Cari Top Three Destinasi Berbasis Komunitas di Jateng untuk Pasar Asia Tenggara, Kemenpar Gelar FGD
Dalam rangka mencari output berupa Top Three destinasi Alam, Budaya, dan Buatan yang ada di Jawa Tengah, diluar Candi Borobudur yang berbasis komunitas untuk dijadikan paket wisata yang siap jual ke pasar Asia Tenggara, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) lewat Asisten Deputi (Asdep) Pengembangan Pasar Asia Tenggara menggelar Forum Group Discussion (FGD) Promosi Pariwisata Pasar Asia Tenggara 2017.
Acaranya berlangsung di Solo Paragon Hotel & Residences, Solo, Jawa Tengah, Kamis (21/12).
Asdep Pengembangan Pasar Asia Tenggara, Kemenpar Rizki Handayani dalam pembukaan FGD tersebut menjelaskan alasan mencari destinasai terkini di Jateng yang berbasis komunitas didasarkan tren wisatawan mancanegara (wisman), termasuk dari kawasan ASEAN belakangan ini ternyata lebih meminati dan menghargai destinasi wisata yang berbasis komunitas.
“Mereka (wisman-red) termasuk organisasi internasional akan memberikan perhatian jika destinasi tersebut memiliki konsep sustainable dan memberdayakan masyarakat,” terang Kiki, begitu panggalan akrab Rizki Handayani.
Oleh karena itu, lanjut Kiki peserta FGD kali ini didominasi para komunitas baik itu travel indie maupun, kelompok sadar wisata (Pokdarwis) kabupaten/kota se-Jateng.
Sehari sebelumnya dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Sinkronisasi Promosi Pariwisata Pasar Asia Tenggara 2017, yang juga dilaksanakan Asdep Pengembangan Pasar Asia Tenggara, pesertanya didominasi kepala Dinas Pariwisata (Dispar) kota/kabupaten se-Jateng atau yang mewakili.
Dalam sesi tanya jawab, sejumlah ketua komunitas indie travel dan pokdarwis tersebut melontarkan pertanyaan, harapan, dan juga promosi destinasi di daerahnya.
Di sesi pertama FGD ini, tampil Asdep Pengembangan Destinasi Wisata Budaya, Kemenpar Lokot Ahmad Enda sebagai naras umber yang memaparkan soal Destination Management Organization (DMO).
Sesi ini dipandu Kabid Pameran Asdep Asia Tenggara, Kemenpar Dusep Mulya.
Menurut Lokot destinasi wisata berbasis budaya juga salah satu yang diincar wisman.
Salah satu destinasi yang sukses pengembangannya dengan strategi DMO dengan memperhatikan konsep sustainable dan budaya masyarakat setempat adalah Tanjung Puting.
Kelebihan DMO, lanjut Lokot membantu seluruh pihak di destinasi tersebut untuk bersinergi dan menemukan solusi untuk permasalahan.
Pengembangkan destinasinya juga dengan memaksimalkan Pentahelix (5 unsur yaitu akademisi, industri wisata, pemerintah, komunitas, dan media).
Adapun tujuan pengembangan obyek wisata untuk mencapai skala internasional.
“Hasil akhirnya berupa kepuasan wisman dan mendorong kesejahteraan masyarakat di sekitarnya,” ujar Lokot.
Di sesi kedua Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Tradisi, dan Seni Budaya, Kemenpar Tetty Ariyanto yang menjadi narasumber mengatakan bahwa yang dibutuhkan wisman itu di destinasi yang dituju adalah rasa nyaman, aman, dan bersih.
“Sebaiknya destinasi itu ya harus memenuhi ketiga kriteria itu,” imbau Tetty.
Menurut Tetty, daya tarik itu bukan obyek wisata, namun juga aktivitas dan keunikan lokal yang memberikan pengetahuan dan pengalaman baru.
“Daya tarik tidak harus mahal, dengan mengikutsertakan wisatawan dalam aktivitas, biaya paket akan lebih murah dan bagi wisatawan pun akan terkesan,” tambahnya.
Industri wisata, lanjut Tetty harus lebih proaktif untuk menjemput bola dengan melebarkan jaringan dan rajin membawa sample produk.
Berikutnya, Tendi Nuralam anggota Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Tradisi, dan Seni Budaya Kemenpar meminta para komunitas peserta FGD membentuk kelompok/cluster.
Akhirnya terentuk cluster Solo Raya yang terdiri atas Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten).
Cluster lainnya ada Semarang Raya (Semarang, Pekalongan, Kendal, dan Batang), Magelang Raya, Dieng Indah (Wonosobo dan Banjarnegara), Bergas (Brebes, Tegal dan Slawi), dan Cluster Kedu Raya.
Cluster Solor Raya misalnya mengusulkan destinasi alam berbasis komunitas antara lain Kebun Teh Karanganyar.
Kebun Teh tersebut dipilih karena ada peninggalan zaman Belanda seperti pabrik teh yang masih beroperasi.
“Tehnya diolah dengan kayu sehingga memiliki cita rasa berbeda. Pabrik ini menginspirasi masyarat untuk membuat usaha,” terang Budi juru bicara Cluster Solo Raya yang berasal dari Karanganyar.
Selain itu ada Gunung Lawu masih di seputaran Karanganyar sebagai destinasi petualangan, dan Bukit Cumbri di Wonogiri.
Keistimewaannya disebut juga Negeri di Atas Awan.
Sementara destinasi budaya yang berbasis komunitasnya ada Candi Cheto dan Candi Sukuh, Museum dan Pembuatan Keris di Karanganyer serta Royal Dinner Mangkunegaran di Solo yaitu makan dengan citra rasa masakan para bangsawan/raja, antara lain Garang Asem Bumbung.
Sementara destinasi budaya berbasis komunitas yang diusulkan adalah Grebeg Sudiro Solo, Susur Sungai Bengawan Solo, dan Solo Batik Carnaval.
Naskah & foto; adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig: @adjitropis)
Captions:
1. Asdep Pengembangan Pasar Asia Tenggara, Kemenpar Rizki Handayani.
2. Para peserta FGD Promosi Pariwisata Pasar Asia Tenggara 2017 di Solo Paragon Hotel & Residences.
3. Asdep Pengembangan Destinasi Wisata Budaya, Kemenpar Lokot Ahmad Enda salah satu narsum FGD.
4. Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Sejarah, Religi, Tradisi, dan Seni Budaya, Kemenpar Tetty Ariyanto di FGD.
5. Cluster Magelang Raya tengah berdiskusi menentukan destinasi unggulan berbasis komunitas.
6. Data destinasi unggulan berbasis komunitas dari Cluster Solo Raya.
0 komentar:
Posting Komentar