Wayang Suket Slamet Gundono Mengocok Perut
Sejak awal sampai akhir pertunjukan Wayang Suket yang didalangi Slamet Gundono, mengocok perut penonton di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Rabu malam, (6/10/2010). Wayang kontemporer yang tampil dalam perhelatan seni kelas dunia Art Summit Indonesia 2010 ini pantas disebut wayang “gado-gado”, paduan unsur teater tradisi seperti lenong, ketoprak, dan makyong serta musik dengan melakonkan cerita yang aktual secara jenaka.
Lewat lakon bertajuk “Minggatnya Cebolang”, salah satu fragmen petikan dari Serat Centini yang diadaptasi oleh Elizabeth D. Inandiak, wartawan Perancis yang telah lama menggeluti kebudayaan Indonesia, Ki Dalang Gundono bersama komunitas Wayang Suket-nya ini tetap konsisten menggali dan mengembangkan kearifan lokal (wayang) dengan pendekatan kontemporer.
Dibilang kontemporer, sebab dalam berwayang, jebolan ISI Surakarta ini keluar dari kenormalannya. Dia tidak berpihak kepada gaya Surakarta maupun gaya Yogyakarta yang selama ini kita kenal. Dia menjadikan apapun, termasuk dirinya sebagai wayang untuk mengalirkan lakon.
Dari sisi postur saja, dalang ini sudah menyedot perhatian. Bukan saja bertubuh tambun bak seorang sumo dari negeri matahari Jepang, tapi juga nyentrik. Dia sengaja tampil tak berbaju (tapi tetap bercelana). Bagian tubuh atasnya yang berlemak-lemak dibiarkan terbuka. Penonton dengan jelas dapat melihat kedua buah dadanya yang lembek dan menjuntai, mirip payudara perempuan tua gemuk.
Kehadiran perempuan paruh baya di sampingnya, Elizabeth D. Inandiak yang bertugas membacakan narasi mencuatkan kesan kontras sekaligus nilai tambah yang tak biasa.
Pun dengan perangkat yang digunakan seperti sapu, tirai kelambu, kasur kapuk, alat pukul rebana, dan sarung yang dipakai dua aktornya yakni Hanindan dan Ida Lala sampai laptop yang digunakan Elisabeth untuk membaca skrip lakon tersebut. Secara keseluruhan menghadirkan nuansa tradisional sekaligus modernitas di sana.
Gaya berdalangnya pun nyaris 360 derajat berbeda dengan gaya berdalang para pedalang wayang kulit umumnya. Dia duduk dimuka berhadapan dengan penonton. Mikropon digantungkan di lehernya dengan seutas tali. Dia kadang berdiri, berjalan, berjoget, bahkan berguling-guling. Pokoknya seenak udelnya. Seenak dia menembang sambil memetik ukelele_alat petik tradisional.
Yang menarik lagi bahasa verbal yang digunakan juga campur aduk. Paduan antara Bahasa Jawa Tegal, Bahasa Indonesia sampai Bahasa Inggris dengan logat dan pengucapan yang lepas dan kocak. Kendati tidak semua bahasa verbalnya dipahami penononton, tapi anehnya pesan yang ingin disampaikan tetap sampai. Bahkan lebih dari itu, penonton dibuat terpingkal-pingkal. Tak urung ruangan GKJ yang biasa hening saat menyaksikan pementasan seni kelas tinggi, malam itu justru sebentar-sebentar bergemuruh oleh suara tawa puas penontonnya.
Kendati pertunjukannya terasa keluar masuk antara absurditas dan realitas, terang dan samar-samar. Namun berkat kemampuannya mengolah, menjaga, dan menyeimbangkan berbagai unsur pentas, secara keseluruan pentasnya enak dinikmati, menghibur, dan sukses membuat penonton tak beranjang dari kursinya sampai akhir.
Penampilan Slamet Gundono semalam terlihat kian santai, akrab, dan tentu saja tanpa menghilangkan greget kreativitas seninya yang berbeda itu. Dia paham benar bagaimana mengatur ritme pertunjukkannya agar penontonnya tidak jenuh bahkan sebaliknya terus terpikat. Itu membuktikan bahwa dia memang sudah mengantongi banyak pengalaman di dunia pertunjukkan dalam dan luar negeri.
Dan yang pasti, Slamet Gundono dengan komunitas Wayang Suket-nya bukan cuma berhasil memadukan unsur tradisi dan modern dalam pertunjukan wayang yang berbeda, segar, dan nyentrik. Pun sekaligus menanamkan karakter bangsa yang kuat di tengah gempuran budaya global.
Pengembaraan Jatidiri
Lakon "Minggatnya Cebolang" ini berkisah tentang remaja nakal bernama Cebolang yang meninggalkan orangtuanya, Syek Akhadiyat untuk mengembara mencari jatidiri. Dalam pengembaraannya dia harus menjalani carut-marut kehidupan. Sampai dia melampiaskan nafsu syahwatnya dengan ronggeng, janda suci, bahkan dengan penari reog. Akhirnya dia bertemu dengan seorang petapa suci yang mengajarinya kisah Dewa Ruci hingga ia menemukan tuhan dan jatidirinya.
Kisah pengembaraan Cebolang yang dibawakan dengan gaya pewayangan khas Ki Dalang Slamet Gundono dan komunitas Wayang Suket-nya ini, masih akan tampil lagi malam ini pukul 19.00 WIB di GKJ.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Lewat lakon bertajuk “Minggatnya Cebolang”, salah satu fragmen petikan dari Serat Centini yang diadaptasi oleh Elizabeth D. Inandiak, wartawan Perancis yang telah lama menggeluti kebudayaan Indonesia, Ki Dalang Gundono bersama komunitas Wayang Suket-nya ini tetap konsisten menggali dan mengembangkan kearifan lokal (wayang) dengan pendekatan kontemporer.
Dibilang kontemporer, sebab dalam berwayang, jebolan ISI Surakarta ini keluar dari kenormalannya. Dia tidak berpihak kepada gaya Surakarta maupun gaya Yogyakarta yang selama ini kita kenal. Dia menjadikan apapun, termasuk dirinya sebagai wayang untuk mengalirkan lakon.
Dari sisi postur saja, dalang ini sudah menyedot perhatian. Bukan saja bertubuh tambun bak seorang sumo dari negeri matahari Jepang, tapi juga nyentrik. Dia sengaja tampil tak berbaju (tapi tetap bercelana). Bagian tubuh atasnya yang berlemak-lemak dibiarkan terbuka. Penonton dengan jelas dapat melihat kedua buah dadanya yang lembek dan menjuntai, mirip payudara perempuan tua gemuk.
Kehadiran perempuan paruh baya di sampingnya, Elizabeth D. Inandiak yang bertugas membacakan narasi mencuatkan kesan kontras sekaligus nilai tambah yang tak biasa.
Pun dengan perangkat yang digunakan seperti sapu, tirai kelambu, kasur kapuk, alat pukul rebana, dan sarung yang dipakai dua aktornya yakni Hanindan dan Ida Lala sampai laptop yang digunakan Elisabeth untuk membaca skrip lakon tersebut. Secara keseluruhan menghadirkan nuansa tradisional sekaligus modernitas di sana.
Gaya berdalangnya pun nyaris 360 derajat berbeda dengan gaya berdalang para pedalang wayang kulit umumnya. Dia duduk dimuka berhadapan dengan penonton. Mikropon digantungkan di lehernya dengan seutas tali. Dia kadang berdiri, berjalan, berjoget, bahkan berguling-guling. Pokoknya seenak udelnya. Seenak dia menembang sambil memetik ukelele_alat petik tradisional.
Yang menarik lagi bahasa verbal yang digunakan juga campur aduk. Paduan antara Bahasa Jawa Tegal, Bahasa Indonesia sampai Bahasa Inggris dengan logat dan pengucapan yang lepas dan kocak. Kendati tidak semua bahasa verbalnya dipahami penononton, tapi anehnya pesan yang ingin disampaikan tetap sampai. Bahkan lebih dari itu, penonton dibuat terpingkal-pingkal. Tak urung ruangan GKJ yang biasa hening saat menyaksikan pementasan seni kelas tinggi, malam itu justru sebentar-sebentar bergemuruh oleh suara tawa puas penontonnya.
Kendati pertunjukannya terasa keluar masuk antara absurditas dan realitas, terang dan samar-samar. Namun berkat kemampuannya mengolah, menjaga, dan menyeimbangkan berbagai unsur pentas, secara keseluruan pentasnya enak dinikmati, menghibur, dan sukses membuat penonton tak beranjang dari kursinya sampai akhir.
Penampilan Slamet Gundono semalam terlihat kian santai, akrab, dan tentu saja tanpa menghilangkan greget kreativitas seninya yang berbeda itu. Dia paham benar bagaimana mengatur ritme pertunjukkannya agar penontonnya tidak jenuh bahkan sebaliknya terus terpikat. Itu membuktikan bahwa dia memang sudah mengantongi banyak pengalaman di dunia pertunjukkan dalam dan luar negeri.
Dan yang pasti, Slamet Gundono dengan komunitas Wayang Suket-nya bukan cuma berhasil memadukan unsur tradisi dan modern dalam pertunjukan wayang yang berbeda, segar, dan nyentrik. Pun sekaligus menanamkan karakter bangsa yang kuat di tengah gempuran budaya global.
Pengembaraan Jatidiri
Lakon "Minggatnya Cebolang" ini berkisah tentang remaja nakal bernama Cebolang yang meninggalkan orangtuanya, Syek Akhadiyat untuk mengembara mencari jatidiri. Dalam pengembaraannya dia harus menjalani carut-marut kehidupan. Sampai dia melampiaskan nafsu syahwatnya dengan ronggeng, janda suci, bahkan dengan penari reog. Akhirnya dia bertemu dengan seorang petapa suci yang mengajarinya kisah Dewa Ruci hingga ia menemukan tuhan dan jatidirinya.
Kisah pengembaraan Cebolang yang dibawakan dengan gaya pewayangan khas Ki Dalang Slamet Gundono dan komunitas Wayang Suket-nya ini, masih akan tampil lagi malam ini pukul 19.00 WIB di GKJ.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar