Hari ini, Teringat Lagi Kisah Petualangan ke Negeri Terakhir Badak Jawa 29 Tahun Silam
Bertepatan dengan peringatan Hari Badak Sedunia atau World Rhino Day (WRD) 2021, hari ini Rabu 22 September, entah kenapa saya mendadak teringat lagi dengan kisah petualangan zadul saya satu ini.
29 tahun silam lebih, tepatnya Maret 1992 lalu saya bersama 16 teman sepetualangan dari salah satu kampus di Jakarta, menjelajah Ujung Kulon, negeri terakhirnya Badak Jawa (Rhinocerous sondaicus).
Ketika itu, badan kami masih ramping-ramping dan imut-imut. Maklum usia kami baru 20-an tahun bahkan ada yang belasan tahun. Masih enerjik dan begitu dinamis.
Sepekan lebih kami jelajahi kawasan konservasi berstatus taman nasional di ujung Barat Pulau Jawa itu.
Banyak kisah menyenangkan, menggelikan, mengejutkan, dan menyeramkan yang tak terlupakan. Semua kejadian itulah yang membuat ikatan batin kami tetap kuat sampai kini, sekalipun jarang bertemu dan berpetualang bersama lagi.
“Ular, ulaar..,” teriak Irma sambil meloncat. Teriakannya jelas bikin semua kaget. Ternyata benar ular laut berukuran kecil itu ada di bawah batu karang, dekat dia duduk. Untunglah ular berbisa itu tak sempat mencateknya.
Ular itu langsung masuk ke dalam air. Itulah salah satu kejadian 29 tahun silam di taman nasional yang berada di Kabupaten, Pandeglang, Provinsi Banten ini, yang tak terlupakan buat Irma. “Iya sampe sekarang gue inget banget ularnya belang hitam dan oranye. Muncul dari bebatuan karang,” ujar Irma kakak senior saya waktu itu.
Kejadian yang cukup mengejutkan rekan-rekan seperjalanannya yang lain itu terjadi di daerah Shangyangsirah yang berpanorama eksotis berupa bebatuan karang menjulang tinggi. Kawasan itu ternyata banyak dihuni ular belang cincin emas yang racunnya mematikan.
Tak jauh dari tempat kejadian itu, ada Gua Shangyangsirah yang terkenal mistik. Kemistikannya itulah yang membuat kami penasaran dan akhirnya memasukinya.
Saat masih berada di luar hingga ke mulut gua, kami masih berjalan gagah dengan wajah pemberani. Tapi ketika mulai menelusuri gua mulailah terlihat sisi pengecutnya. “Saking takutnya masuk gua itu, ketika masuk dan keluar, kita bergandengan tangan,” kenang Santa.
Ada atmosfir yang beda saat masuk gua yang kerap didatangi peziarah dari berbagai daerah untuk bersemedi dan lainnya. Suasananya begitu hening dan dingin. Semakin dalam, semakin sunyi dan mencekam. Terlebih ada beberapa batu yang ditutupi dengan kain putih dan beberapa bekas sesaji.
Di ujung gua ada telaga kecil yang kian mencuatkan kesan angker. Begitu heningnya, tetesan air yang jatuh dari atap gua terdengar jelas saat menyentuh permukaan telaga itu. Tak tahan suasana mencekam, kami pun tak mau berlama-lama berada di dalamnya. Lalu keluar dengan perasaan tak karuan.
Didera 'Pantai Penyiksaan'
Sebelum sampai Shangyangsirah, kami sudah melalui banyak rintangan, di antaranya harus menyeberangi muara sebelum masuk semenanjung Ujung Kulon atau sebelum Karang Ranjang lantaran tak ada jembatan bambu untuk menyebrangi salah satu sungainya, waktu itu.
Setelah pos Karangranjang terlebih setelah melewati Tanjung Tereleng, kami harus melewati medan pantai berkilo-kilo meter sebelum sampai Cibunar, melewati pos Cibandawoh dan Cikeusik.
Lantaran pajangnya dan tak ada pilihan lain selain melewati pantai itu, kami menyebutnya 'Pantai Penyiksaan'.
Beberapa dari kami sempat melemah fisiknya ketika melewati medan pasir yang lunak dan ke dalam saat dipijak. “Lo sama Prosfer paling depan, sampe enggak kelihatan. Lo berdua enggak ada udelnya, enggak ada capeknya, bingung gue,” kata Santa mengenang sepenggal perjalanan di pantai itu.
Setibanya di pos Cibunar. Kami yang berjumlah 17 orang terbagi dua tim. Tim pertama lewati Gunung Payung lalu ke Shangyangsirah yang lebih jauh dan memutar. Sementara tim kedua langsung rute tersingkat ke Cidaun kemudian menyebrang ke Pulau Peucang.
Saya, Santa, Irma, Anisti yang biasa disapa Ithink, Wina, Gusur, Prosfer, dan Ubai termasuk ke dalam tim ke Gunung Payung.
Ternyata gunung yang sebenarnya bukit berketinggian 500 meter di atas permukaan laut (Mdpl) itu tak semudah yang kami kira. Medannya sempat menguras stamina kami. Jalur pendakiannya sudah tertutup lantaran jarang sekali orang yang mendakinya. "Wina aja sempat jatuh guling-guling waktu nanjak," kenang Santa.
Prosfer dan Ubai menjadi navigator sekaligus leader. Mereka secara bergantian membuka jalur dengan membabat pepohonan kecil dan semak belukar yang menghalang. Sementara yang lainnya sebagai follower dan sweeper membuntuti keduanya di belakang, seperti anak ayam mengikuti biangnya kemanapun.
Selama perjalanan ke Gunung Payung dan menuruninya kami kembali berharap bertemu dengan primadona Ujung Kulon ini yakni Badak Jawa. Tapi nasib baik tidak berpihak. Kami cuma bertemu dengan kotoran, urine, dan tapak-nya saja. Dan itu sudah cukup buatku puas karena ternyata memang butuh waktu teknik, persiapan, dan waktu khusus untuk melacaknya. Alhamdulillah, akhirnya kami tiba di puncak gunung itu.
Sama seperti Gua Shayangsirah, gunung ini pun terkenal angker. Kami merasakan suasana yang aneh ketika berada di puncaknya. Dan betul saja ketika kami mengambil gambar bersama di puncaknya, tak ada satupun foto yang jadi ketika dicetak. (Zaman itu masih kamera analog/manual dan pakai film rol, belum ada kamera digital).
Ketika turun dari gunung itu dan menuju ke pantai lagi, kami bertemu nelayan liar. Kami diberinya lobster besar oleh nelayan tersebut. Siang itu kami pun makan besar dan nikmatnya luar biasa. “Lobster terenak di dunia,” kenang Irma. “Lobster gratis the first and the last,” timpal Santa.
Cerita lucu lagi. Waktu hari mulai gelap, kami masih menyusuri hutan menuju Tanjung Layar. Ithink yang badannya paling bongsor alias tinggi besar, kepalanya beradu dengan batang pohon yang melintang. "Bledug, suaranya jelas banget, sok kepede-an sih jalannya mentang-mentang tinggi," kata Santa lagi.
Tapi ketika sampai di Mercusuar Tanjung Layar, ada cerita yang menggelikan. Sampai sekarang Irma masih mengingatnya betul. “Waktu itu kita nyambel rasa kaki Ubai,” katanya sambil ketawa. Dan Santa menambahkannya. “Nyambel cap kaki jempol,” detilnya.
Ubai yang dimaksud Irma kemudian menjadi uami dari Santa. Waktu di Ujung Kulon mereka belum pacaran. "Tapi sepulang dari sana, Ubai kesemsem tuh sama gue," aku Santa sambil menerawang ke masa lampau itu.
Peran Ubai dalam perjalanan ke Ujung Kulon itu cukup besar. Pria Betawi Depok ini berbadan paling tegap dan fisiknya prima. Dia pun pandai berenang gaya anjing. Kekuatannya menjadi andalan kami.
Lain lagi dengan Prosfer. Pria rada pendiam ini adalah pimpinan perjalanan kami. Kendati berperawakan kecil, laki-laki berdarah Batak ini bernyali besar. Dia petualang sejati. Dia-lah yang mengajak kami menjelajahi Ujung Kulon untuk kali pertama. Sayang, umurnya tak panjang. Dia tewas terseret banjir lahar dingin Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur setahun setelah kami berpetualang dari Ujung Kulon.
Kami pun kehilangan 'kegilaannya' berpetualang. Kami kehilangan sosok pemimpin petualangan yang berani dan terkadang nekat ini. Saya sendiri akui, sampai sekarang belum menemukan sohib petualangan segila dan senekat dia.
Happy Ending di Pulau Peucang
Setelah berhari-hari berjalan melintasi hutan, pantai, dan gunung, akhirnya kami tiba di ujung perjalanan di Ujung Kulon, yakni Pulau Peucang. Dari Cidaun kami menyeberangi selat menuju pulau mungil yang indah itu. Di sana kami tumpahkan lelah dengan berenang di airnya yang bening dan kebiruan.
Beberapa rekan lain ada yang bermain sampan, memancing, dan mengabadikan gambar.
Ketika Irma mengirimi saya salah satu foto kami di pulau yang pantainya berpasir putih dan lembut itu, saya sempat berujar. “Kalau lihat foto ini, rasanya ingin muda, muda, dan muda lagi”. Irma langsung mengomentari dengan sepenggal lirik lagu lawas favorit saya. “Forever young, I want to be forever young”.
Pulau Peucang menjadi titik terakhir perjalanan kami menjalajahi semenanjung dan pedalaman Ujung Kulon.
Begitu banyak kisah indah yang terangkai dalam petualangan di habitat Badak Jawa 29 tahun silam itu.
Semua kisah petualangan di 'rumahnya' Badak Jawa untuk kali pertama buat saya itu, amat sulit saya lupakan hingga kini dan mungkin sampai mati.
Jujur, ketika itu saya langsung jatuh hati dengan trek Ujung Kulon yang variatif, cukup menguji kesabaran, dan tentunya berpanorama menawan.
Bukti kalau saya jatuh hati dengan Ujung Kulon, setelah petualangan perdana tahun 1992 itu, saya kembali lagi ke sana sekurangnya 4 kali sampai tahun 1997, di antaranya saya pernah membawa anggota Phinisi-OAC tahun 1995.
Phinisi-OAC adalah komunitas pegiat jurnalistik petualangan yang saya dirikan tahun 1991, sewaktu masih jadi mahasiswa.
Setahun sebelumnya (1994), saya juga berkesempatan mengajak beberapa pelajar SMA dan alumninya yang tergabung dalam organisasi pecinta alam Agatra Sraya untuk menjelajah Ujung Kulon.
Namun dari sekian petualangan di Ujung Kulon, petualangan perdana tahun 1992 itulah yang paling berkesan (sampai susah move on, kata anak sekarang).
Faktanya, hari ini, Rabu bertepatan dengan World Rhino Day 2021 yang diperingati setiap 22 September, kisah petualangan 29 tahun silam itu terkenang kembali. Bukan cuma terkenang, pun merindukan lagi Ujung Kulon, negeri terakhirnya Badak Jawa.
Teks & foto: Adji TravelPlus @adjitropis
0 komentar:
Posting Komentar