Nonton Film Hollywood, Tak Perlu ke Negeri Tetangga
Kabar gembira buat penggemar film-film Hollywood, akhir bulan Juli ini 2 dari 4 film blockbuster dari negeri Paman Sam itu yakni Transformer: Dark of the Moon dan Harry Potter and the Deathly Hallows Part-2 akan tayang di Indonesia. Jadi rasanya tak perlu ke negeri orang hanya untuk melihat film khayalan tingkat tinggi ini. Mengapa pemerintah akhirnya mengalah?
Ada kabar cukup mengejutkan di jejaring sosial beberapa hari lalu. Sejumlah orang tajir negeri ini rame-rame ke Singapura untuk nonton film Hollywood yang tengah tayang di sejumlah negara, kecuali Indonesia.
Kabar ini sempat memerahkan wajah Menbudpar Jero Wacik. Bagaimana tidak, untuk urusan nonton saja, ada warga Indonesia yang sampai ke negara tetangga. Begitu dibela-belain. Seakan tak ada film nasional yang bagus. Seakan pemerintah tidak mampu mengurus film impor.
Bila kabar ini benar, jelas selain menampar wajah pemerintah pun merugikan negara ini, karena devisa negara lari ke negara orang lain meskipun itu kecil. Dan lagi-lagi Singapura yang diuntungkan dalam kondisi ini.
Di sisi lain, ini membuktikan masih begitu banyak warga kita yang begitu membangga-bangga karya bangsa lain, dan membelanya mati-matian dibanding produk bangsanya sendiri. Miris sekali.
Sampai ada yang curiga, jangan-jangan mereka cuma kaki tangan negara sumber film tersebut, yang sengaja melakukan itu agar pemerintah tunduk dan akhirnya membiarkan kembali film-film impor leluasa merajai negeri ini.
Ada juga yang bilang, mereka mencontek prilaku para petinggi dan pejabat termasuk keluarga dan kerabatnya yang nyatanya selama ini juga memakai dan mengelu-elukan segala macam produk made in luar negeri terutama dari negara kuat itu.
Kejutan lain, masih di jejaring sosial itu, tersiar 1 juta penggemar film-film Holllywood akan melakukan demonstrasi yang ditujukan kepada pemerintah lantaran film-film impor belum juga masuk ke Indonesia. Hmmmm, sampai segitunyakah?
Lagi-lagi ada yang menuding, jangan-jangan mereka itu cuma buatan para importir agar pemerintah segera menginzinkan kembali film impor masuk dengan pajak yang jelas menguntungkan buat mereka.
Benar atau tidak semua tudingan itu, yang pasti pemerintah telah mengeluarkan dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yakni PMK No. 90/PMK.011/2011 yang mengatur perubahan mendasar dalam sistem perhitungan bea masuk film impor dari sistem metrik menjadi durasi dan dari sistem tarif Ad Valerum menjadi Tarif Spesifik. Dan PMK No. 102/PMK.011/2011 yang mengatur dasar nilai lain dalam pengenaan PPN aan PPh atas pemanfaatan film impor di dalam daerah pabean.
Kedua PMK tersebut membuat Major Studio Hollywood yang tergabung dalam Motion Picture Association (MPA) melalukan commercial hold untuk mengekspor filmnya ke Indonesia sejak 15 Juli 2011.
PT Omega selaku pelaku usaha impor film pun mendapat kepercayaan sebagai mitra MPA untuk mengimpor 4 film blockbuster, dua di antarnya yakni film Transformer: Dark of the Moon dan Harry Potter and the Deathly Hallows Part-2 akan tayang akhir bulan Juli ini. Dua film lagi tengah dalam proses sensor.
Jero Wacik menjelaskan sebelumnya Indonesia mengimpor 200-an film setiap tahun. Tahun ini, selama periode Januari – Juli 2011 jumlah film impor hanya 75 judul yang diimpor oleh 9 perusahaan film yang aktif dari 65 perusahaan impor film yang terdaftar.
Akibat penurunan jumlah tersebut, sejumlah bioskop yang selama ini rajin dan bangga menayangkan film-film Hollywood yang belum tentu semuanya bagus, jadi sepi penonton. Konon kabarnya hampir terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawannya.
Untuk mencegah hal itulah, pemerintah akhirnya mengalah dan mengizinkan film impor kembali masuk dengan kemudahan yang selama ini mereka nikmati.
Dilematis
Keputusan ini menjadi dilematis. Di satu sisi Kemendupar ingin menjadikan film nasional menjadi tuan di negerinya sendiri dan kalau bisa menjadi tamu di negara orang lain atau dengan kata lain sanggup mengekspor film nasional ke mancanegara. Di sisi lain pemerintah juga tak mau terjadi pengangguran akibat tidak adanya film-film impor yang ditayangkan di bioskop.
Jalan keluarnya, kata Jero Wacik dengan meningkatkan jumlah film nasional bermutu. Dan tetap memberi kemudahan film impor masuk. “Kalau nanti jumlah film nasional sudah mencapai 300 judul per tahun misalnya, baru jumlah film impor dikurangi,’ jelasnya di Jakarta, Kamis (28/7/2011).
Sekarang Indonesia masih butuh film impor mengingat film nasional belum mampu memenuhi jumlah layar yang ada yakni 678 layar. Sedangkan film Indonesia baru mencapai 100 judul film tahun ini.
Untuk mendorong peningkatan jumlah dan mutu film Indonesia, lanjut Jero Wacik, pemerintah melakukan sejumlah tindakan antara lain mengeluarkan UU Perfilman No 33 tahun 2009 yang antara lain menghilangkan monopoli dalam usaha penyediaan dan penyebarluasan film impor.
Bahkan pemerintah menolkan pajak bahan baku film, dan mensubsidi pembuatan film nasional yang bertema kepahlawanan dan pembangunan karakter anak.
“Pemerintah juga membuat lembaga Indonesia Film Finance (IFF) untuk membantu perusahaan film nasional yang kesulitan biaya pembuatan film dengan meminjam uang di IFF,” terang Jero Wacik yang menghimbau masyarakat Indonesia untuk menonton film-film nasional sebagai bukti cinta produk bangsa sendiri dan turut memajukan pertumbuhan perfilman nasional.
Apa yang diupayakan pemerintah memang sudah baik. Namun bukan berarti karena memenuhi keinginan segelincir orang yang jelas-jelas hanya menbangga-banggakan film impor atau juga karena mereka hidupnya selama ini dari situ, kemudian pemerintah tunduk dan mengalah.
Jangan pula karena takut karena ancaman terjadinya PHK akibat tidak adanya film impor di bioskop atau karena tekanan dari pihak penghasil utama film impor, pemerintah akhirnya menyerah. Bukan pula berarti pemerintah terus mendiamkan kasus 3 perusahaan impor film yang berhutang dan merugikan negara ini.
Sebesar dan sehebat apapun upaya itu, kalau masyarakat kita termasuk para pejabat tinggi dan kerabatnya masih sok ngamrik, tidak mendukung atau anti film nasional karena dinilai tak sebagus film impor. Rasanya upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan film nasional menjadi tuan di negerinya sendiri pun berjaya di negeri orang, bakal impian belaka.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Ada kabar cukup mengejutkan di jejaring sosial beberapa hari lalu. Sejumlah orang tajir negeri ini rame-rame ke Singapura untuk nonton film Hollywood yang tengah tayang di sejumlah negara, kecuali Indonesia.
Kabar ini sempat memerahkan wajah Menbudpar Jero Wacik. Bagaimana tidak, untuk urusan nonton saja, ada warga Indonesia yang sampai ke negara tetangga. Begitu dibela-belain. Seakan tak ada film nasional yang bagus. Seakan pemerintah tidak mampu mengurus film impor.
Bila kabar ini benar, jelas selain menampar wajah pemerintah pun merugikan negara ini, karena devisa negara lari ke negara orang lain meskipun itu kecil. Dan lagi-lagi Singapura yang diuntungkan dalam kondisi ini.
Di sisi lain, ini membuktikan masih begitu banyak warga kita yang begitu membangga-bangga karya bangsa lain, dan membelanya mati-matian dibanding produk bangsanya sendiri. Miris sekali.
Sampai ada yang curiga, jangan-jangan mereka cuma kaki tangan negara sumber film tersebut, yang sengaja melakukan itu agar pemerintah tunduk dan akhirnya membiarkan kembali film-film impor leluasa merajai negeri ini.
Ada juga yang bilang, mereka mencontek prilaku para petinggi dan pejabat termasuk keluarga dan kerabatnya yang nyatanya selama ini juga memakai dan mengelu-elukan segala macam produk made in luar negeri terutama dari negara kuat itu.
Kejutan lain, masih di jejaring sosial itu, tersiar 1 juta penggemar film-film Holllywood akan melakukan demonstrasi yang ditujukan kepada pemerintah lantaran film-film impor belum juga masuk ke Indonesia. Hmmmm, sampai segitunyakah?
Lagi-lagi ada yang menuding, jangan-jangan mereka itu cuma buatan para importir agar pemerintah segera menginzinkan kembali film impor masuk dengan pajak yang jelas menguntungkan buat mereka.
Benar atau tidak semua tudingan itu, yang pasti pemerintah telah mengeluarkan dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yakni PMK No. 90/PMK.011/2011 yang mengatur perubahan mendasar dalam sistem perhitungan bea masuk film impor dari sistem metrik menjadi durasi dan dari sistem tarif Ad Valerum menjadi Tarif Spesifik. Dan PMK No. 102/PMK.011/2011 yang mengatur dasar nilai lain dalam pengenaan PPN aan PPh atas pemanfaatan film impor di dalam daerah pabean.
Kedua PMK tersebut membuat Major Studio Hollywood yang tergabung dalam Motion Picture Association (MPA) melalukan commercial hold untuk mengekspor filmnya ke Indonesia sejak 15 Juli 2011.
PT Omega selaku pelaku usaha impor film pun mendapat kepercayaan sebagai mitra MPA untuk mengimpor 4 film blockbuster, dua di antarnya yakni film Transformer: Dark of the Moon dan Harry Potter and the Deathly Hallows Part-2 akan tayang akhir bulan Juli ini. Dua film lagi tengah dalam proses sensor.
Jero Wacik menjelaskan sebelumnya Indonesia mengimpor 200-an film setiap tahun. Tahun ini, selama periode Januari – Juli 2011 jumlah film impor hanya 75 judul yang diimpor oleh 9 perusahaan film yang aktif dari 65 perusahaan impor film yang terdaftar.
Akibat penurunan jumlah tersebut, sejumlah bioskop yang selama ini rajin dan bangga menayangkan film-film Hollywood yang belum tentu semuanya bagus, jadi sepi penonton. Konon kabarnya hampir terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) para karyawannya.
Untuk mencegah hal itulah, pemerintah akhirnya mengalah dan mengizinkan film impor kembali masuk dengan kemudahan yang selama ini mereka nikmati.
Dilematis
Keputusan ini menjadi dilematis. Di satu sisi Kemendupar ingin menjadikan film nasional menjadi tuan di negerinya sendiri dan kalau bisa menjadi tamu di negara orang lain atau dengan kata lain sanggup mengekspor film nasional ke mancanegara. Di sisi lain pemerintah juga tak mau terjadi pengangguran akibat tidak adanya film-film impor yang ditayangkan di bioskop.
Jalan keluarnya, kata Jero Wacik dengan meningkatkan jumlah film nasional bermutu. Dan tetap memberi kemudahan film impor masuk. “Kalau nanti jumlah film nasional sudah mencapai 300 judul per tahun misalnya, baru jumlah film impor dikurangi,’ jelasnya di Jakarta, Kamis (28/7/2011).
Sekarang Indonesia masih butuh film impor mengingat film nasional belum mampu memenuhi jumlah layar yang ada yakni 678 layar. Sedangkan film Indonesia baru mencapai 100 judul film tahun ini.
Untuk mendorong peningkatan jumlah dan mutu film Indonesia, lanjut Jero Wacik, pemerintah melakukan sejumlah tindakan antara lain mengeluarkan UU Perfilman No 33 tahun 2009 yang antara lain menghilangkan monopoli dalam usaha penyediaan dan penyebarluasan film impor.
Bahkan pemerintah menolkan pajak bahan baku film, dan mensubsidi pembuatan film nasional yang bertema kepahlawanan dan pembangunan karakter anak.
“Pemerintah juga membuat lembaga Indonesia Film Finance (IFF) untuk membantu perusahaan film nasional yang kesulitan biaya pembuatan film dengan meminjam uang di IFF,” terang Jero Wacik yang menghimbau masyarakat Indonesia untuk menonton film-film nasional sebagai bukti cinta produk bangsa sendiri dan turut memajukan pertumbuhan perfilman nasional.
Apa yang diupayakan pemerintah memang sudah baik. Namun bukan berarti karena memenuhi keinginan segelincir orang yang jelas-jelas hanya menbangga-banggakan film impor atau juga karena mereka hidupnya selama ini dari situ, kemudian pemerintah tunduk dan mengalah.
Jangan pula karena takut karena ancaman terjadinya PHK akibat tidak adanya film impor di bioskop atau karena tekanan dari pihak penghasil utama film impor, pemerintah akhirnya menyerah. Bukan pula berarti pemerintah terus mendiamkan kasus 3 perusahaan impor film yang berhutang dan merugikan negara ini.
Sebesar dan sehebat apapun upaya itu, kalau masyarakat kita termasuk para pejabat tinggi dan kerabatnya masih sok ngamrik, tidak mendukung atau anti film nasional karena dinilai tak sebagus film impor. Rasanya upaya yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan film nasional menjadi tuan di negerinya sendiri pun berjaya di negeri orang, bakal impian belaka.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar