Kalabendu, Paduan Musik Unik & Setting Artistik
Seperti apa jadinya bila slendro dan pelog digabungkan menjadi satu jalinan 9 nada alias Laras Longdro? Seperti apa bentuknya bila komposisi itu dikolaborasikan dengan wayang dan tari? Hmmmm... jelas unik. Dan itu berhasil disuguhkan Blacius Subono dalam kreasi terbarunya yang bertajuk “Kalebendu” di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), Selasa dan Rabu malam (12 & 13/10/2010). Pentasnya itu masih dalam rangkaian Art Summit Indonesia 2010 yang digelar Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar).
Dari ramuan slendro dan pelog ke dalam satu perangakat gamelan itu, Blacius Subono (56 thn) seniman Indonesia jebolan STSI (kini ISI) Surakarta berhasil mengeksplorasi bunyi dan irama yang kaya tempo. Kadang keras..kadang lembut. Kadang cepat..kadang lambat. Sejenak penonton dihadiahi alunan suara yang tak biasa dari seperangkat gamelan dan juga komposisi suara para penyanyinya.
Dan seniman multitalenta yang populer sebagai pencipta sejumlah gending pakeliran untuk sejumlah dalang terkenal ini pun mampu mengkombinasikan ramuan itu dengan wayang dan tari untuk menggambarkan masalah-masalah aktual di dunia ini, khususnya di negeri ini yang terangkum dalam “Kalabendu”.
“Kalabendu” berkisah tentang hakikat kewajiban manusia di dunia sebagai titah Sang Maha Kuasa. Sayangnya kewajiban itu sering bergeser akibat terjerat nafsu. Berlomba-lomba menguasai dunia hingga kerap terjadi benturan antarpribadi dan kelompok. Manusia kehilangan kasih sayang, saling berebut kekuasaan, dan merusak alam demi memperkaya sendiri. Manusia hidup dalam kegelapan.
Akibatnya “Kalabendu” pun melanda dunia berupa bencana alam, tsunami, gempa bumi, tanah longsor, banjir, gunung meletus, kebakaran, angin puting beliung, dan lainnya yang menorehkan penderiaan dan luka mendalam. Ada yang bilang semua itu hukuman atau peringatan Sang Pencipta. Namun yang pasti semua bencana itu menjadi ujian buat manusia, apakah sadar lalu memperbaiki segala kesalahan untuk meraih hari esok yg lebih cerah? Atau sebaliknya, tetap terkukung di lembah dosa hingga bermasa depan gelap gulita.
Blacius Subono berhasil menggambarkan kisah itu dalam paduan musik unik, wayang, dan tari teatrikal. Sayangnya, pada bagian musik dengan tembang ber-Bahasa Jawa diawal pentasnya, durasinya terlalu lama hingga membuat beberapa penonton terkantuk-kantuk. Namun di bagian wayang dan tari teatrikal, tersaji arstistik hingga berhasil membuat penonton kembali ‘terbangun’ dan memberi tepukan hangat di ujung pentas.
Andai saja porsi penampilan peraih penghargaan Satya Lencana Budaya dari Kelembagaan Kebudayaan Jawa dan Anugerah Seni dari Mendiknasbud RI ini di panggung lebih lama, mungkin “Kalabendu” jadi lebih menarik. Atau mungkin ini memang triknya untuk menghindari kesan terlalu unjuk gigi kehebatan multitaletanya itu. Yang jelas apapun alasannya, secara keseluruhan suguhan kreasi terbaru komposer sejumah komposisi karawitan ini, memberi warna tersendiri dalam Art Summit Indonesia keenam ini.
Pentas seni dunia Art Summit Indonesia 2010 masih menyisakan sejumlah penampil terbaik. Ada Leine Roebana, tarian dari Belanda yang akan tampil pada 15 & 16 Oktober di Graha Bhakti Budaya, Pusat Kesenian Taman Ismasil Marzuki (PK-TIM), Tari Sekar Kliwon oleh Nanu Munajar (Indonesia) di GKJ pada 16 & 17 Oktober, music Talea Ensemble (USA) di Teater Kecil PK-TIM pada 20 & 21 Oktober, musik Pierrot Lunaire (Austria) di Salihara pada 22 & 23 Oktober, dan pamungkasnya penampilan Nan Jombang Dance Company, tarian dari Indonesia di GKJ pada 23 dan 24 Oktober 2010.
Naskah & Foto: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar