. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Sabtu, 26 September 2020

World Tourism Day 2020, Momentum Merajakan Ragam Kekuatan Lokal yang Kekinian dan Ramah Lingkungan


Ada yang spesial di Hari Pariwisata Sedunia (World Tourism Day), 27 Septemper tahun ini, ya karena di sejumlah belahan dunia masih dalam pandemi Covid-19, termasuk Indonesia.

Lantaran kespesialan itulah semestinya Hari Pariwisata Sedunia harus dijadikan momentum yang juga spesial, yakni dengan merajakan (baca: mengedepankan, mengutamakan) segala kekuatan lokal.

Ragam kekuatan lokal yang kita (baca: Indonesia) miliki luar biasa banyak, unik, menarik, dan punya nilai jual sangat tinggi.

Sayangnya rendahnya kepercayaan diri (nggak PeDe) dan miskin kreativitas, mental copy paste (copas) ditambah mudah percaya, tunduk dan takluk dengan kemauan dari luar, serta terlalu membanggakan apa yang dimiliki negara lain atau yang datang dari negara lain yang sebenarnya belum tentu bagus, baik, dan cocok bagi kita, membuat ragam kekuatan lokal kita terkesampingkan.

Parahnya ada yang tidak tahu kekuatan lokal yang dimiliki daerahnya sendiri  bahkan malu mengangkatnya karena dianggap kampungan, kuno, dan ketinggalan zaman.

Ragam kekuatan lokal kita yang TravelPlus Indonesia maksud disini mulai dari kearifan lokal, kesenian, dan aneka produk ekonomi kreatif (Ekraf) lokal termasuk kuliner dan kerajinan tangan di setiap 3A yakni Atraksi (daya tarik wisata/objek wisata alam/destinasi wisata/kegiatan wisata, desa wisata, dll); Aksesibilitas (sarana prasarana & alat transportasi darat, laut & udara ke lokasi Atraksi); Amenitas (akomodasi, MICE & segala fasilitas pendukung seperti money changer, dll).

Termasuk kekuatan wisatawan lokal (wislok) yang selama ini dipandang sebelah mata, tidak diacuhkan, tidak dilirik, dan kurang dianggap, padahal kini jusru menjadi tumpuan harapan di era pandemi Covid-19 ini.

Kenapa wislok (wisatawan yang datang dari kabupaten atau kota dalam satu provinsi, misalnya dari Kabupaten Gunung Kudul ke Kota Jogja yang sama-sama berada di Provinsi DI Yogyakarta, dan sebaliknya dengan berkendara lewat darat atau overland) menjadi andalan di era adaptasi kebiasaan baru ini?

Jawabannya karena memang amat besar pasarnya. Ingat, negara kita sangat luas, berpulau-pulau, satu provinsi terdiri dari beberapa kabupaten dan kecamatan, serta berpopulasi ratusan juta orang.

Wislok cukup menggunakan kendaraan pribadi atau sewaan baik mobil ataupun motor secara overland, dan tak perlu repot-repot mengurus surat kesehatan bebas Covid-19 entah itu rapid test dan lainnya.

Mereka cukup menerapkan protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun atau hand sanitizer, dan menjaga jarak atau tidak berkerumun) di setiap objek wisata.

Beda dengan wisnus dari luar provinsi yang harus rapid test dll terlebih dulu agar bisa naik pesawat terbang atau kereta api ke kota lalu lanjut ke desnitasi wisata yang dituju.

Kita semestinya bersyukur dan mau gigih memanfaatkan secara maksimal potensi keragaman kekuatan lokal yang diberi Tuhan YME.

Coba saja kita bandingkan dengan negara lain, contohnya Singapura yang se-'upil' yang hanya mengandalkan wisman atau cuma penerbangan internasional termasuk dari Indonesia. Ketika terjadi pandemi Covid-19, semua negara tidak ada yang terbang ke negara super mungil tersebut ditambah lagi tidak punya penerbangan domestik, apa yang terjadi? Bisa Anda tebak sendiri.

Bali yang selama ini menjadi salah satu pintu gerbang utama wisman ke Indonesia, pun begitu. Sekalipun kunjungan wismannya boleh dibilang masih sekarat, tapi Pulau Dewata masih bisa tertolong dengan keberadaan wislok.

Misalnya wislok dari Kabupaten Buleleng ke Kabupaten
Tabanan, Jembrana, Karangasem,  Badung, Bangli, Gianyar, dan ke Kabupaten Klungkung atau ke
Kota Denpasar dan sebaliknya.

Belum lagi ditambah wisnus dari provinsi lain misalnya dari sejumlah provinsi di Jawa dan pulau lainnya di Tanah Air sekalipun belum signifikan jumlahnya karena itu tadi, wisnus masih malas berpergian jauh lantaran  harus rapid test atau lainnya yang menambah beban biaya perjalanan dan juga waktu alias tidak sepraktis dulu lagi.

Destinasi wisata yang selama ini tidak mengutamakan wisman, contohnya DI. Yogyakarta, terbukti di era new normal ini terlihat lebih cepat menggeliat dibanding destinasi lain.

Pantauan TravelPlus yang mengunjungi Kota Gudeg Jogja dan beberapa kabupaten di daerah istimewa tersebut beberapa hari sebelum Hari Pariwisata Sedunia 2020, nampak mulai ramai lagi terutama oleh wislok dari berbagai kabupaten di DIY dan juga sejumlah wisnus terutama dari Jabodetabek, Bandung, Solo, dan Semarang. Sementara wismannya, ya sama saja seperti destinasi lain, tak terlihat batang hidungnya.

Mengoptimalkan ragam kekuatan lokal, itu sebuah keharusan. Tapi itu tidak cukup. Pun harus dibungkus dengan kemasan kekinian agar diminati wislok dan wisnus milenial.

Di masa pandemi ini, harus pula ditambah dengan penerapan protokol kesehatan, CHSE (Cleanliness, Healthy, Safety & Environmental Sustainability) dan Sapta Pesona yang bukan sekadar seremonial, basa-basi atau karena ada dukungan dari pemerintah pusat dalam hal ini Kemenparekraf.

Penerapan protokol kesehatan, CHSE, dan Sapta Pesona harus datang dari hati setiap pelaku pariwisata daerah setempat mulai dari individu, masyarakat, stakeholder hingga pimpinan daerah (ketua RT, RW, camat, gupati/walikota hingga gubernurnya).

Jangan karena ada dukungan dari Kemenparekraf, lalu bersemangat menerapkan ketiga hal itu padahal cuma sebatas carmuk (cari muka) atau semangat aspal, asli tapi palsu.

Semangat mengangkat ragam kekuatan lokalnya pun jangan separuh hati. Tapi harus sepenuh hati dan total.

Contohnya baru-baru ini TravelPlus menghadiri acara pemberian dukungan barang CHSE dari Kemenparekraf buat 4 desa wisata di Destinasi Super Prioritas (DSP) Borobudur yang berlangsung di Desa Wisata Karangrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Suguhan kesenian tradisionalnya dan penggunaan wadah untuk kudapan/makanan kecilnya dengan besek dari bilahan bambu dan diberi alas daun pisang, termasuk untuk makan siangnya, patut ditiru desa wisata lain karena selain mengangkat kekuatan lokal pun ramah lingkungan.

Sayangnya, mereka masih menggunakan air mineral kemasan gelas plastik yang jelas-jelas tidak pro konservasi. Andai saja disediakan gelas dari bambu atau kayu seperti yang biasa digunakan oleh warga komunitas adat Baduy di Lebak, Banten itu jauh lebih unik dan amat ramah lingkungan.


Hal-hal kecil seperti itulah yang semestinya lebih diperhatikan, diangkat, disosialisasikan, dan digaungkan terus menerus oleh semua pihak baik pengelola/pemilik 3A, masyarakat, termasuk Kemenparekraf. Bukan sebatas seremonial saat menerima bantuan dukungan barang CHSE.

Dengan memperhatikan hal-hal kecil tapi amat penting itu, perlahan bisa mengasah kepekaan untuk total dalam mengangkat ragam kekuatan lokal yang ramah lingkungan.

Ujungnya akan membentuk mental  pengelola 3A, masyarakat, pimpinan daerah, stakeholder, maupun pemerintah, termasuk wisatawan yang bertanggungjawab atau responsible.

Jika itu terus diindahkan maka akan tercipta Sustainable Tourism Development atau pembangunan pariwisata berkelanjutan yang mengutamakan partisipasi masyarakat lokal dalam mengangkat ragam kekuatan lokalnya dengan kemasan kekinian dan ramah lingkungan sehingga menjadi daya tarik bagi wisatawan (baik lokal, nusantara bahkan mancanegara) yang ujungnya mampu meningkatkan kesejahteraan.

Intinya, di Hari Pariwisata Sedunia 2020, pembangunan pariwisata kita pada  tatanan adaptasi kebiasaan baru ini dan seterusnya, keasrian alamnya haruslah tetap terjaga dan kesejahteraan masyarakat lokalnya teruslah bertambah.

Naskah & foto: adji kurniawan (wartawan/blogger & fotografer pariwisata loyal & berpengalaman, email: kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)


0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP