Tiga Malam di Rumah Gadang Sambilan Ruang Koto Baru, Amat Berkesan (#2)
Di hari kedua, selepas sarapan bersama dengan menu Katupe Sayua Paku, Bakwan, dan Empiang, saya diajak Bojex mandi di Pincuran Gadang, sebuah pancuran air alami di kaki Gunung Marapi. Sementara Ikha menemani Bundo Animar berbenah.
Dari seberang Pasar Koto Baru, kami naik angkot menuju Pincuran Alami yang masih berada di wilayah Nagari Koto Baru. Lokasinya tak jauh, sebelum Polsek X Koto sekitar 1,5 Km dari Pasar Koto Baru.
Pincuran Gadang yang dimaksud Bojex berada di dekat pasar hewan yang buka seminggu sekali dan dekat beberapa rumah penduduk.
Turun dari angkot kami langsung menuju pincuran tersebut dengan berjalan kaki.
Tak sampai 5 menit, kami tiba di Pincuran Gadang yang berada di balik surau kecil bernama Mushola Cubadak Gadang.
Pincurannya berbentuk beberapa bilik bertembok yang tak beratap dan satu bilik yang beratap seng.
Masing-masing bilik ada beberapa pancuran air alami yang airnya dialirkan lewat pipa-pipa besi bermacam ukuran. Paling besar dan deras airnya di bilik utama yang tak beratap dan berukuran besar.
Bojex mandi di bilik utama, sementara saya di bilik yang beratap sengan dengan tiga buah pancuran berukuran sedang.
Airnya dingin, maklum bersumber dari balik aneka pepohonan besar dan rindang yang masih berada di bagian dari kaki Gunung Marapi.
Selesai mandi sambil dipijat air Pincuran Gadang, Bojex mengajak saya ke tempat penjual oleh-oleh khas Koto Baru.
Dari Pincuran Gadang kami berjalan kaki sekitar 150 meter melewati seberang Polsek X Koto sampai di plang putih dengan tulisan berwarna merah dan hitam bertuliskan Pondok Bika Si Mariana Koto Baru, berikut tanda panah.
Di seberang plang itulah Pondok Bika tersebut berada. Pondoknya berupa deretan rumah bercat hijau bertulisan Pusat Oleh-Oleh Khas Koto Baru, Bika Si Mariana lengkap dengan No HP pemiliknya dengan latar belakang Gunung Singgalang, kalau di lihat dari seberang.
Di sana kami bukan cuma menikmati Bika dan minum Teh Telur juga melihat proses pembuatan Bika yang sekarang sudah menggunakan oven. Sebelumnya diolah seperti memasak Surabi, menggunakan tungku terbuat dari keramik.
Saya sempat bertemu dan berbincang dengan Boy, pemilik Bika Si Mariana yang sampai saat ini belum berencana membuka cabang satu pun dan di manapun.
Khusus Bika ini, saya kupas lebih jauh dalam tulisan tersendiri berjudul: Nikmati Bika Si Mariana Berlatar Gunung Marapi, Bikin Perjalanan Wisata Sempurna.
Lepas menikmati Bika, kami balik ke Rumah Gadang. Wajah Ikha cemberut, katanya kami lama sekali mandinya.
Lepas makan siang, kami beranjak ke Kota Bukittinggi naik angkot. Dari Rumah Gadang kediaman Bojex, kami melewati depan lahan bekas dua Rumah Gadang lainnya di Koto Baru yang sudah tak tersisa sedikitpun bangunannya.
Hanya ada seekor kerbau yang asyik merumput, berlatar Gunung Singgalang. Sedangkan di seberang jalan lahan itu, tengah dibangun rumah tingkat moderen, besar, dan nampaknya megah. Menurut Bojex itu rumah perantau Koto Baru yang sukses.
Angkot yang kami tumpangi, lagi-lagi sopirnya masih remaja. Entah kenapa beberapa kali naik angkot, sopirnya rata-rata pria masih muda belia.
Pasar Koto Baru ke Bukittinggi berjarak sekitar 20 Km atau 30 menit, ongkosnya Rp 5 ribu per orang.
Pasar Koto Baru ke Bukittinggi berjarak sekitar 20 Km atau 30 menit, ongkosnya Rp 5 ribu per orang.
Di kota ber-Jam Gadang itu, kami melewati Patung Pahlawan Imam Bonjol dan Monumen Polisi Wanita.
Setibanya di kota wisata berhawa sejuk itu, kami jalan-jalan ke Tembok Raksasa China ala Bukittinggi yang diberi nama Janjang Koto Gadang atau istilah kerennya The Great Wall of Koto Gadang yang berdiri sejak tahun 2013.
Setibanya di kota wisata berhawa sejuk itu, kami jalan-jalan ke Tembok Raksasa China ala Bukittinggi yang diberi nama Janjang Koto Gadang atau istilah kerennya The Great Wall of Koto Gadang yang berdiri sejak tahun 2013.
Selanjutnya kami ke Taman Ngarai Maaram, Bukit Apit, masih di Bukittinggi.
Lalu kami mengantarkan Ikha ke Jalan Taluak, Simpang Jambu Air untuk mencari mobil umum ke Kota Padang.
Selepas mendapatkan mobil umum Tranex buat Ikha, saya dan Bojex melanjutkan perjalanan ke Dangau Kawa, sebuah tempat nongkrong muda-mudi yang ramai peminatnya terlebih sore dan malam hari.
Dangau Kawa yang berada di Jalan Raya Bukittinggi-Payakumbuh KM 6, Biaro ini jadi tersohor karena menyajikan minuman dan makanan kecil murah meriah tapi unik.
Tempat minum kopinya spesial, terbuat dari bambu dan tempurung kelapa. Sementara camilannya hanya berupa gorengan bakwan, pisang, tahu, tempe, dan bika.
Tempat minum kopinya spesial, terbuat dari bambu dan tempurung kelapa. Sementara camilannya hanya berupa gorengan bakwan, pisang, tahu, tempe, dan bika.
Kelebihan lainnya, letaknya strategis di tepi jalan raya dengan hamparan persawahan di sampingnya dan berlatar belakang Gunung Singgalang.
Di kedai dengan menyediakan kursi dan bale-bale untuk lesehan, saya sempat bercanda dengan Caca (4,5 thn), pendaki cilik perempuan asal Payahkumbuh yang sudah mendaki Gunung Marapi sebanyak 3 kali, Singgalang 1,5 kali, dan Gunung Talang 1 kali sejak dia berusia 3 tahun bersama ayah dan bundanya yang juga sama-sama pendaki.
Saat ditanya apakah Caca mau mendaki gunung lagi? Bocah perempuan yang cerdas dan berani ini menjawab iya. Dia pun ingin mendaki gunung-gunung di Pulau Jawa suatu saat nanti.
Tak terasa hampir 3 jam kami di sana. Untungnya saya sempat Shalat Ashar dan Maghrib di mushola kecil yang disediakan kedai ini.
Semakin malam, pengunjung kedai kopi yang letaknya berseberangan dengan lokasi Wisata Kuliner & Restaurant Pondok Baselo yang mewah ini pun semakin ramai.
Angkot dan bis rupanya sudah tidak ada. Hampir 1,5 jam kami menunggu. Akhirnya dapat mobil travel yang menuju Kota Padang. Kami turun di Pasar Koto Baru dengan tarif Rp 20 ribu per orang.
Setibanya di Rumah Gadang, saya langsung Shalat Isya. Sementara Bojex menyiapkan bahan-bahan untuk membuat roti goreng yang akan dijual besok di Pasar Koto Baru.
Maklum Senin dan Selasa merupakan hari pasar. Biasanya seluruh petani dari berbagai dusun, datang ke pasar ini untuk menjual seluruh hasil panen, termasuk sejumlah pedagang makanan dan minuman.
Keesokan paginya selepas sarapan dengan roti goreng isi selai kelapa buatan Bojex dan Bundo Animar yang mantap rasonyo, saya mulai ‘ngantor’ di dalam Rumah Gadang mengetik tulisan ini. Sementara Bojex menemani Upik-nya berjualan roti goreng di pasar.
Tulisan panjang dalam dua sesi ini hampir rampung sampai masuk waktu zuhur. Usai Shalat Zuhur saya menyusul Bojex ke pasar.
Alamak pasar ramai sekali dari biasanya. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan untuk memotret suasana pasar yang meluas hingga mendekati Masjid Raya Koto Baru yang berjarak sekitar 100 meter dari pasar.
Usai makan siang di sebuah rumah makan bermenu masakan khas Minang di Simpang Marapi, saya dan Bojex bergegas ke Bukittinggi lagi.
Kami mampir ke sekretariat penggiat alam Himalaya Outdoor Activities di Jalan Dr. A. Rivai No 17A, tak jauh dari Taman Ngarai Maaram.
Di sana kami bertemu Ari, salah seorang pendaki. Dengan sepeda motor, saya diantar Ari membeli tiket bis buat pulang ke Jakarta esok hari.
Setelah mendapatkan tiket bis seharga Rp 400 ribu tujuan Kalideres Jakarta di kantor bis NPM, saya diajak melihat arana pacuan kuda, lalu membeli oleh-oleh di aneka keripik Sanjay di Toko Sanjai Uni Yet, Jalan Mr. Asa’at No.24, Inkorba.
Serta menyempatkan mampir ke Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta di Jalan Soekarno-Hatta No.37. (Terimakasih Ari atas bantuannya).
Malamnya, kami berempat dengan dua sepeda motor menuju Kota Padang Panjang ke rumah Syarif Anwar yang biasa disapa Arif.
Arif itu teman pendaki baru saya saat bertemu di Merpati, puncak tertinggi Gunung Marapi. Arif sendiri asli dari Padang Panjang yang kini berwiraswata dan menetap di Ciledug, Jakarta.
Arif itu teman pendaki baru saya saat bertemu di Merpati, puncak tertinggi Gunung Marapi. Arif sendiri asli dari Padang Panjang yang kini berwiraswata dan menetap di Ciledug, Jakarta.
Di rumah pria yang pernah bekerja sebagai pramugara di maskapai penerbangan Batavia Air dan Air Asia ini, kami bertemu kedua orangtuanya. Ibunya Arif bernama Yusniati sedangkan ayahnya Edy Syam.
Kami pun disuguhkan makan malam dengan menu masakan Minang khas Padang Panjang yang serba lamak bana (enak sekali), antara lain Sambalado Mudo Jariang, Gulai Pangek, dan Tumis Lobak. Sebagai hidangan penutup, kami pun ditawarkan Bubur Kampiyun. Alhamdulillah.., nikmatnya.
Kami sempat berbincang-bincang santai dengan orang tua Arif. Ayahnya bercerita bahwa semasa bujang sudah merantau ke Tanah Abang, Jakarta sekitar tahun 70-an.
Sebenarnya kami masih ingin mendengarkan cerita masa lalu ayah Arif yang menarik namun malam kian larut. Kami pamit pulang. (Terimaksih Arif atas jamuan makan malamnya, keramahan, dan kehangatan keluarganya).
Malam itu menjadi malam terakhir saya di Rumah Gadang Sambilan Ruang. Usai Shalat Isya saya packing barang-barang lalu tidur dalam balutan dingin khas lembah Koto Baru. Sementara Bojex kembali membuat adonan roti goreng.
Esok paginya, saya kembali “ngantor” meneruskan tulisan ini. Setelah selesai, saya pamit kepada Bundo Animar sekaligus berucap terimakasih karena telah mengijinkan saya merasakan tinggal di Rumah Gadang-nya.
Di Simpang Marapi seberang Bank BRI, saya dan Bojex menunggu Bis NPM sambal ngopi kopi sachet-an. Hampir 1 jam kami menunggu bis belum juga nampak.
Bojex menelepon kantor NPM. Kata orang di salah satu perusahaan bis tua di Sumbar itu, bisnya sedang menuju Koto Baru. Pukul 10 bis tersebut datang.
Usai pamitan dengan Bojex dan mengucapkan terimakasih karena sudah menemani saya mendaki Gunung Marapi dan berbagai objek wisata lain, saya pun langsung naik bis.
Sampai tulisan ini benar-benar rampung dan saya publish ke Travelplusindonesia ini, kenangan bermalam di Rumah Gadang Sambilan Ruang Koto Baru masih terbayang-bayang.
Lewat tulisan yang meramu semua kesan indah dan tak terlupakan selama tinggal di Rumah Gadang Koto Baru ini, saya pun berharap ada sejumlah pihak terkait yang sepenuh hati peduli dengan keberadaan Rumah Gadang satu-satunya yang tersisa di Koto Baru agar tetap bertahan dari putaran zaman.
Tentunya juga dibutuhkan sinergi tiga pilar dalam masyarakat Minangkabau yang selama ini membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat, yaitu alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Mengingat semua urusan masyarakat, termasuk keberadaan dan keberlangsungan Rumah Gadang ini bisa dimusyawarahkan/dicari jalan keluarnya oleh ketiga unsur itu secara mufakat dan bijak.
Dari sisi wisata, andai saja Rumah Gadang tua ini direnovasi dengan tetap mempertahankan arsitektur aslinya, pasti akan manambah daya tarik Koto Baru selain pasar tradisionalnya, Pincuran Gadang, Pondok Bika Si Mariana, dan lainnya termasuk sebagai lokasi titik awal pendakian Gunung Marapi dan Singgalang.
Jika rumah tradisional orang Minangkabau (biasa disingkat Minang) yang sudah menasional bahkan mendunia ini ditata dan dikelola dengan baik, lalu dikombinasikan dengan suguhan kehidupan keseharian penghuni dan warga sekitarnya, serta ditambah dengan lawatan ke objek wisata lain, suatu saat akan menjadi objek wisata budaya yang potensial menarik kunjungan wisatawan, baik lokal, nusantara maupun mancanegara (wisman).
Kenapa amat potensial? Karena alasan terbanyak wisman datang ke Indonesia selama ini 60 % itu untuk melihat budaya (cultural). Alasan berikutnya alam (nature) sebesar 35 %, baru kemudian wisata buatan manusia (man-made tourism) yang hanya 5 %.
Andaipun tidak menjaring wisman, minimal Rumah Gadang Sambilan Ruang di Koto Baru ini tetap kokoh berdiri, bertahan hingga puluhan bahkan ratusan tahun kemudian.
Sebab keberadaannya bukan sekadar sebagai aspek utama identitas warga Koto Baru, khususnya Suku Pisang, pun sebagai jatidiri dan kebanggaan seluruh Urang Awak (sebutan lain orang Minang), baik yang menetap di dalam maupun luar negeri.
Bahkan buat seluruh bangsa Indonesia, baik itu untuk generasi tua, anak-anak masa kini maupun generasi masa depan, yang dapat dimanfaatkan sebagai wahana ilmu pengetahuan (arsitektur, sosial, agama Islam, sistem matrilineal, dll), pendidikan sejarah, penanaman cinta budaya, cinta Tanah Air, dan sebagainya.
Bahkan buat seluruh bangsa Indonesia, baik itu untuk generasi tua, anak-anak masa kini maupun generasi masa depan, yang dapat dimanfaatkan sebagai wahana ilmu pengetahuan (arsitektur, sosial, agama Islam, sistem matrilineal, dll), pendidikan sejarah, penanaman cinta budaya, cinta Tanah Air, dan sebagainya.
Andai suatu saat saya datang lagi ke sini, saya masih ingin melihat Rumah Gadang Sambilan Ruang di Koto Baru ini tetap berdiri anggun hingga kembali membuahkan kagum.
Naskah & foto: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig:@adjitropis)
0 komentar:
Posting Komentar