"Laporin ke Menpar Arief Yahya, Bro..."
Libur Lebaran merupakan waktu terbaik untuk mendulang wisatawan domestik atau wisatawan nusantara (wisnus) dalam jumlah puluhan juta. Menyadari peluang besar itu, Menpar Arief Yahya pun menggarap liburan lebaran tahun ini menjadi program Pesona Lebaran 2016.
Di masing-masing obyek wisata yang termasuk di dalam maupun di luar program tersebut, memang berhasil menyedot ribuan wisnus, seperti Travelplusindonesia ungkap di tulisan sebelumnya.
Sayangnya, keberhasilan itu dinodai oknum-oknum tak bertanggung jawab.
Entah mereka itu belum sadar wisata atau memang dengan sengaja mengeruk keuntungan di momen spesial hingga mencoreng wajah pariwisata?
“Laporin ke Menpar Arief Yahya, Bro…” Begitu bunyi pesan WA yang saya terima dari Agung, seorang teman di Banda Aceh, Minggu (10/7). “Ini berita dari daerah,” sambungnya lagi.
Sebelum dia menulis dua pesan itu, terlebih dulu dia kirimkan link tulisan yang ter-posting di jurnalsiantar.net. Judul tulisannya” Parah! Hambat Destinasi Danau Toba, Pungli di Parapat “Mencekik Leher”.
Esoknya, Senin (11/7), Agung-pria asal Jogja yang kemudian bekerja, lalu menikah dengan perempuan Aceh, dan akhirnya menetap di Serambi Mekkah ini mengirimkan dua link tulisan lagi.
Link pertama yang dia kirim dari harianmerdeka.com. Judulnya: Pengunjung Wisata di Aceh Barat Kaget dengan Tagihan Bon Makanan dan Minuman.
Link kedua dari jogja.tribunnews.com, dengan tulisan berjudul: Tarif Parkir Wisata di DIY Bikin Wisatawan Tercengang!
“Mentalitasnya harus dirubah ne bro,” bunyi pesan WA Agung berikutnya. “Pd blom bisa menservis wisatawan,” tambah ayah satu putri ini.
Terus terang, saya tertarik dengan 3 link tulisan yang dikirimnya. Satu per satu link itu saya klik, dan tentu saja saya baca karena ini menyangkut berita wisata.
Di link pertama, inti beritanya terjadi pungli (pungutan liar) pada hari Sabtu (9/7) yang dilakukan oknum penjaga pintu masuk (gerbang) lokasi wisata Parapat hingga membuat pengunjung kesal.
Persis di gerbang masuk, terpampang tarif pungli, terbuat dari karton putih (seperti foto paling atas). Menurut wartawan yang menulisnya, diduga tarif pungli itu dipasang oleh oknum pemungut restribusi dari dinas Pariwisata Simalungun.
Daftar tarif itu seperti ini: bus besar Rp 120.000, bus tiga perempat Rp 50.000, mobil L300 Rp 30.000, mobil pribadi Rp 20.000, sepeda motor Rp 10.000, dan truk Rp 100.000. Padahal Perda Simalungun nomor 9 tahun 2011 tarif retribusi masuk lokasi wisata Parapat cuma Rp 5.000 untuk mobil dan truk, serta Rp 2.000 per individu.
Dalam berita itu ditulis juga, dikhawatirkan bila pungli itu terus terjadi, Program Nasional menjadikan Danau Toba sebagai destinasi wisata, bisa terhambat.
Jika di Parapat soal pungli, di link kedua beritanya soal pengunjung wisata di Suak Geudubang, Kecamatan Samatiga, Meulabah, Aceh bernama Jailani yang merasa dirugikan akibat dikemplang (dimahalkan, tidak sewajarnya) seusai makan dan minum di salah satu kedai di lokasi tersebut pada Minggu (10/7).
Jailani kemudian mem-posting bon tagihan makanan dan minuman yang cukup mahal itu di social media (sosmed) Facebook (FB).
Di bon yang dipostingnya itu tertera harga teh botol Rp 10.000 per botol, milo hangat Rp 10.000 segelas, dan lainnya.
Selain merasa dikemplang, Jailani juga merasa dibohongi pedagangnya. Soalnya jika ditotal jumlah makanan dan minuman sesuai pesanannya cuma Rp 86.000, tapi di bon tertulis Rp 106.000. Jadi ada selisih Rp 20.000.
Menurut berita itu, postingan Jailani mendapat komentar beragam dari masyarakat. Lima komentar ditampilkan di berita itu juga, dua di antaranya berkomentar menggunakan Bahasa Indonesia, 3 lainnya Bahasa Aceh.
Pemilik akun FB bernama Darma Bubon asal Jakarta berkomentar panjang dan pedas, seperti ini:
“Seharusnya bisa ditertibkan oleh pihak berwenang. Kalau mau tarif tinggi seperti ini di kapal pesiar termewah setara hotel bintang 5 atau tempat2 lain yang paling elite agar sebelumnya diberi list harga kepada pengunjung agar tidak terjebak! Ingat itu bukan keuntungan tetapi penipuan dan hukumnya HARAM. Ingat dalam Islam sdh mengatur bagaimana keuntungan bisa diperoleh dan berapa kali lipat dari harga dasar dapat kita ambil sbg keuntungan,” tegas Darma dengan kalimat penuh amarah.
Ternyata kasus pengemplangan harga makanan itu bukan terjadi saat Lebaran ini. Buktinya pemilik akun FB bernama Adi berkomentar begini: “Jujur… saya cukup sekali makan dan minum di pantai wisata itu… Pernah .. saya memesan jus worter… Warna seperti memakai pewarna buatan dan encer, rasa manis gula… hara 12 ribu rupiah..” aku Adi.
Di link ketiga, berita yang tayang Sabtu (9/7) itu menginformasikan sejumlah retribusi di obyek wisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama libur Lebaran 2016 melonjak fantatis, termasuk tarif parkir.
Di berita itu dijelaskan seorang netizen mem-posting dua potongan retribusi di Hutan Pinus Mangunan dan obyek wisata Hutan Pinus Gunung Pengger di Desa Sendangsari, Dlingo, Bantul, DIY lewat FB. Potongan retribusi pertama dan kedua sama-sama tertulis biaya Photography Rp 50.000, untuk Pre Wedding Rp 50.000.
Salah satu foto tersebut, seperti termuat di berita itu diunggah oleh akun FB Kota Jogja. Lalu diberi keterangan seperti ini: “Gimana pendapat warga Jogja. Mohon urun rembug. Lha koq sekarang jadi kayak gini ya..?? Kenapa pungutan 50rb untuk fotografi. Keluh salah satu warga Jogja dan wisatawan. Menurut informasi kejadian seorang wisatawan yang berkunjung berfoto2 kemudian ditodong membayar 50rb,” tulisnya.
Berita yang dibagi dua halaman itu, juga memuat tarif parkir kendaraan roda empat yang tak sewajarnya. Di obyek wisata Kebun Binatang Gembira Loka kena tarif parkir sebesar Rp 30 ribu. .
Tarif parkir di daerah Kauman bagi wisatawan yang ingin menikmati Malioboro dikenai Rp 20.000, di Jalan Suryatmajan seorang wisatawan dikenai parkir Rp 30.000 dan tarif andong dari Mirota Batik ke Alun-Laun Rp 100 ribu sekali jalan.
Usai membaca ketiga link berita itu, jujur saya tercengang. Dalam hati, koq masih ada oknum-oknum yang melakukan ini, memanfaatkan peluang melimpah ruahnya wisatawan saat libur Lebaran. Apalagi ini terjadi di Jogja, yang semesti warganya sudah jauh lebih melek atau sadar wisata di banding daerah lain, selain Bali.
Tak puas hanya membaca link ketiga itu, saya pun mencoba mencari tahu. Kebetulan teman kuliah dulu, ada yang baru dari Jogja bersama keluarga, namanya Tyas.
Ternyata Tyas membenarkan tentang tarif parkir di Kota Jogja yang tidak sewajarnya semasa Lebaran. “Iya benar waktu parkir di sekitaran Malioboro, gw kena tarif parkir Rp 20.000 padahal masih pagi lho dan sebentar parkirnya,” terangnya.
Menurut anggota SENDAL'91 alumni IISIP alias Kampus Tercinta di Jakarta ini, dia sempat bertanya kepada petugas parkir tersebut. Jawab tukang parkirnya begini: “Katanya harga Lebaran mba klo lagi liburan gini emang parkiran naik. Nanti klo dah selesai liburan harga normal lagi,” aku Tyas.
Usai membaca ketiga link itu, DIY dan Aceh yang termasuk destinasi dalam program Pesona Lebaran 2016 dan Danau yang termasuk Destinasi Prioritas berpredikat Bali Baru, ternyata saat libur Lebaran tahun ini pun masih menyimpan catatan-catatan.
Pantas saja Agung mengirimkan ketiga link itu dan meminta saya melaporkannya ke Menpar Arief Yahya. Sebagai warga, mungkin dia melihat prilaku oknum-oknum di atas ini bisa merusak citra pariwisata yang tengah giat-giatnya dibangun pemerintah.
Permintaannnya itu, bukan karena kebetulan ketiga daerah itu, melekat erat dengannya, Jogja sebagai kampung halaman, Aceh sebagai daerah domisilinya sekarang, dan Danau Toba termasuk wilayah tugasnya, melainkan karena alasan seperti dia sebut di atas: “Mentalitasnya harus dirubah ne bro. Pd blom bisa menservis wisatawan,” tegurnya.
Kenapa dia langsung meminta saya melaporkan hal ini ke Arief Yahya, bukan pejabat terkait di masing-masing daerah tersebut atau ke bawahannya Arief Yahya? Ya karena dia tahu saya jurnalis dan blogger yang kerap menulis dan memperhatikan hal-hal terkait kepariwisataan dan kebudayaan sehingga punya akses untuk menyampaikan perkara-perkara ini ke pihak/orang terkait. Satu lagi, karena dia juga tahu Arief Yahya orang nomor satu yang mengurus Kementerian Pariwisata.
Kalau dilaporkan ke pihak terkait bisa jadi tak digubris, begitupun jika dilaporkan ke bawahan Arief Yahya, bisa jadi hanya didiamkan atau tak dilaporkan ke atasannya (Arief Yahya). lantaran takut kena tegur juga.
Kalau langsung ke Arief Yahya, selain dia jadi tahu informasi ini dari media, tentu dia bisa langsung mengambil tindakan/perintah ke bawahannya termasuk ke Kadispar atau pihak terkait di daerah masing-masing.
Kenapa ini penting? Sebab jika perkara pungli, pengemplangan tarif makanan, retribusi obyek wisata, dan tarif parkir selama libur Lebaran tahun ini didiamkan/dimaklumi, maka tahun depan kemungkinan terulang lagi amat besar.
Bahkan mungkin daerah-daerah lain bakal mengikuti jika masalah ini dibiarkan, tak dianggap seperti angin lalu. Padahal ketiga perkara itu jelas-jelas sudah merugikan masyarakat dan wisatawan sekaligus mencoreng paras pariwisata setempat.
Bahkan mungkin daerah-daerah lain bakal mengikuti jika masalah ini dibiarkan, tak dianggap seperti angin lalu. Padahal ketiga perkara itu jelas-jelas sudah merugikan masyarakat dan wisatawan sekaligus mencoreng paras pariwisata setempat.
Belum lagi soal keamanan di pantai-pantai wisata yang terasa masih kurang optimal. Buktinya pas Lebaran kemarin, masih ada saja wisatawan yang tewas dan hilang akibat terseret ombak, contohnya di Pantai Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat yang termasuk dalam program Pesona Lebaran 2016.
Bagaimana nih Pak Arief Yahya?
Naskah: adji kurniawan (kembaratropis@yahoo.com, ig:@adjitropis)
Foto: jurnalsiantar.net, harianmerdeka.com, dan jogja.tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar