu makan kacang, kera-kera ini tidak menelan langsung dengan kulit-kulitnya. Melainkan dibuka kulitnya, baru diambil dan dimakan kacangnya. Hmmm.. cerdik seperti manusia.
Ketika itu, belum ada babi hutan. Kera-kera tersebut benar-benar menjadi penguasa. Dan ketika itu Tugu KM Nol berdinding porselin berwarna putih. Beberapa ruas jalan menuju tugu ini dari dermaga masih rusak. Namun yang menarik, sertifikat atas nama saya sebagai tanda bukti saya telah mengunjungi Tugu KM Nol ini diberikan langsung oleh Munawar Liza Zainal di dekat depan tugu.
Berbeda dengan kedatangan kali kedua saya ke Tugu KM Nol Indonesia ini, 22 September 2011 lalu bersama dengan Dirjen Pemasaran Pariwisata, Kemenbudpar Sapta Nirwandar dalam rangkaian event lomba kapal layar Sabang International Regatta (SIR) 2011 yang digelar sejak tanggal 13-25 September 2011 di tiga lokasi yakni Phuket (Thailand), Langkawi (Malaysia), dan Sabang, Pulau Weh, Aceh (Indonesia).
Saat tiba di tugu ini, seekor babi hutan mengejutkan saya dan sejumlah pengunjung lain. Semula saya mengira, babi berukuran sedang berwarna coklat gelap kehitaman itu adalah babi liar dari hutan. Ternyata dia babi jinak yang sejak kecil dipelihara oleh pemilik warung di seberang tugu.
Karena jinak, babi itu tak sungkan mendekati siapa pun yang memberikannya makanan kecil. Melihat tingkah sok akrabnya itu, beberapa pengunjung termasuk sopir membeli kacang kulit, opak sejenis kerupuk dari singkong berbentuk bulat pipih, dan keripik pisang di warung lalu memberikannya ke babi tersebut. Babi itu pun pesta besar. Sementara kera-kera hanya melihat aksi babi itu dan sesekali mencoba merebut makanan yang dilemparkan pengunjung ke arah babi. Rupanya kera-kera itu takut dengan babi itu.
Kehadiran seekor babi hutan jinak dan sekelompok kera di sekitar Tugu KM Nol tak bisa dipungkiri menghibur pengunjung yang datang. Pasalnya di tempat ini, tak banyak kegiatan yang bisa dilakukan, selain foto bersama atau sendiri berlatarbelakang tugu, menikmati pemandangan hamparan laut di tepi jalan, dan santai di warung sambil menikmati kelapa muda atau menyeruput kopi Aceh dengan makanan kecil ala kadarnya.
Namun saya mencatat ada perubahan lain, terutama kondisi lingkungan sekitar tugu saat ini yang nampak lebih bersih, kendati bekas coret-coretan tangan-tangan jahil di bebatuan masih membekas.
Kondisi tugu yang dibangun dan diresmikan tahun 1987 ini juga terlihat lebih cerah dengan penambahan cat berwarna orange kecoklatan. Dan yang tak kalah asyiknya, jalan menuju tugu sekarang ini sudah benar-benar beraspal mulus, yang menurut saya dapat dimanfaatkan untuk event triatlon internasional yakni lomba sepeda, lari marathon, dan ditambah lomba renang di salah satu perairan di Pulau Weh ini.
Sewaktu kembali menuruni jalan mulus itu, saya berharap semoga kondisi alam Pulau Weh dengan perbukitan berhutan lebat yang terjaga dengan baik. Begitu pun dengan perairan teluknya yang biru jernih, jalan beraspal mulus, dan juga kebersihannya, benar-benar terpelihara seterusnya, bukan hanya sebatas untuk dan saat penyelenggaraan SIR 2011.
Karena semua itu menjadi bagian dari daya tarik wisatawan baik lokal maupun mancanegara untuk bertandang ke pulau cantik ini selain karena keindahan, kenyamanan, dan keramahan warganya, sampai kapanpun.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar