Melongok Baduy, Negeri Berpagar Tabu
Wilayah Baduy, Banten hanya berjarak sekitar 165 km dari Jakarta. Informasi dan segala macam dampaknya, jelas mudah masuk. Apalagi Cilegon dan Serang, dua kota terdekat terus berkembang. Berkat bermacam tabu atau pantangan serta kesetiaan menjalankan pikukuh adat leluhur, budaya dan alam mereka relatif tetap terjaga hingga menarik banyak pengunjung.
Orang Baduy atau urang Kanekes (begitu mereka lebih suka menyebut dirinya) menetap di sekitar lembah bukit dan Sungai Kanekes secara berkelompok.
Masyarakatnya terbagi dua kelompok, yakni Baduy Dalam (Tangtu) dan Baduy Luar (Panamping). Namun warga Panamping tetap menjadi bagian dari komunitas adat Baduy. Sebab sebagai urang Kanekes, mereka harus patuh kepada semua ketentuan pu’un selaku kepala adat. Dan mereka memiliki cara tersendiri untuk menangkis kepungan beragam budaya modern.
Laki-laki Tangtu biasanya mengenakan baju putih berlengan panjang tanpa kerah, tak berkancing dan dijahit dengan tangan serta kain sarung hitam yang dililitkan pada bagian bawah. Wanitanya berkebaya putih dengan kain hitam.
Adapun pria Panamping berpakaian serba hitam. Begitupun dengan wanitanya, berkebaya hitam atau biru tua. Ciri khas lainnya, orang Baduy selalu mengenakan ikat kepala agar terlihat rapih. Golok selalu terselip dipinggang. Tak bersandal apalagi bersepatu ke mana pun pergi.
Wilayah Tangtu terdiri atas tiga desa yakni Cikartawarna, Cibeo, dan Cikeusik. Ketiga desa inti ini hanya boleh dihuni oleh orang Baduy yang sanggup menjalankan seluruh aturan adat secara utuh. Di antaranya, urang tangtu dilarang merokok, berbuat kriminal seperti berkelahi apalagi membunuh, pantang bercerai setelah menikah dan tidak boleh naik kendaraan saat berpergian. Jadi mereka harus berjalan kaki tanpa alas kaki jika pergi ke Merak, Jakarta atau ke Bandung.
Kawasan Tangtu haram dimasuki sejumlah produk modern seperti listrik dan alat-alat eloktronik. Dan urang tangtu percaya kalau menyimpan barang terlarang itu, akan terkena mamala (kutukan). Untuk memantau benda-benda haram, pada saat-saat tertentu setiap rumah digeledah oleh ‘petugas penertiban’ Baduy yang disebut baresan atas perintah pu’un.
Urang Panamping tersebar di bagian Barat, Timur, dan Utara dari wilayah tangtu. Tabu buat mereka lebih ringan daripada urang tangtu. Misalnya, mereka tidak diharamkan naik kendaraan jika ingin saba kota.
Namun, baik urang tangtu maupun panamping, pantang bersekolah. Menurut mereka bersekolah membuat orang jadi pintar. Dan biasanya kalau sudah pintar kadang menjadi serakah, menghalalkan segala cara dan akhirnya menolak semua tabu adat.
Ilmu yang diturunkan orangtua pada anaknya hanya sebatas ngored atau cara bertani ladang, menjaga kelestarian alam dan memanfaatkannya dengan bijaksana. Jika pantangan-pantangan itu dilanggar, maka pelakunya akan berhadapan dengan sejumlah sanksi yang telah dirumuskan turun-temurun. Mulai dari teguran lisan hingga sanksi terberat, dikeluarkan dari wilayah Baduy untuk selamanya.
Tabu juga berlaku buat orang non Baduy yang bertamu. Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid dilarang masuk ke wilayah Tangtu. Dengan kata lain turis asing diperbolehkan memasuki daerah Panamping saja. Jika ketentuan adat ini dilanggar maka yang kena kuwalat atau pamali adalah orang Baduy sendiri. Pengunjung pun hanya diijinkan bermalam, tapi tak lebih dari semalam.
Tamu tidak diijinkan masuk ke daerah Tangtu pada masa puasa (kawalu). Tidak boleh memotret atau mengambil gambar di lokasi tangtu. Sebab orang Baduy yang mengetahui dirinya dipotret di wilayah ini, harus berpuasa satu hari penuh. Bahkan di wilayah Panamping, ada orang Baduy Luar yang tidak bersedia dipotret. Jadi sebaiknya minta ijin lebih dulu.
Sungai merupakan sumber air utama orang Baduy untuk keperluan sehari-hari, memasak, mencuci, dan mandi. Mereka amat peduli akan kelestarian sungai hingga melarang penggunaan bermacam produk yang dapat mencemarkan airnya seperti sabun, deterjen, shampoo, dan tapal gigi. Kalau ingin ke pancuran atau berjalan di malam hari, gunakan senter seminimal mungkin. Kalau berbicara, tertawa atau bercanda sebaiknya dikontrol, jangan sampai menimbulkan kegaduhan.
Begitulah pantangan atau tabu yang memagari negeri Baduy. Karena tabu itu pula komunitas masyarakat adat satu ini menjadi begitu khas sekaligus menarik perhatian banyak orang, peneliti, wisatawan, dan lainnya karena mampu menjaga keberadaan budaya, kearifan lokal (local wisdom), dan alamnya sekalipun terus digempur keras modernisasi.
Naskah & foto: Adji TravelPlus (Jaberio Petrozoa)
0 komentar:
Posting Komentar