Baduy Itu 'Negeri' Pengusung Konservasi, Ini Keeksotisan dan Solusinya
Kabar tentang Baduy kembali mencuat. Akankah Baduy menolak bulat sebagai destinasi wisata nasional, ataukah menerima dengan sejumlah catatan?
Sejak kali pertama datang era tahun 90-an, jujur saya sudah jatuh hati dengan Baduy.
Sejak itu pula saya menilai Baduy punya daya tarik kuat sebagai destinasi wisata, terutama ekowisata, yakni wisata berbasis kearifan lokal, budaya, dan keramahan lingkungan.
Ketika itu saya bahkan sudah memprediksi Baduy bakal diminati banyak orang karena keeksotisan, ditambah letaknya yang mudah dijangkau dari Jabodetabek apalagi dari sejumlah kota dan kabupaten di Banten.
Lalu apa keeksotisan Baduy hingga kemudian menjadi salah satu andalan wisata bukan hanya bagi Kabupaten Lebak, tapi juga buat Provinsi Banten?
Baduy memang bukan taman nasional, bukan pula taman wisata alam yang sengaja dibentuk untuk melindungi, melestarikan sekaligus memanfaatkan ekosistemnya dengan bijak.
Mereka adalah kelompok masyarakat adat yang justru tata cara kehidupannya amat ramah lingkungan alias pro konservasi.
Prilaku konservasi yang diterapkan Baduy yang bermukim di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Banten ini itulah keistimewaan sekaligus keeksotisan mereka sebagai sebuah komunitas adat.
Tata cara kehidupan mereka amat berbeda dengan masyarakat umum bahkan dengan komunitas atau kelompok masyarakat adat lain.
Keunikan itulah yang kemudian membuat banyak orang penasaran lalu datang berbondong-bondong secara mandiri maupun lewat open trip yang dijual sejumlah indie travel atau trip operator di medsos (FB, Twitter, dan IG).
Tujuan mereka yang datang pun bermacam. Ada yang ingin merasakan bagaimana menginap di rumah panggung dari kayu dan bilik bambu yang tak beraliran listrik sama sekali.
Ada juga yang ingin menyibak keunikan mereka lebih jauh dalam bentuk penelitian sosial budaya untuk dibuat menjadi buku atau karya ilmiah.
Tak sedikit pula yang melakukan peliputan untuk tulisan lalu dimuat dibermacam media cetak, online/blog serta medsos.
Namun kebanyakan yang datang, pengunjung awam yang ikut-ikutan ingin sekadar melihat kehidupan orang Baduy di kediamannya lalu mem-posting kunjungannya di akun medsong masing-masing.
Jauh sebelum namanya tersohor, orang Baduy juga telah menyadari wilayahnya bakal dikunjungi banyak wisatawan.
Mereka (orang Baduy) pun sadar pengunjung yang datang pada akhirnya juga berdampak negatif, mencemari bukan hanya lingkungannya, pun prilaku warganya oleh kebiasan buruk yang dibawa pengunjung baik yang disengaja/disadari maupun tidak.
Untuk mengantisipasinya, mereka pun menerapkan cara tersendiri sebagai bentuk perlindungan atau konservasi bukan cuma terhadap kelestarian alamnya pun kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
Cara yang kental bermuatan konservasi itu sudah dilakukan mereka sejak lama.
Untuk melindungi prilaku warganya oleh kebiasan buruk yang dibawa pengunjung, misalnya, mereka membuat ketentuan adat tak tertulis yang wajib dipatuhi setiap pengunjung.
Misalnya, mereka tidak mengijinkan pengunjung bermalam lebih dari satu malam.
Tempat bermalamnya pun di Baduy Luar atau disebut Panamping, khususnya di rumah beberapa kampung Baduy Luar yang sudah biasa menerima tamu atau ditunjuk oleh pimpinan tertingginya yang di sebut Puun.
Tugas Puun sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat, dalam menjalankan tugasnya, dia dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya.
Langkah konservasi lainnya, mereka membagi wlayah penulisan menjadi dua, yakni selain Panamping, juga ada Baduy Dalam atau disebut Tangtu yang terdiri dari tiga kampung inti yakni Cikartawarna, Cibeo, dan Cikeusik.
Pengunjung dilarang sama sekali bermalam di tiga kampung inti Tangtu tersebut. Hanya boleh singgah sejenak.
Lalu apa asyiknya bermalam di rumah orang Baduy? Jelas atmosfir yang didapat amat berbeda.
Seluruh kawasan Baduy, baik di luar maupun di dalam pantang berlistrik. Penerang satu-satunya obor yang minyaknya diolah sendiri.
Lantaran tak berlistrik jangan harap menemukan peralatan elektronik seperti TV, radio, kulkas, kompor gas dan lainnya. Semua itu memang dilarang masuk.
Di dalam rumah orang Baduy Dalam, hanya ada tungku masak dari kayu. Amat minim perabotan, hanya ada gelas dari bambu dan piring juga dari batok kelapa.
Rumahnya berbentuk panggung yang ditopang beberapa balok kayu dan berbilik serta beralas bambu.
Setibanya di salah satu warga Baduy Dalam, setelah menempuh perjalanan sekitar 3-5 jam tergantung fisik dari wilayah Baduy Luar, pengunjung bisa bercengkerama dengan sang penghuni rumah, biasanya kepala rumah tangga (bapak).
Pengunjung bisa bertanya apa saja seputar kehidupan kesaharian mereka. Sementara ibu dan anak-anaknya memasak nasi, dan lauk pauk ala kadarnya.
Biasanya pengunjung yang datang membawa lauk pauk dari kota seperti mie instan, ikan kaleng, kopi, gula, garam, mentega, roti, abon, dan makanan kecil serta obat-obatan pribadi karena di dalam perkampungan Baduy tidak ada puskesmas atau apotek.
Lauk-pauk yang dibawa pengunjung kemudian diolah si Ibu di tungku kayu. Setelah masak, disantap bersama dengan penerangan lampu teplok buatan orang Baduy sendiri.
Makan bersama di rumah orang Baduy, di lantai bambu dan kayu dengan balutan udara agak dingin, jelas membuahkan atmosfir tersendiri yang sulit didapat di kota.
Pengunjung yang hendak berwudhu, bersih-bersih harus pergi ke sungai dengan membawa lampu senter jika harus sudah gelap atau ke pancuran yang letaknya dibedakan antara pancuran buat perempuan dan laki-laki.
Setelah makan bersama dengan, pengunjung dipersilahkan kembali turun ke daerah masing-masing atau melanjutkan ke kampung lainnya di Baduy Dalam.
Selain merasakan bermalam di rumah orang Baduy Luar, kelebihan lainnya pengunjung bisa menikmati trek perjalanan yang cukup panjang ke Baduy Dalam.
Treknya naik turun perbukitan dengan pemandangan menawan berupa deretan pegunungan berbalut hutan rimbun, melewati danau kecil, dan beberapa perkampungan, serta sungai berjembatan yang terbuat dari bambu tanpa paku.
Namun yang perlu diingat. Tidak semua bangsa boleh masuk ke Tangtu. Ras keturunan Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid katanya dilarang masuk ke wilayah Tangtu. Dengan kata lain turis asing hanya diperbolehkan memasuki daerah Panamping.
Saat upacara Kawalu yang merupakan bulan suci bagi masyarakat Baduy selama tiga bulan, semua pengunjung termasuk dari dalam negeri mutlak dilarang masuk Tangtu.
Ini pun sebenarnya salah satu bentuk konservasi khas Baduy yang belum tentu dimiliki/diindahkan kelompok masyarakat adat lain.
Orang Baduy yang tinggal di Tangtu juga dilarang saba kota atau bepergian ke luar desa.
Kecuali pada saat ada acara saba kota mengunjungi bupati Lebak atau gubernur Banten, sekali setiap tahun berjalan kaki rame-rame tanpa alas kaki seraya membawa aneka hasil bumi.
Mereka berkonsentrasi penuh pada penyucian diri dan desanya. Jika ketentuan adat leluhur mereka dilanggar, maka yang kena kuwalat atau pamali adalah orang Baduy sendiri.
Dari sisi wilayah tinggal, warga Baduy yang lebih senang disebut Urang Kanekes ini mendiami bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut (Mdpl).
Topografi wilayahnya berbukit dan bergelombang dengan kemiringan tanah rata-rata mencapai 45 derajat serta suhu rata-rata 20 °C, dan tentunya hutan yang tetap terjaga dengan baik termasuk hutan bambunya sehingga membuat daerahnya subur.
Bagaimana mereka melindungi (konservasi) kelestarian alam wilayahnya?
Ternyata boleh dibilang sangat sederhana namun berdampak positif luar biasa.
Contohnya, mereka melarang setiap pengunjung nyabun (memakai sabun) dan bermacam produk mandi dan bersih-bersih/mencuci lain seperti shampoo, odol/pasta gigi, dan deterjen jika mandi di sungainya.
Aneka produk tersebut mereka nilai dapat mencemarkan sungai. Bahkan dibeberapa tempat, pengunjung dilarang mandi langsung di sungainya.
Aturan itu pula membuat keberadaan sungai di wilayah mereka yang hanya berjarak sekitar 172 Km sebelah barat ibukota Jakarta atau sekitar 65 Km sebelah selatan Serang, ibukota Provinsi Banten ini, terlihat bersih dan berair jernih kehijauan, terlebih di musim panas.
Pengunjung juga diharamkan sembarang menebang pohon apalagi merusak hutan. Bahkan kalau ada warga ingin melakukan penebangan harus seizin lembaga adat.
Kawasan Baduy hingga kini pun sengaja tidak mau memiliki jalan aspal untuk menghindari mudahnya orang luar keluar masuk hutan mereka.
Andai ada warga luar yang ingin masuk hutan hak ulayat Baduy, tidak diperkenankan membawa angkutan, seperti motor, mobil, dan truk sebab kendaraan-kendaraan tersebut bisa merusak hutan kawasan Baduy.
Satu lagi yang harus diindahkan, jika di wilayah Baduy Luar pengunjung masih bisa memotret maka di wilayah Baduy Dalam memotret tidak diperbolehkan.
Jadi di wilayah Tangtu atau Baduy Dalam, sebenarnya pengunjung dilarang menggunakan HP, kamera, atau radio. (Sayangnya masih banyak pengunjung tak mengindahkan hal itu).
Sampai saat ini ada beberapa pintu masuk ke Baduy, namun yang paling sering dilewati pengunjung lewat Ciboleger.
Solusi Buat Baduy
Seperti kabar yang baru-baru ini tersiar, yang meminta agar Baduy tidak menjadi destinasi wisata nasional, tentu ada faktor yang melatarbelakanginya.
Bisa jadi karena terlalu banyak pengunjung belum melek konservasi khas Baduy yang akhirnya membawa efek negatif terhadap kelestarian alam maupun prilaku generasi penerus Baduy kini dan nanti.
Soal keputusan apakah Baduy bersedia sebagai destinasi wisata atau justru menolak, itu adalah hak mereka karena sejatinya merekalah yang lebih tahu dan sekaligus merasakan/menikmati dampak baik-buruknya.
Lewat tulisan ini, sebagai jurnalis/blogger/fotografer & influencer yang pro konservasi, saya menyarankan Baduy tetap menjadi destinasi wisata dengan beberapa catatan.
Pertama, asalkan berpegang teguh hanya memperbolehkan ekowisata atau ecotourism yang ramah kearifan lokal, budaya, dan alam Baduy bukan mass tourism.
Melakukan pembatasan pengunjung dalam satu hari, misalnya tak lebih dari 50 pengunjung per hari untuk pintu masuk dari Ciboleger, sementara dari pintu masuk lainnya juga berlakukan hal yang sama dengan jumlah kuota yang tak sama.
Tentu di era new normal ini ditambah dengan penerapan protokol CHSE (clean, health, safety & environment).
Catatan berikutnya, bekerjasama dengan kelompok sadar wisata/pemkab setempat, untuk mensosialisasikan peraturan pembatasan kuota pengunjung dan penerapan protokol CHSE tersebut kepada masyarakat luas termasuk ke para operator open trip/indie travel, travel agent, dan lainnya.
Terakhir, tentu saja masyarakat Baduy dari anak-anak sampai orang tua harus terus setia dan bangga menerapkan langkah-langkah konservasi yang sudah diterapkan para pendahulunya selama ini seperti tersebut di atas.
Ditambah penerapan sanksi yang tegas bagi pelanggarnya baik itu warga Baduy sendiri maupun pengunjung serta pimpinan yang membawa rombongan/kelompok wisatawan.
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Foto: dok. adji & sobatkembara
0 komentar:
Posting Komentar