Begini Cara Baduy Melindungi Alam dan Budaya Mereka dari Dampak Negatif Pengunjung
Masyarakat adat Baduy yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten punya cara tersendiri dalam menjaga/melindungi keberadaan alam dan budaya mereka dari dampak negatif yang bisa saja ditimbulkan dari kedatangan pengunjung (wisatawan).
Berdasarkan amatan langsung TravelPlus Indonesia @adjitropis beberapa kali ke Baduy, ada beberapa cara yang mereka lakukan.
Contohnya dalam menjaga/melestarikan (konservasi) alam wilayahnya, mereka melarang setiap pengunjung nyabun (memakai sabun) dan bermacam produk mandi dan bersih-bersih/mencuci lain seperti shampoo, odol/pasta gigi, dan deterjen jika mandi di sungainya.
Aneka produk tersebut mereka nilai dapat mencemarkan sungai. Bahkan dibeberapa tempat, pengunjung dilarang mandi langsung di sungainya.
Aturan itu pula membuat keberadaan sungai di wilayah mereka yang hanya berjarak sekitar 172 Km sebelah barat ibukota Jakarta atau sekitar 65 Km sebelah Selatan Serang, ibukota Provinsi Banten ini, terlihat bersih dan berair jernih kehijauan, terlebih di musim panas.
Pengunjung juga diharamkan sembarang menebang pohon apalagi merusak hutan. Bahkan kalau ada warga ingin melakukan penebangan harus seijin lembaga adat.
Kawasan Baduy hingga kini pun sengaja tidak mau memiliki jalan aspal untuk menghindari mudahnya orang luar keluar masuk hutan mereka.
Andai ada warga luar yang ingin masuk hutan hak ulayat Baduy, tidak diperkenankan membawa angkutan, seperti motor, mobil, dan truk sebab kendaraan-kendaraan tersebut bisa merusak hutan kawasan Baduy.
Satu lagi yang harus diindahkan, jika di wilayah Baduy Luar atau disebut Panamping pengunjung masih bisa memotret maka di wilayah Baduy Dalam atau Tangtu memotret tidak diperbolehkan.
Jadi di wilayah Tangtu atau Baduy Dalam yang terdiri atas tiga kampung inti yakni Cikartawarna, Cibeo, dan Cikeusik, sebenarnya pengunjung dilarang mengabadikan orang Baduy atau menggunakan HP, kamera, dan radio.
Sampai saat ini ada beberapa pintu masuk ke Baduy, namun yang paling sering dilewati pengunjung lewat Ciboleger.
Lalu bagaimana cara orang Baduy melindungi budaya mereka dan prilaku warganya dari kebiasaan buruk yang dibawa pengunjung?
Ternyata, mereka memiliki ketentuan adat tak tertulis yang wajib dipatuhi setiap pengunjung. Misalnya, mereka tidak mengijinkan pengunjung bermalam lebih dari satu malam.
Tempat bermalamnya pun di rumah orang Baduy yang sudah biasa menerima tamu atau ditunjuk oleh pimpinan tertingginya yang disebut Puun.
Tugas Puun sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat, dalam menjalankan tugasnya, dia dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya.
Bermalam di rumah orang Baduy, jelas atmosfir yang didapat amat berbeda.
Seluruh kawasan Baduy, baik di luar maupun di dalam pantang berlistrik. Penerang satu-satunya obor yang minyaknya diolah sendiri.
Lantaran tak berlistrik jangan harap menemukan peralatan elektronik seperti TV, radio, kulkas, kompor gas dan lainnya. Semua itu memang dilarang masuk.
Di dalam rumah orang Baduy Dalam, hanya ada tungku masak dari kayu. Amat minim perabotan, hanya ada gelas dari bambu dan piring juga dari batok kelapa.
Rumahnya berbentuk panggung yang ditopang beberapa balok kayu dan berbilik serta beralas bambu.
Setibanya di salah satu warga Baduy Dalam, setelah menempuh perjalanan sekitar 3-5 jam tergantung fisik dari wilayah Baduy Luar, pengunjung bisa bercengkerama dengan sang penghuni rumah, biasanya kepala rumah tangga (bapak).
Pengunjung bisa bertanya apa saja seputar kehidupan keseharian mereka. Sementara ibu dan anak-anaknya memasak nasi, dan lauk pauk ala kadarnya.
Biasanya pengunjung yang datang membawa lauk pauk dari kota seperti mie instan, ikan kaleng, kopi, gula, garam, mentega, roti, abon, dan makanan kecil serta obat-obatan pribadi karena di dalam perkampungan Baduy tidak ada puskesmas atau apotek.
Lauk-pauk yang dibawa pengunjung kemudian diolah si-Ibu tuan rumah denggan menggunakan tungku kayu. Setelah masak, disantap bersama dengan penerangan lampu teplok buatan orang Baduy sendiri.
Makan bersama di rumah orang Baduy, di lantai bambu dan kayu dengan balutan udara agak dingin, jelas membuahkan atmosfir tersendiri yang sulit didapat di kota.
Pengunjung muslim yang hendak ber-wudhu untuk sholat ataupun bersih-bersih harus pergi ke sungai dengan membawa lampu senter jika harus sudah gelap atau ke pancuran yang letaknya dibedakan antara pancuran buat perempuan dan laki-laki.
Setelah makan bersama dengan, pengunjung dipersilahkan kembali turun ke daerah masing-masing atau melanjutkan ke kampung lainnya di Baduy Dalam.
Selain merasakan bermalam di rumah orang Baduy, kelebihan lainnya pengunjung bisa menikmati trek perjalanan yang cukup panjang jika ke Baduy Dalam.
Treknya naik turun perbukitan dengan pemandangan menawan berupa deretan pegunungan berbalut hutan rimbun, melewati danau kecil, dan beberapa perkampungan, serta sungai berjembatan yang terbuat dari bambu tanpa paku.
Namun yang perlu dicatat. Tidak semua bangsa boleh masuk ke Tangtu. Kabarnya ras keturunan Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid dilarang masuk ke wilayah Tangtu. Dengan kata lain turis asing hanya diperbolehkan memasuki daerah Panamping.
Saat upacara Kawalu yang merupakan bulan suci bagi masyarakat Baduy selama tiga bulan, semua pengunjung termasuk dari dalam negeri mutlak dilarang masuk Tangtu.
Orang Baduy yang tinggal di Tangtu juga dilarang saba kota atau bepergian ke luar desa pada masa Kawalu. Kecuali pada saat ada acara Saba Kota mengunjungi bupati Lebak atau gubernur Banten yang berlangsung sekali setiap tahun dengan berjalan kaki rame-rame tanpa alas kaki seraya membawa aneka hasil bumi.
Selama Kawalu, mereka berkonsentrasi penuh pada penyucian diri dan desanya. Jika ketentuan adat leluhur mereka dilanggar, maka yang kena kuwalat atau pamali adalah orang Baduy sendiri.
Itulah cara-cara, pikukuh adat atau kearifan lokal (local wisdom) masyarakat adat Baduy yang khas, unik, dan amat bermuatan konservasi dalam menjaga keberadaan alam dan budaya mereka sejak lama.
Sederet upaya tersebut justru semakin menambah daya tarik Baduy sebagai destinasi budaya sekaligus alam dimata pengunjung/orang awam/masyarakat/warganet. Bahkan Menteri BUMN Erick Thohir usai mengunjungi Desa Kanekes, baru-baru ini mengaku salut dan menghormati atas upaya yang dilakukan masyarakat adat Baduy dalam menjaga keberadaan alam dan adat atau budaya mereka tersebut.
Naskah & foto: Adji TravelPlus @adjitropis
0 komentar:
Posting Komentar