. q u i c k e d i t { d i s p l a y : n o n e ; }

Selasa, 18 Februari 2020

Ini 12 Ciri Daerah yang Serius Garap Sektor Pariwisatanya

Jumlah provinsi, kabupaten, kota di Indonesia sampai tahun 2020 ada 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Dari semua itu mungkin bisa dilacak mana daerah yang paling/agak/kurang serius bahkan cuek menggarap sektor kepariwisataannya.

Serius yang TravelPlus Indonesia maksud disini adalah yang mengutamakan/mengedepankan/menomorsatukan/mementingkan/memajukan/meningkatkan sektor kepariwisataannya dalam arti keseluruhan bukan hanya destinasi tapi juga budaya, ekonomi kreatif (ekraf), industri pariwisata (inpar), dan lainnya. 

Cara melacaknya mudah saja. Kita bisa dilihat dari 12 ciri ini.

Pertama, bisa dipantau lewat CEO Commitment (gubernur/walikota/bupati/kadispar dan jajarannya) dalam menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan atau tidak.

Jika CEO-nya berkomitmen tinggi bukan hanya serius pun bergerak cepat (tidak lamban), punya mental 3S & CI: Solid, Speed, Smart & Creative serta Innovative/bervisi jauh kedepan, berarti daerah itu boleh diberi cap serius.

Kedua, bisa dilihat dari seberapa besar alokasi anggaran buat sektor pariwisatanya. Kalau minim alias tidak diperjuangkan berarti tidak serius.

Ketiga, bisa diintip dari seberapa banyak Calendar of Event (CoE)-nya yang berkualitas. Apakah setiap seminggu ada satu event, atau satu event per bulan atau bahkan lebih. 

Kalau semakin banyak event berkualitasnya berarti daerah itu layak dikasih stempel serius.

Event yang berkualitas disini jelas punya kriteria unik/beda dengan event daerah lain/tidak latah/ikut-ikutan, ber-selling point tinggi hingga potensial dalam menjaring wisnus/wisman, dikemas secara profesional termasuk promosi pra event-nya, berbasis local wisdom/culture murni atau kombinasi antara tradisional dengan era kekinian atau sebaliknya. 

Misalnya sport tourism event-nya dikemas dengan aneka suguhan seni-budaya dan tradisi setempat serta memamerkan aneka produk ekraf beraksen tradisional maupun yang kekinian.

Keempat, bisa dilihat dari waktu dan tempat peluncuran/launching CoE-nya.

Paling ideal/benar, misalnya kalau CoE 2020 itu dirilisnya minimal Desember 2019 tujuannya untuk memberi rentang waktu bagi calon wisatawan mengatur dana dan waktu kunjungannya. Kalau launching-nya sudah masuk tahun 2020, boleh dibilang telat.

Lokasi peluncurannya pun harus diperhatikan. Sebaiknya di public space pasar wisnus/wisman utamanya dengan mengundang para wartawan/travel blogger pariwisata berpengalaman agar terekspos luas. 

Jangan di kandang sendiri atau diluar kandang tapi cuma mengundang orang/tokoh masyarakat dari daerah asal. Itu namanya promosi 'jeruk makan jeruk'.

Kelima, apakah setiap event, daerah itu melakukan promosi pra event yang gencar terutama bersinergi dengan pihak yang berpengalaman agar wisatawan tahu dan tertarik datang?

Apakah daerah itu menerapkan anggaran promosi sebuah event, sebesar 50%-nya itu ditujukan buat promosi pra event, 30% untuk on event, dan sisanya post event? Jika itu selalu dilakukan dan sesuai persentase untuk promosi pra event-nya, pantas disebut serius.

Keenam, bisa diamati apakah daerah itu memiliki program antisipasi low season atau musim sepi kunjungan agar wisatawan tetap berdatangan. 

Program tersebut bisa terlaksana kalau ada sinergi yang kuat/kompak dengan bermacam asosiasi kepariwisataan atau kalangan industri pariwisata.

Ketujuh, bisa juga dinilai dari adanya program antisipasi dari dampak buruk bencana (alam/penyakit/sosial-politik) atau tidak.

Berikutnya atau kedelapan, apakah daerah itu juga punya program event terkait fenomena alam yang langka terjadi, misalnya event sambut Gerhana Matahari Total (GMT), dll. 

Kesembilan, dapat diamati sejauh mana koordinasi dan sinergi antarlembaga/instansi di daerah itu berjalan, terutama terkait penyediaan infrastruktur dan sarpras atau sarana prasarana (Perhubungan/PU/PLN/Kominfo/Olahraga/Budaya/Perikanan/UKM, dll). Apakah lancar dan menghasilkan pembangunan yang nyata atau cuma wacana.

Selanjutnya, kesepuluh, rutinkah daerah itu melakukan kaderisasi SDM pariwisatanya sekalipun tak memiliki sekolah/akademi/polteknik pariwisata (poltekpar)? Jika iya, boleh dibilang serius.

Lalu kesebelas, bisa dilihat dari seberapa besar daerah tersebut mendukung berkembangnya komunitas-komunitas masyarakat yang peduli dengan kepariwisataan. 

Intinya seberapa keras daerah tersebut berupaya menjadikan setiap anggota masyarakat dan pelaku usaha wisatanya menjadi individu berjiwa pariwisata (paham dan indahkan tujuh unsur Sapta Pesona). 

Terakhir, keduabelas seberapa kuat keinginan daerahnya mengubah mind set dari yang kurang perhatian dengan wisatawan menjadi yang  menomorsatukan kebutuhan wisatawan. (Detil penjelasannya di tulisan khusus sebelumnya yang berjudul: Ini Keuntungan Daerah yang Menomorsatukan Kebutuhan Wisatawan).

Jika semua itu dilakukan, maka bukan hanya citra pariwisata daerah tersebut menjadi lebih baik/bergengsi/bikin bangga, dan berimej positif lainnya, pun membuat wisatawan terpikat lalu menceritakan keterpikatannya itu ke khalayak luas lewat akun medsos-nya.

Jadi intinya jika ingin destinasi wisata di daerahnya tersohor, berimej bagus, dan jadi favorit banyak wisatawan, harus ada perubahan mind set untuk menjadi pemilik/pengelola/pengurus/pemain di sektor pariwisata yang terus dan terus mengutamakan kebutuhan wisatawan.

Jika keduabelas poin itu dipenuhi semua, maka daerah itu pantas diberi predikat daerah yang paling serius menggarap sektor pariwisatanya. Sebaliknya kalau tidak memiliki semua itu, itulah daerah yang paling cuek, dan itu amat disayangkan.

Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, Ig: @adjitropis)

Captions:
1. Wisman mengabadikan keunikan budaya lokal Indonesia.

0 komentar:

Film pilihan

Bermacam informasi tentang film, sinetron, sinopsis pilihan
Klik disini

Musik Pilihan

Bermacam informasi tentang musik, konser, album, lagu-lagu pribadi dan pilihan
Klik disini

Mencari Berita/Artikel

  © Blogger templates Psi by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP