. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Jumat, 21 Mei 2010

Jogja dalam Secangkir Wedang Ronde



Jogja malam hari penuh warna. Bukan sekadar pekat, bukan cuma remang-remang. Banyak tingkah laku yang dihadirkan penghuninya, terlebih pengunjungnya. Dan pastinya, ada kehangatan lain yang disuguhkan kota romantis ini. Ya..seperti secangkir wedang ronde, begitulah Jogja jelang malam hingga pagi. Beragam isinya, bermacam warnanya, dan tentu saja menghangatkan.

Kelam sudah menyelimuti langit Jogja saat Kereta Taksaka dari Stasiun Gambir Jakarta berhenti di Stasiun Tugu Jogja. Hampir 10 jam kereta eksekutif itu melaju di atas rel menempuh jarak ratusan kilometer.

“Becak Oom, lima ribu saja diantar sampai hotel,” rayu salah seorang tukang becak yang berderet di depan pintu keluar Stasiun Tugu. Beberapa tukang becak lainnya juga senada menawarkan jasa antarnya. Namun tetap santun.

Anehnya ketika ditanya berapa ongkos ke Museum Benteng. Salah seorang tukang becak memasang tarif Rp 20.000. “Tadi katanya lima ribu sampai hotel,” kata rekanku aneh. “Jauh Om, harus muter dulu. Yo wis 10 ribu aja lah,” balasnya.

Merasa kecele, akhirnya kami menyetopkan andong, kereta berkuda. Setelah sepakat dengan harga Rp 15.000, kami melaju. Tuk-tik-tak-tik-tuk, begitu suara sepatu kuda beradu dengan aspal Malioboro, jalan utama wisata kota ini.

Menyusuri Malioboro malam hari dengan berandong, menemukan warna Jogja tersendiri. Lampu-lampu jalan khas Malioboro bercahaya, tak redup tak pula begitu terang. Pijar lampu neon dan bohlam di sepajang kiri-kanan jalan ini menandakan kehidupan di jalan ini terus menggeliat, meski malam kian merayap.

Tak pernah mati, begitulah suasana jalan yang gaungnya sudah memancanegara ini. Di sebelah kanan, deretan pedagang kaki lima yang menjual aneka macam batik, aksesoris, kaos, tas, dan sandal ramai diserbu pembeli. Kondisi serupa terlihat di beberapa toko batik ternama di jalan itu yang menjual aneka batik yang lebih berkualitas.

Kusir, atau sopir andong terlihat lebih ekstra hati-hati melawati jalan ini. Maklum padat. Di sebelah kiri ada beberapa andong dan deretan becak yang tengah parkir tertata. Di sebelah kanan, ramai oleh lalu-lalang pelancong yang tengah menikmati suasana malam Malioboro. Hampir saja salah seorang perempuan muda dicium kuda andong ini karena jalannya terlalu ke tengah.

Setibanya di depan gerbang masuk Benteng Vredeburg, sejumlah pelancong tengah berfotoria berlatangbelakang gerbang museum kokoh ini. “Ambil yang keren ya, buat foto profil facebook gue,” seru salah seorang di antaranya. Sebelum gerbang di depan parkir terpampang beberapa spanduk kegiatan di museum ini, salah satunya Seminar Hari Museum Indonesia yang diselenggarakan Direktorat Museum, Ditjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan pada 22-23 Mei 2010.

Pendatang dari berbagai kota, rupanya yang ‘menghidupkan’ kota ini dibanding penghuninya. Warga Jogja, justru sudah banyak yang terlelap usai didera rutinitas seharian. Hanya segelincir yang masih setia melayani pelancongnya, terutama para pedagang, pemilik becak dan andong serta pengamen.

Begitu pula dengan kaum mudanya. Sebagian besar yang hinggap di trotoar Malioboro hingga Museum Benteng adalah para pelancong yang tengah berlibur. Anak-anak Jogja justru kena wajib belajar jam 7 sampai dengan 9 malam.

Di kantong-kantong hiburan malam Jogja seperti tempat dugem, karoke dan lainnya, wajah kaum muda terutama mahasiswa mendominasi. Dan juga lagi-lagi para pelancong yang gemar ajip-ajip.

Buat berlibur, Jogja memang tempatnya. Begitu pun bagi penikmat wisata kuliner. Beragam kuliner tradisional yang disajikan kota gudeg ini. Bukan cuma gudeg dan bakpia tapi bermacam kudapan lain seperti wedang ronde, nasi goreng, dan mie jawa khas Jogja.

Harganya? jelas terjangkau. Jangan lagi takut dikemplang meski masih ada beberapa pedagang yang ‘nakal’, memanfaatkan kesempatan dengan menaikkan harga sedikit tinggi bila tahu yang membelinya pendatang.

Namun semahal-mahal harga yang dipatok, tak semahal harga di kota lain. Sampai ada anggapan, semahal-mahalnya di Jogja tetap terjangkau oleh kalangan mahasiswa. Makan nasi goreng misalnya masih ada yang seharga Rp 5.000 per porsi. Kos dengan fasilitas lengkap ber-AC dan kamar mandi di dalam, harga sewanya ada yang Rp 500.000 per bulan. Coba di kota lain, rasanya sulit mendapatkan harga semenarik itu.

Penginapan murah dan lumayan bersih mulai dari harga puluhan ribu per malam pun mudah ditemukan di dekat Malioboro, Stasiun Tugu dan pusat kota ini. Itu juga yang membuat turis lokal dan mancanegara kelas backpaker betah tinggal berlama-lama.

Harga Terjangkau
Itulah salah satu daya tarik Jogja hingga membuat banyak orang dari berbagai penjuru kota dan daerah lain mengunjungi dan menghuninya. Ada yang kuliah dan tentu saja berwisata bahkan tak sedikit yang bekerja dan menetap di kota ini.

Namun untuk urusan cari uang, banyak yang bilang Jogja bukan tempatnya. Buktinya banyak lulusan kuliahnya yang mencari pekerjaan di luar Jogja, terutama ke Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Batam, Bintan, dan kota lainnya.

“Ya benar, Jogja itu enak buat santai dan tinggal. Tapi kurang enak buat cari duit,” kata Memet, lulusan salah satu universitas di Jogja yang baru habis kontrak kerja di Bintan, Kepulauan Riau kepada penulis di Bandara Hang Nadim, Batam saat hendak bertolak ke Jogja.

Beda lagi bagi I’in. Perempuan berjilbab asal Indramayu, Jawa Barat ini justru menjadikan Jogja sebagai kota tumpuan hidupnya kini. Usai menamatkan kuliah di UII, lalu dia bekerja di salah satu perusahaan swasta dan ngekos di kota pelajar ini. “Meski UMR-nya kecil dibanding kota besar lain, tapi mencukupi untuk hidup karena serba terjangkau,” jelasnya.

Malam kian larut. Di sepanjang Malioboro hingga Museum Benteng masih berdenyut. Denyutannya terlihat dari aktivitas pelancong yang duduk-duduk di teras-teras trotoar sepanjang jalan, terutama di depan Benteng dan Istana Presiden. Ada yang sambil menikmati wedang ronde di depan gerbang Paguyuban Pasar Sore Malioboro (PPSM), dekat dengan Museum Benteng. Harga secangkirnya Rp 5.000 diiringi alunan lagu rekaman dangdut Isi Dahlia dan Ike Nurjanah. Ada juga yang sedang menyantap sate ayam murah meriah Rp 3.000, isi 10 tusuk atau sekadar menyuruput kopi dengan dihibur nyanyian pengamen jalanan.

Saat asyik menikmati secangkir wedang ronde, ada pesan pendek masuk di ponsel. “Mas..jalan aja ke ujung Malioboro, di sana ada Sarkem. Tinggal pilih aja perempuan yang mas suka buat malam ini,” begitu isinya.

Rupanya rekanku yang menetap di Jogja itu, ingin menawarkan ‘kehangatan’ lain dari kota bersejarah ini. Aku cuma senyum membaca pesan itu lalu membalasnya. “Ah, nanti kalau ke sana, aku dipilih jadi lurah Sarkem lagi hehe”.

Seperti secangkir wedang ronde, begitulah 'warna' Jogja kala malam hari. Segala macam tingkah pola penghuni dan pelancongnya ibarat isi wedang tersebut. Ada kolang-kalingnya, kelepon putih berisi gula, kacang tanah, potongan roti kotak-kotak kecil, dan tentu saja air jahe yang menghangatkan tubuh peminumnya.

Bila dulu ada pameo, belum ke Jogja kalau belum ke Tugu. Rasanya kini bisa ditambah, belum sempurna ke Jogja kalau belum menikmati secangkir wedang ronde. Ah Jogja, memang bikin kangen sejogja-jogjanya.

Naskah: Adji Kurniawan (adji_travelplus@yahoo.com)
Foto: Adji & Wiko

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP