Kabar Buruk Pendakian Gunung Kembali Marak, Pemahaman Kepecintaalaman Perlu Digaungkan
Kabar buruk seputar kegiatan pendakian gunung kembali marak tahun ini. Untuk menekan atau paling tidak mengurangi kabar tak diinginkan itu, sepertinya pemahaman kepecintaalaman harus digaungkan lebih keras lagi.
Sejak Januari sampai September tahun ini, tersiar kabar buruk tentang kecelakaan pendakian yang menimpa sejumlah pendaki di beberapa gunung. Ada yang hilang namun masih beruntung ditemukan dalam kondisi selamat, dan tak sedikit yang ditemukan Tim SAR sudah meninggal.
Januari 2021 contohnya, Mochammad Fuad Hasan (26 tahun), pendaki asal Surabaya ditemukan tewas oleh tim SAR gabungan di Gunung Rinjani. Dia diduga meninggal setelah terpeleset dan jatuh ke dasar jurang gunung yang berada Lombok, NTB tersebut.
Bulan Mei, Sumardi (47) meninggal dunia di Pos 5 pendakian Gunung Slamet, Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Korban meninggal diduga karena kedinginan.
Sebulan kemudian, Tim SAR gabungan mengevakuasi pendaki asal Makassar, Bau Arifah alias Eva (25) setelah 4 hari pencarian, usai dinyatakan hilang sejak Minggu (6/6) di Gunung Abbo, Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Saat ditemukan, Eva dalam keadaan selamat tapi dikabarkan kondisinya sangat lemas.
Bulan Agustus, Tim SAR gabungan berhasil menyelamatkan seorang pendaki yang dikabarkan hilang di Gunung Nokilalaki, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Pendaki itu ditemukan selamat di bantaran Sungai Rawa, Desa Sopu, Kecamatan Nokilalaki pada hari keempat pencarian.
Masih di bulan yang sama, tiga pendaki ditemukan dalam kondisi tidak bernyawa di sejumlah pos jalur pendakian, usai mengibarkan bendera merah putih pada HUT ke-76 RI di puncak Gunung Bawakaraeng, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Ketiga pendaki naas asal Kabupaten Gowa itu bernama Steven William Frits (21) mahasiswa Poltek Negeri Ujung Pandang (PNUP) ditemukan meninggal di pos 7, Zaenal Abidin (21), ditemukan meninggal di pos 6, dan Muh Rian (20) ditemukan meninggal di pos 5.
Di bulan September ini, Muhammad Gibran Arrasyid (14) dinyatakan hilang saat mendaki Gunung Guntur yang terletak di Kecamatan Tarogong Kaler, Garut, Jabar, pada Minggu (19/9).
Sehari kemudian, Senin (20/9/2021), seorang pendaki asal Madiun, Koco (45) meninggal dunia saat melakukan pendakian di Gunung Lawu via Cemoro Kandang, Karanganyar, Jawa Tengah.
Jenazahnya berhasil dievakuasi oleh Tim SAR gabungan dari pos bayangan menuju ke Basecamp Cemoro Kandang, Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar.
Kabar buruk pendakian gunung tahun ini ternyata tak melulu kecelakaan akibat berbagai faktor, pun menyangkut minusnya perilaku pendaki.
Contohnya Iqbal Fauzi Pratama melakukan prank terhadap rangers Gunung Sindoro, Jawa Tengah demi kepentingan konten viral di media sosial (medsos).
Akibatnya perbuatannya, pemuda asal Kebumen itu mendapat sanksi larangan mendaki Gunung Sindoro selama 5 tahun karena telah melakukan beberapa pelanggaran saat mendaki.
Surat blacklist tersebut dikeluarkan oleh pengelola Jalur Pendakian Gunung Sindoro Via Banaran tanggal 18 Agustus 2021.
Selain melakukan prank dengan berpura-pura sakit kepada rangers dan meminta evakuasi atau pertolongan demi konten, dia juga dikabarkan berperilaku tidak sopan terhadap pengelola, sesama pendaki, dan terhadap warga, serta melanggar aturan basecamp pendakian Gunung Sindoro via Banaran.
Melihat maraknya kabar buruk tersebut, TravelPlus Indonesia @adjitropis mengimbau pihak-pihak terkait agar pemahaman kepecintaalaman digalakkan kembali.
Kenapa? Karena di era medsos mulai dari Facebook sampai Instagram mudah sekali seseorang yang tak punya bekal ilmu/pengetahuan kepecintaalaman ikut melakukan pendakian lewat open trip yang dibuat baik oleh operator secara perorangan ataupun komunitas/grup.
Begitu gampangnya seseorang ikut trip pendakian yang menjamur di medsos asal dia mampu bayar, padahal belum tentu dia benar-benar pendaki gunung atau setidaknya bekas anggota pecinta alam sewaktu masih SMA ataupun kuliah.
Pecinta alam itu adalah orang dalam hal ini siswa/siswi SMA dan sederajat ataupun mahasiswa/mahasiswi yang terdaftar sebagai anggota ekstrakulikuler/organisasi pecinta alam di sekolah/kampusnya atau komunitas resmi yang ada di masyarakat.
Mereka itu kemudian mendapatkan pendidikan dan latihan dasar (Diklatsar) kepecintaalaman yang di dalamnya terdapat bermacam materi antara lain keorganisasian, mountaineering, navigasi darat, tehnik hidup di alam bebas (survival), tali-temali bahkan tehnik turun dan panjat tebing serta pemahaman tentang Kode Etik Pecinta Alam Indonesia.
Sebelum dilantik dan lulus menjadi anggota, mereka pun harus mengikuti bermacam tahapan mulai dari calon anggota (cata), pengambilan nomor, pelantikan dan sebagainya. Kemudian dilanjutkan dengan pendakian gunung, biasanya gunung-gunung terdekat di wilayahnya dan atau gunung-gunung popular di Tanah Air.
Artinya, seorang pecinta alam itu setidaknya sudah punya bekal Diklatsar kepecintaalaman dan memahami Kode Etik Pecinta Alam Indonesia dibanding orang yang tidak pernah ikut organisasi pecinta alam di SMA atau saat kuliah.
Lalu siapa yang harus menggaungkan lagi pemahaman kepecintaalaman tersebut, minimal memberi pemahaman tentang Kode Etik Pecinta Alam Indonesia di era medsos ini?
Tentu setiap pemilik operator pendakian, baik itu perorangan ataupun komunitas atau pun ketua organisasi/komunitasnya.
Khusus operator pendakian, caranya dengan melakukan pendataan anggota yang ikut trip pendakian yang dibuat.
Tujuannya untuk mengetahui secara pasti bukan hanya biodata, pun pengalaman berorganisasi kepecintaalaman sebelumnya, serta hobi/minatnya.
Berdasarkan data tersebut minimal dapat diketahui apakah dia benar-benar bekas anggota organisasi pecinta alam sewaktu SMA/Kuliah atau bukan sama sekali.
Dapat diketahui pula apakah dia sekadar hobi, baru pertama kali mendaki atau sudah punya pengalaman mendaki gunung sebelumnya.
Jika ternyata dia bukan siswa pecinta alam (Sispala), mahasiswa pecinta alam (Mapala) atau anggota komunitas pecinta alam/pendaki gunung di daerahnya, apalagi belum
pernah melakukan pendakian, pembuat trip pendakian bisa melakukan tindakan sesuai, misalnya minimal memberi pemahaman tentang Kode Etik Pecinta Alam Indonesia.
Kenapa? Karena dalam kode etik tersebut memuat poin-poin yang mengingatkan/menyadarkan setiap pecinta alam termasuk pendaki gunung dan pegiat alam bebas lainnya untuk mengingat Sang Maha Pencipta, menjaga alam, menghargai manusia dan sekitarnya.
Isi lengkap Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang terbentuk pada kegiatan Gladian Nasional Pecinta Alam IV di Pulau Kahyangan dan Tana Toraja, Sulawesi Selatan pada Januari 1974 tersebut seperti ini:
Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa alam beserta isinya adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Pecinta Alam Indonesia adalah bagian dari masyarakat Indonesia sadar akan tanggung jawab kepada Tuhan, bangsa, dan tanah air.
Pecinta Alam Indonesia sadar bahwa pecinta alam adalah sebagian dari makhluk yang mencintai alam sebagai anugerah yang Mahakuasa
Sesuai dengan hakekat di atas, kami dengan kesadaran
Menyatakan :
Mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa
Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber alam sesuai dengan kebutuhannya
Mengabdi kepada bangsa dan tanah air
Menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia sesuai martabatnya
Berusaha mempererat tali persaudaraan antara pecinta alam sesuai dengan azas pecinta alam
Berusaha saling membantu serta menghargai dalam pelaksanaan pengabdian terhadap Tuhan, bangsa, dan Tanah Air.
Selesai.
Kode etik tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dipergunakan oleh organisasi Sispala, Mapala, dan berbagai komunitas/perkumpulan pecinta alam di seluruh Indonesia.
Selain kode etik tersebut, sebaiknya pembuat trip pendakian juga menjelaskan kepada anggotanya yang ingin trip pendakian tentang 3 etika lingkungan hidup yang WAJIB diindahkan, yaitu take nothing but picture atau dilarang mengambil apapun kecuali foto; leave nothing but footprint atau dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak (tidak buang sampah logistik di gunung); dan kill nothing but time atau dilarang membunuh apapun kecuali waktu.
Tak kalah penting mengingatkan persiapan fisik yang harus dilakukan setiap pesertanya, termasuk peralatan/perlengkapan pendakian yang memadai, logistik, menjelaskan waktu pendakian yang tepat, dan sebagainya.
Bukan cuma itu, di era pandemi ini pembuat trip pendakian juga harus memberikan pemahaman tentang protokol kesehatan (prokes) yang berlaku di gunung yang akan didaki.
Jika semua itu digaungkan lebih keras lagi dan kemudian benar-benar diindahkan, kemungkinan besar bisa mengurangi kecelakaan fatal dalam pendakian gunung sehingga kabar buruk seperti tersebut di atas bisa ditekan atau berkurang.
Teks & foto: Adji TravelPlus @adjitropis (Jurnalis/Blogger/Pegiat Medsos, eks Sispala & Mapala, pendiri komunitas pecinta/pegiat alam Tropis, Phinisi-OAC, Kembara Tropis & Pro Konservasi)
0 komentar:
Posting Komentar